Oligarki elektoral adalah "benalu kronis" yang menggerogoti nalar sehat demokrasi. Frasa "benalu" menggambarkan entitas yang menghisap energi dari demokrasi itu sendiri. Hal ini bukan penyimpangan sesaat, melainkan anomali struktural yang telah berakar. Tanpa penanganan anomali struktural ini, perubahan undang-undang hanya akan menjadi penyesuaian dangkal, yang pada akhirnya memperkuat cengkeraman oligarki.
Memahami oligarki elektoral memerlukan penelusuran akar teoritis dan perwujudannya di Indonesia. Robert Michels (1911) dengan "iron law of oligarchy" menunjukkan bagaimana setiap organisasi, termasuk partai politik, pada akhirnya akan terkonsentrasi pada segelintir elite. Di Indonesia, tesis Michels menemukan ladang subur, bahkan teraktualisasi dalam bentuk "lebih brutal", mungkin karena lemahnya penegakan hukum, tingginya korupsi, atau warisan sejarah konsentrasi kekuasaan. Imbasnya, Indonesia menghadapi bentuk oligarki yang sangat agresif dan kurang akuntabel, sehingga jauh lebih menantang untuk dihadapi.
Jeffrey Winters (2011) mendefinisikan oligarki sebagai mereka yang menguasai dan melanggengkan kekayaan ekstrem. Dalam artikelnya "Oligarchy and Democracy in Indonesia" (2013), ia menguraikan manifestasinya di Tanah Air. Definisi ini relevan untuk memahami oligarki elektoral karena secara eksplisit menghubungkan kekuasaan politik dengan penguasaan kekayaan yang luar biasa.
Di konteks elektoral Indonesia, oligarki adalah para raja media, cukong tambang, atau taipan properti. Mereka adalah representasi nyata individu atau kelompok yang menguasai kekayaan ekstrem yang disebutkan Winters tadi.
Mekanisme pengaruh mereka jauh melampaui sekadar pendanaan kampanye. Mereka aktif membentuk dan mempengaruhi agenda-agenda kebijakan vital, termasuk, yang paling krusial, Undang-Undang Pemilu itu sendiri. Praktik politik uang dan patronase tak ubahnya adalah nafas bagi oligarki elektoral. Kekayaan dan jaringan relasi digunakan untuk membangun sistem kesetiaan yang kompleks, merentang dari tingkat elite hingga ke akar rumput.
Situasi ini menciptakan ketergantungan ekonomi dan sosial di kalangan masyarakat biasa, yang pada gilirannya membuat mereka sulit untuk menantang sistem yang ada.
Konsekuensi langsung dari dominasi oligarki adalah "kesenjangan representasi yang kian menganga”. Rakyat mungkin secara formal punya wakil di parlemen (descriptive representation), namun kebijakan yang lahir dari rahim legislasi kerap jauh panggang dari api. Hannah Pitkin (1967) telah jauh-jauh hari mengingatkan kita akan perbedaan krusial ini. Perbedaan ini sangat penting karena ia menjelaskan bagaimana proses demokrasi dapat berjalan secara formal, tetapi esensi representasi sejati, yaitu mencerminkan kepentingan rakyat, justru absen. UU Pemilu yang dihasilkan, alih-alih menjadi instrumen keadilan, justru menjelma menjadi sarana legitimasi bagi dominasi mereka.
Carles Boix (2003) dalam Democracy and Redistribution turut mengisyaratkan betapa timpangnya distribusi kekayaan dapat "mencederai hasil-hasil demokrasi itu sendiri”. Realitas ini menunjukkan bahwa bahkan jika pemilihan umum diadakan, hasil akhir dari proses demokrasi—yakni kebijakan, distribusi sumber daya, dan peluang yang tersedia—akan condong menguntungkan mereka yang kaya.
Uang adalah oksigen politik bagi kelangsungan hidup mereka. Jika revisi UU Pemilu tak berani menyentuh akar permasalahan ini, ia hanya akan menjadi semacam cosmetic surgery pada wajah demokrasi.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu 2017) mengatur sumber, batasan, dan kewajiban pelaporan dana kampanye. Namun, pasal-pasal ini menyimpan celah dan kelemahan fatal yang menjadi sarang subur bagi oligarki elektoral. Kewajiban pelaporan kerap hanya bersifat formalitas, informasi yang disajikan minim detail, dan mekanisme verifikasi yang lemah membuka lebar pintu bagi dana-dana terlarang atau sumbangan anonim untuk menyusup tanpa jejak.
Angka batasan sumbangan dalam UU Pemilu 2017, meski nominalnya besar, seringkali tak mencerminkan realitas biaya politik di Indonesia yang sesungguhnya fantastis. Mereka sangat mahir dalam mengeksploitasi celah hukum dan menemukan jalur di luar hukum untuk pendanaan.
Paling krusial, UU Pemilu 2017 tidak mengatur secara spesifik batasan pengeluaran dana kampanye untuk pemilu legislatif dan presiden. Akibatnya, penggelontoran uang tak terbatas. Hal ini menandakan cacat struktural fundamental yang secara aktif memfasilitasi konversi kekayaan ekstrem menjadi kekuasaan politik tanpa batasan.
Reformasi Pembiayaan Politik
Untuk serius mewujudkan demokrasi yang berintegritas, revisi UU Pemilu harus secara drastis memperbaiki pasal-pasal pendanaan ini. Reformasi pembiayaan politik adalah kunci utama. Menetapkan "batasan sumbangan yang sangat ketat", serta "melarang total sumbangan anonim”. Pippa Norris (2001) membahas pentingnya hal ini. Lebih dari itu, "transparansi penuh dan real-time atas semua pemasukan dan pengeluaran dana kampanye menjadi keharusan. Langkah ini merupakan pergeseran fundamental dari sistem formalistik reaktif ke sistem berbasis pencegahan, yang sangat penting untuk benar-benar memutus " oksigen politik" oligarki.
Penguatan independensi lembaga penyelenggara pemilu—KPU dan Bawaslu—tak bisa ditawar. Proses seleksi komisioner harus bersih dari intervensi politik, berbasis meritokrasi, pemberian hak imunitas dan anggaran mereka harus mandiri. Mereka harus memiliki "gigi dan kuku untuk menindak pelanggaran”. Andreas Schedler (2002) menggarisbawahi pentingnya otonomi mereka.
Kemudian jika sistem proporsional daftar terbuka dipercaya lebih demokratis, maka harus dipastikan tidak ada celah bagi oligarki untuk mengendalikan daftar calon melalui kekuasaan internal partai. Aturan kampanye harus menjamin kesetaraan akses. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi internal partai di samping reformasi elektoral eksternal.
Revitalisasi partai politik sebagai institusi demokrasi adalah hal yang esensial. Partai harus didorong untuk membangun demokrasi internal yang sehat; pemilihan pimpinan dan calon harus transparan; dan rekrutmen kader harus berbasis kapabilitas. Angelo Panebianco (1988) memberikan kerangka analisisnya. Fokus pada "demokrasi internal yang sehat" dan rekrutmen "berbasis kapabilitas" secara langsung menentang politik patronase dan uang. Langkah tersebut merupakan hal yang krusial dalam memutus siklus ketergantungan.
Peran aktif masyarakat sipil, media, dan akademisi sebagai penyeimbang (checks and balances) harus diperkuat. Pemantauan pemilu yang independen, pendidikan pemilih yang masif untuk melawan politik uang, serta riset dan advokasi yang berkesinambungan adalah amunisi. Pengalaman di Amerika Serikat dengan McCain-Feingold Act (Ornstein, Mann, & Corrado: 2002), atau putusan Mahkamah Agung di India yang baru-baru ini membatalkan Electoral Bonds (Supreme Court of India: 2024), menunjukkan bahwa "tekanan publik dan yudikatif bisa menjadi benteng ampuh melawan kepentingan oligarki" (Chawla: 2013).
Revisi UU Pemilu adalah momentum krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Jika gagal memahami cengkeraman oligarki elektoral—terutama dengan membiarkan celah pendanaan yang menganga lebar dalam UU Pemilu 2017—maka hanya akan mengulang siklus yang sama: pemilu sebagai ajang kontestasi elite, bukan manifestasi kedaulatan rakyat.
*Penulis adalah pendiri Indonesia Democratic (IDE) Center
BERITA TERKAIT: