HARI kedua Indonesia International Infrastructure Conference (ICI) 2025 memukul kesadaran kita bahwa pembangunan infrastruktur nasional masih berada dalam masa inertia. Kita punya cetak biru, visi jangka panjang, dan komitmen politik -semuanya adalah gaya (force). Namun tanpa massa -pembiayaan yang memadai, berkelanjutan, dan tepat sasaran- banyak proyek hanya akan diam atau berjalan dengan kecepatan lambat yang tidak mencukupi tuntutan zaman.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, kebutuhan infrastruktur hingga 2029 mendekati Rp10.000 triliun, namun APBN hanya mampu menutupi 40%-nya. Kementerian PUPR juga sudah mengajukan 55 skema KPBU dengan nilai Rp1.905 triliun -namun realisasinya masih jauh dari cukup. Jeda pendanaan senilai Rp7-8 ribu triliun telah melahirkan jurang yang hanya bisa ditambal dengan pendekatan struktural.
Sebagai bagian dari masyarakat yang menaruh harapan besar pada kesuksesan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam pembangunan infrastruktur dan kewilayahan, saya memiliki satu hipotesis kuat berdasarkan pengalaman lebih dari satu dekade dalam proyek strategis nasional: kebangkrutan sebagian BUMN karya dan rendahnya minat investor dalam skema KPBU bukan semata-mata akibat manajerial atau iklim usaha, melainkan karena ketidaksesuaian struktur pembiayaan dengan karakter infrastruktur itu sendiri.
Bunga komersial terlalu tinggi, tenor terlalu pendek, dan persepsi risiko terlalu besar -sementara dampak sosial dan strategis jangka panjang dari infrastruktur seringkali tidak dihitung dalam parameter investasi tradisional. Dalam situasi seperti ini, tidak heran jika infrastruktur kita sering stagnan, atau bergerak secara tidak optimal.
Menko IPK Agus Harimurti Yudhoyono dalam forum ini mengingatkan kita akan tiga jam urgensi: demografi, ekonomi, dan ekologi. Ketiganya bukan hanya indikator, tetapi alarm. Alarm bahwa tanpa percepatan pembangunan, Indonesia akan kehilangan momentum sejarahnya. Namun percepatan itu hanya mungkin bila fondasi finansialnya kokoh.
Di sinilah urgensi dari kehadiran sebuah Bank Infrastruktur Nasional menjadi tak terelakkan. Sebuah lembaga pembiayaan yang tidak lahir dari pasar, tetapi dari visi dan keberanian kebijakan publik. Sebuah institusi yang memahami bahwa proyek infrastruktur tidak bisa diperlakukan seperti proyek komersial biasa -karena ia menampung harapan publik, menyambung logistik nasional, dan menghubungkan wilayah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan.
Berbagai kajian dan inisiatif untuk mengatasi viability gap dalam proyek infrastruktur tanpa langkah konkret dalam bentuk kelembagaan yang kuat, sistem itu hanya akan menjadi arsip kebijakan. Saatnya kita bergerak melampaui diskusi teknokratis dan mewujudkan solusi kelembagaan.
Dengan pendirian Bank Infrastruktur Nasional -serupa dengan China Development Bank atau KfW Jerman -pemerintah dapat mengintervensi pasar pembiayaan dengan instrumen jangka panjang: bunga rendah, skema blended finance, sovereign guarantee, dan fasilitas persiapan proyek. Lembaga ini bukan hanya solusi teknis atas ketimpangan pendanaan, melainkan penopang utama keberlanjutan peradaban ekonomi Indonesia.
Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya mengutip salah satu prinsip dasar fisika matematika klasik -prinsip aksi minimum:
“Of all the possible paths, the one taken by a system is the one for which the action is minimized.” - Principle of Least Action
Dalam kebijakan publik, action berarti hasil dari interaksi antara visi, kelembagaan, pembiayaan, dan eksekusi. Jika jalur yang kita ambil bukan yang paling efisien dan minim resistensi, maka kita kehilangan energi, waktu, dan peluang. Indonesia tidak butuh gaya yang lebih besar, tetapi sistem yang mampu menyerap dan mengarahkan gaya itu menjadi percepatan yang nyata.
Momentum ICI 2025 harus menjadi titik balik -di mana teori berubah menjadi institusi, dan visi berubah menjadi keberanian politik. Tanpa transformasi fundamental dalam pembiayaan, semua rencana infrastruktur akan tetap tinggal dalam ruang imajinasi. Newton telah mengingatkan kita berabad-abad lalu: percepatan hanya datang bila gaya bertemu massa. Dan hari ini, kita tahu: massanya harus kita bangun bersama.
*Penulis adalah praktisi di bidang manajemen.
BERITA TERKAIT: