Secara logika maupun akademik, pertanyaan tersebut bermasalah. Yang dipersoalkan publik bukan soal Jokowi memalsukan ijazah, tetapi soal keaslian ijazah itu sendiri, apakah ijazah yang diajukan sebagai syarat pencalonan benar-benar sah atau tidak. Kalimat “memalsukan ijazah” menyiratkan tindakan aktif dari subjek (Jokowi), sementara “ijazah palsu” berfokus pada objek yang dari awal tidak valid, tanpa menuding siapa pelakunya. Dua hal ini berbeda secara semantik maupun yuridis.
Survei yang mencampuradukkan konsep ini bisa menyesatkan dan memperkeruh pemahaman publik. Alih-alih menjernihkan wacana, survei semacam ini justru memperkuat krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga survei yang selama ini dianggap dekat dengan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, juga menyoroti persoalan ini. Ia menilai pertanyaan tersebut “abu-abu” dan tidak layak digunakan dalam survei yang mengklaim diri ilmiah. “Survei yang tidak jernih hanya akan memperbesar kecurigaan publik dan menciptakan kebingungan,” ujarnya. Pernyataan Refly mencerminkan keresahan banyak pihak bahwa lembaga survei mulai kehilangan fungsi edukatifnya dan justru menjadi alat pembentuk narasi oleh kelompok tertentu.
Persoalan tak berhenti di situ. Metodologi survei tersebut juga patut dikritisi. Disebutkan bahwa survei melibatkan 1.286 responden dengan metode double sampling. Namun tidak dijelaskan secara transparan bagaimana distribusi responden itu dilakukan, wilayah mana saja yang direpresentasikan, dan bagaimana potensi bias diantisipasi. Ketertutupan semacam ini merusak kredibilitas hasil survei.
Lebih jauh, survei ini terkesan hadir di saat yang “strategis” yakni ketika isu keaslian ijazah Presiden ke-7 Joko Widodo kembali ramai dibicarakan publik. Publik menilai, hingga kini tidak ada kejelasan hukum dan politik terkait dokumen penting ini. Alih-alih klarifikasi atau pembuktian di pengadilan, yang muncul justru survei-survei yang tampak membelokkan inti masalah.
Upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak seperti Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) adalah bagian dari hak konstitusional warga negara dalam meminta transparansi dari pejabat publik. Dalam negara hukum yang sehat, pertanyaan semacam ini tidak boleh ditanggapi dengan pembentukan opini sepihak melalui survei, melainkan dengan proses hukum yang objektif dan terbuka.
Jika lembaga survei terus beroperasi tanpa integritas, menggunakan metodologi tidak transparan, dan menyusun pertanyaan yang manipulatif, maka krisis kepercayaan publik akan makin dalam. Bukan hanya terhadap lembaga survei, tapi terhadap demokrasi itu sendiri.
Karena itu, perlu ada regulasi tegas terhadap praktik survei opini publik. Mulai dari standarisasi pertanyaan, pengawasan independen atas metodologi, hingga kewajiban pelaporan secara terbuka kepada publik. Survei harus menjadi alat pencerahan, bukan justifikasi kekuasaan.
*Penulis adalah Pemerhati Sosial
BERITA TERKAIT: