Pemimpin yang baik adalah mereka yang bertindak sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa yang haus kendali. Namun, kepemimpinan yang baik sekalipun tidak akan berarti tanpa dukungan dan loyalitas dari mereka yang dipimpin. Inilah simbiosis sosial yang seringkali terlupakan: bahwa pemimpin butuh legitimasi bukan hanya dari proses pemilihan, tetapi dari ketundukan kolektif yang ikhlas dan penuh tanggung jawab.
Kepemimpinan Bukan Sekadar Kursi Kekuasaan
Sosiolog Jerman, Max Weber, mengklasifikasikan otoritas kepemimpinan menjadi tiga: tradisional, kharismatik, dan rasional-legal. Di era modern, kita berada dalam dominasi rasional-legal, di mana sistem dan hukum menjadi fondasi legitimasi. Namun demikian, legitimasi hukum akan kehilangan maknanya jika tidak disertai legitimasi sosial, yaitu pengakuan dan dukungan dari masyarakat.
Sayang dalam praktiknya, budaya tunduk kepada kepemimpinan kerap digeser oleh semangat oposisi yang tak berdasar. Bukan kritik membangun yang tumbuh, melainkan sinisme dan sabotase moral yang subversif. Ini bukan sekadar merugikan pemimpin, tetapi menggerogoti fondasi kepercayaan sosial.
Kepatuhan Bukan Berarti Membabi Buta
Penting digarisbawahi bahwa menjunjung tinggi kepemimpinan bukan berarti menihilkan kritik. Kepatuhan sejati adalah yang dilandasi kesadaran, bukan ketakutan. Kita mencontoh dari Nabi Muhammad SAW, seorang pemimpin
par excellence yang tidak pernah memerintahkan sesuatu tanpa menjadi teladan terlebih dahulu. Kepemimpinan beliau ditaati bukan karena tekanan, tapi karena cinta dan kepercayaan.
Syekh Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya kekuasaan itu ada bersama keadilan, sekalipun pelakunya kafir. Dan tidak akan tegak negara dengan kezaliman, walau pelakunya muslim". Artinya, loyalitas kepada kepemimpinan tidak didasarkan semata pada identitas, tetapi pada nilai-nilai keadilan, integritas, dan tanggung jawab sosial.
Data Sosial: Ketika Kepemimpinan Tidak Didukung
Sebuah studi dari Pew Research Center (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat kepercayaan masyarakat tinggi terhadap pemimpinnya cenderung memiliki indeks kebahagiaan dan stabilitas politik yang tinggi. Sebaliknya, negara-negara dengan kepemimpinan yang dirongrong terus-menerus dari dalam, seperti beberapa negara di Timur Tengah pasca-Arab Spring, justru terjebak dalam konflik dan kekacauan berkepanjangan.
Di Indonesia sendiri, laporan Indikator Politik (2024) menunjukkan bahwa 78,6 persen masyarakat menginginkan pemimpin yang tegas dan bersih, namun hanya 53 persen yang menyatakan siap mendukung keputusan sulit yang diambil oleh pemimpin. Ada jurang antara harapan dan dukungan nyata, dan di sanalah akar lemahnya transformasi.
Saatnya Membudayakan Dukungan Aktif
Dukungan kepada pemimpin bukan berarti menyerah pada sistem, melainkan menjadi bagian aktif dari solusi. Sikap ini mencakup tiga hal utama.
Pertama, ta’dzim atau menghormati, yaitu tidak mencemooh atau merendahkan kepemimpinan yang sah, karena penghormatan adalah dasar dari stabilitas sosial.
Kedua, taat dalam kebaikan, yakni mendukung kebijakan dan arah strategis yang membawa manfaat publik, selama itu selaras dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga, menegur dengan adab, yaitu menyampaikan kritik atau koreksi terhadap kesalahan dengan cara yang menjaga marwah kepemimpinan, bukan dengan cara yang merusak atau membakar jembatan komunikasi.
Kita bisa belajar dari budaya Jepang, di mana penghormatan kepada pemimpin melekat kuat dalam etos kerja dan sosial. Bahkan di perusahaan, loyalitas pada pemimpin menjadi energi untuk produktivitas, bukan beban psikologis.
Menjaga Marwah Kepemimpinan Adalah Menjaga Negeri
Ketika pemimpin bersungguh-sungguh memikul amanah, maka rakyat pun seharusnya bersungguh-sungguh mendukungnya. Sebab tanpa dukungan, pemimpin akan jadi petarung sendirian dalam arena yang penuh aral.
Negara ini tidak dibangun oleh satu orang, tapi tidak akan selamat tanpa satu orang yang kita akui dan hormati sebagai pemimpin. Maka, jika kita ingin melihat kemajuan, stabilitas, dan keadilan, kita harus mulai dari satu hal: menghormati, menaati, dan mendukung pemimpin yang kita pilih sendiri.
*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub
BERITA TERKAIT: