Termasuk otoritas untuk mendilusi (menambah modal swasta), mendivestasi (menjual)dan bahkan melikuidasi (membubarkan) BUMN. Sebuah otoritas yang sesungguhnya bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi dan Undang Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 menyebut "Kedaulatan berada di tangan rakyat". Secara konstitusional, kekuasaan atau kedaulatan atas negara itu ada di tangan rakyat. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) mengatakan bahwa kedaulatan rakyat itu tidak dapat dialihkan atau dibagi (Christopher Betts,1994). Ini artinya ideal kepemilikan dan kontrol dari sistem bisnis BUMN dan aset negara lainya itu mestinya di tangan rakyat langsung.
Logika sederhananya, badan hukum BUMN dan BPI Danantara adalah badan usaha milik negara. Negara adalah milik rakyat dan kedaulatan rakyat atas negara tidak dipindahkan atau dibagi ke pihak manapun dan termasuk kepada pemerintah sebagai
persona ficta badan hukum publik. Sehingga kewenangan superior atas pengelolaan aset BUMN dan Negara di tangan pemerintah cq Presiden jelas inkonstitusional.
Menurut Pasal 33 ayat 1 disebut secara tegas "perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan". Disebut selanjutnya dalam pasal 33 ayat 2 "cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara". Selanjutnya pasal 33 ayat 3 menyebut " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat".
Ditegaskan oleh Mohammad Hatta sebagai penyemat Pasal 33 UUD 1945 bahwa dikuasai oleh negara tidak mesti berarti negara menjadi penguasa, ondernemer, usahawan. Lebih tepat negara membuat peraturan untuk melancarkan jalan ekonomi, yang melarang penghisapan orang yang satu oleh orang yang lain (Mohammad Hatta, Koperasi Membangun, Membangun koperasi, Pusat Koperasi Pegawai Negeri Jakarta Raya, 1971 hal. 163).
Konstitusi kita menganut sistem demokrasi ekonomi. Dalam suatu rezim demokrasi, asas pengelolaan langsung perusahaan negara oleh rakyat merupakan salah satu inti dari demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi semestinya memberi peluang partisipasi aktif rakyat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi. Seluruh rakyat harusnya jadi pemilik (prinsipal) perusahaan BUMN dan aset negara. Akta riil dari seluruh saham dan aset negara yang lainya mestinya berada dalam kuasa rakyat seluruhnya.
Memiliki yang dimaksud berarti juga turut menentukan, mengendalikan, dan menikmati hasil-hasil perusahaan BUMN. Aksiomanya sangat jelas, apa yang tidak dimiliki maka tidak dapat dikendalikan.
Praktik MenyimpangPenyimpangan BUMN terhadap sistem demokrasi ekonomi atau ekonomi Konstitusi sebetulnya sudah terjadi sejak lama. Masalahnya ada di dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan diperparah oleh hasil revisinya baru baru ini. Semua kuasa BUMN dan BPI Danantara berada di tangan Pemerintah (Cq Presiden).
Peraturan tersebut akhirnya membuat masyarakat tidak dapat mengendalikan perusahaan BUMN secara demokratis sebagaimana dikehendaki Konstitusi. Karena itu, rakyat Indonesia kehilangan haknya.
Tidak hanya sampai di situ, pelanggaran terhadap Konstitusi berlanjut karena secara redundant dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12 UU BUMN disebut bertujuan mengejar keuntungan (
profit oriented). Akibatnya, seluruh BUMN tidak berbeda lagi dengan usaha swasta; korporasi pengejar keuntungan. Sebagian besar masyarakat pun diposisikan sebagai objek eksploitasi bisnis semata.
Perusahaan BUMN terseret jauh menjadi ajang pengerukan keuntungan yang dilakukan oleh para elite politik dan elite kaya. Bahkan, BUMN membuka lebar-lebar keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara melalui program privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Para pekerja alih daya (
outsourcing) menjadi korban eksploitasi kemanusiaan di pelbagai tempat. Sementara itu, komisaris dan direksi menikmati gaji ratusan kali lipat dari rasio upah buruh terendah.
BUMN yang diharapkan memberi kontribusi positif pada keuangan negara justru banyak mengeruk uang negara dan menjadi beban fiskal. Pada tahun tutup buku 2021 misalnya, dari 91 BUMN Indonesia yang terdiri dari 12 Perusahaan Umum (Perum) dan 79 Perseroan, laba yang disetor kepada negara dari sumber kekayaan negara dipisah (KND) hanya sebesar Rp 37,1 triliun. Padahal, subsidi yang dikucurkan pemerintah untuk BUMN jumlahnya sangat besar.
Sebut saja misalnya, setoran dividen BUMN dari BRI kepada kas negara misalnya, jumlahnya adalah sebesar Rp23,15 triliun (Laporan Keuangan BRI, 2022). Padahal BRI sepanjang tahun 2022 itu menerima subsidi bunga dan Imbal Jasa Penjaminan yang berpengaruh langsung di sisi pendapatan bersih sebesar Rp21,56 triliun (Outlook 2022, Nota Keuangan, 2023).
Faktanya, justru bank ini yang paling banyak menguras uang negara melalui subsidi bunga dan Imbal Jasa Penjaminan. Jadi keuntungan bersih atau earning-nya itu berasal dari uang negara, para pembayar pajak, bukan dari kinerja. BRI bukan menyumbang negara tapi telah menyedot uang negara secara besar besaran.
Itu baru BRI, belum Bank Himbara yang lain serta BUMN lainya seperti PT. Pertamina, PT. Garuda, dll. Mereka banyak menerima subsidi dari Dana Restrukturisasi akibat Pandemi Covid-19.
Hal yang lebih memprihatinkan, BUMN yang diandalkan memberi setoran sangat besar kepada negara adalah dari sektor perbankan. Padahal, BUMN perbankan justru paling banyak memperoleh subsidi dan bentuk insentif lainya berupa modal penyertaan, dana penempatan, dana restrukturisasi, dan lain lain.
Padahal, BUMN perbankan adalah perusahaan
go public. Ia seharusnya mencari sumber tambahan modal dari pasar modal bukan dari pemerintah. Selain memperlemah moral kerja bankir juga merusak daya saing perbankan kita dan yang pasti menambah beban fiskal pemerintah yang terus-menerus mengalami defisit nerara pembayaran.
Dari 91 BUMN tahun 2021, yang merugi ternyata 41 perusahaan. Bahkan, banyak di antara BUMN selebihnya terjerat utang dan beban bunga cukup besar. Pada tahun 2021 saja, secara keseluruhan BUMN butuh bantuan likuiditas yang menyedot penambahan modal dari pemerintah sebesar Rp79 triliun. Misalnya, PT Garuda Indonesia berada dalam posisi merugi dan mesti ditopang keuangan negara untuk melunasi utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp8,1 triliun dan kerugian sebesar Rp38,7 triliun. Belum lagi PT Jiwasraya yang merugi dan harus menyedot uang pemerintah untuk setoran modal baru hingga Rp19 triliun.
Beban utang BUMN tahun 2021 secara keseluruhan sebesar Rp7.161 triliun dari nilai aset keseluruhan Rp 10.017 triliun. Ini artinya risiko keuangan perusahaan BUMN secara konsolidasi sangat tinggi. Setiap 3 rupiah utang perusahaan hanya dijamin oleh kurang dari 1 rupiah asset perusahaan. Hal tersebut jelas menandakan resiko perusahaan yang buruk.
Selain itu, keuangan BUMN selama ini sesungguhnya banyak yang disedot untuk membayar bunga dari para kreditor. Keuntungan bersih sebelum pajak dan bunga (EBIT) pada tahun 2021 sebesar Rp317,1 triliun. Untuk membayar bunganya saja sebesar Rp89,3 triliun atau sebesar 28 persen. Penyerahan kuasa aset ke BPI Danantara adalah tentu tak lepas dari upaya untuk mengkamuflasekan resiko besar utang BUMN yang berpotensi gagal bayar sangat tinggi ini.
Dari segi transparansi, ada 34 laporan keuangan perusahaan BUMN yang tidak teraudit (
unaudited). Artinya, validitas laporan keuangan BUMN tersebut patut diragukan. Pada era ekonomi digital, perusahaan BUMN yang mengelola dana triliunan rupiah namun laporan keuangannya tidak
audited tentu sangat memprihatinkan. Hal yang juga mengalami kemunduran cukup signifikan dari kinerja Kementerian BUMN sebagai institusi pembina perusahaan BUMN adalah tidak ditampilkanya laporan keuangan konsolidasi BUMN yang dahulu dapat diakses oleh publik. Itu juga menandakan transparansi BUMN ke hadapan publik makin menurun.

(Bersambung ke Bagian 2)
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang
BERITA TERKAIT: