Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dilema Negara Kesejahteraan

Oleh: Suroto*

Kamis, 13 Februari 2025, 03:13 WIB
Dilema Negara Kesejahteraan
Ilustrasi/LinkedIn
KONSEP Negara Kesejahteraan awalnya dipromosikan Otto von Bismarck dan kemudian oleh Paus Leo XIII dengan surat terbuka yang terkenal Rerum Novarum (15 Mei 1891). Inti ensiklik itu adalah mendorong negara di Eropa untuk berperan aktif melakukan promosi sosial kepada warganya agar terbebas dari penderitaan akibat perangai sistem kapitalisme di masa revolusi industri.

Inti konsep Negara Kesejahteraan mengajukan peran negara sebagai instrumen kontrol sosial dan promotor kesejahteraan umum yang diterjemahkan dalam berbagai program, seperti jaminan sosial, pendidikan murah/gratis, penurunan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan lain lain. Sistem negara kesejahteraan memang  dapat menjadi jawaban bagi persoalan kemiskinan, kesenjangan, serta ketidakadilan sosial-ekonomi akibat gagalnya praktik sistem fundamentalisme pasar atau neo-liberalisme di Eropa. 

Sistem Negara Kesejahteraan muncul sebagai bentuk kompromi korporasi-korporasi kapitalis, karena mereka tetap dapat bebas mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital pribadi dalam sistem persaingan bebas dengan beban pajak yang lebih tinggi untuk mereduksi persoalan sosial yang muncul. Wajahnya berubah, tetapi wadag (tubuh)-nya panggah. 

Korporat-kapitalis besar tetap dibiarkan bebas mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital serta bersembunyi di belakang wajah arif negara dalam menangani kerusakan, krisis, kerugian, konflik, pembodohan, kemiskinan dan pengangguran yang diakibatkan oleh keserakahan mereka. 

Meminjam istilah Profesor Dawam Rahardjo, peralihan dari sistem kapitalisme liberal menuju sistem negara kesejahteraan itu adalah hanya mengalihprofesikan negara dari penjaga malam menjadi penjaga toilet untuk membersihkan kerak kapitalisme. 

Secara sosio-historis, konsep Negara Kesejahteraan cocok untuk Eropa, khususnya negara-negara Eropa Barat. Sebagaimana diketahui, Eropa masa itu memang sedang mengalami revolusi industri dan liberalisme yang kemudian menghasilkan residu kemanusiaan dan konflik domestik antara buruh atau kaum proletar dan kaum borjuasi pemilik pabrik. Lantas ditawarkan konsep Negara Kesejahteraan sebagai solusi.

Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia tentu berbeda dan kita tidak dapat mengadopsinya begitu saja. Kita mewarisi kesenjangan struktural akibat warisan kolonialisasi negara-negara Eropa. Kesenjangan struktural saat Indonesia dijajah Belanda masih sama hingga hari ini. Bahkan, kondisi saat ini ditambah dengan merebaknya kerusakan lingkungan secara masif. Pembabatan hutan/deforestasi di Indonesia selama tiga dekade terakhir, misalnya, tercatat sebagai yang tercepat di dunia.

Dari segi sosial-ekonomi, kondisi dualisme ekonomi yang diungkap oleh ekonom JH Booke juga masih sama. Struktur sosial-ekonomi kita terdiri dari deret kemakmuran yang dinikmati segelintir elite di atas dengan jumlah rakyat miskin dan rentan miskin jauh lebih banyak. Penguasaan kekayaan dan bisnis oleh sekelompok elite masih tetap langgeng. Kekayaan 5 anggota keluarga konglomerat di Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia yang termiskin. 

Kita membutuhkan transformasi struktural melalui jalan demokratisasi ekonomi. Bukan mengadopsi sistem negara kesejahteraan, sebab masalah utamanya adalah karena adanya konsentrasi kepemilikan dan monopoli kekayaan kelompok elite kaya dan politisi serta distribusi pendapatan yang tidak berkeadilan. Hal tersebut tidak dapat diselesaikan dengan manajemen pajak progresif dan alokasi fiskal semata, apalagi sumber fiskal Indonesia selama ini ditopang oleh utang. Demokratisasi ekonomi menghendaki penciptaan redistribusi pendapatan dan kekayaan dengan berikan peluang warga secara umum untuk turut memiliki saham perusahaan, peluang untuk mengkreasi kekayaan dan sekaligus pendapatan. 

Pengetatan Anggaran dan Utang

Hari ini rupanya pemerintahan Prabowo baru menyadari bahwa kondisi fiskal yang telah dibebani belanja sosial dengan sumber dari utang tidak mungkin akan dapat menjamin negara ini melanjutkan pembangunan. Upaya pemangkasan anggaran di berbagai kementerian dan lembaga serta pos program pembangunan yang jadi beban besar seperti alokasi ugal ugalan pembangunan infrastruktur harus dihentikan. 

Posisi utang kita sudah cukup parah karena kemampuan membayar utang yang rendah dan memberatkan fiskal. Posisi utang Indonesia saat ini, menurut ekonom Awalil Rizky (2022), ibarat gali lobang buat jurang karena pinjaman pokok dan bunganya harus dibayar dengan utang baru. Pemerintah Indonesia hingga tahun 2024 telah mewariskan utang lebih dari 8000 triliun rupiah. Bahkan untuk tahun 2025 inipun pemerintah harus segera membayar utang jatuh tempo sebesar 1.300 triliun rupiah. 

Selama ini, dalam pengelolaan utang, pemerintah sering kali mengeluarkan narasi yang menyesatkan masyarakat. Masyarakat disesatkan dengan membandingkan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB). Bahkan, rasio utang Indonesia terhadap PDB kerap diperbandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat; utang kita dianggap masih lebih kecil dan lebih baik. Padahal, posisi utang justru sebaiknya dihitung dengan kemampuan bayar dan tentu disertai daya dukung indikator ekonomi makro lainnya, seperti rasio terhadap ekspor, rasio utang jangka pendek, rasio bagian utang luar negeri, termasuk rasio utang yang dikonsesikan. 

Jika dibandingkan dengan Jepang, misalnya, kualitas dan kinerja kita sudah pasti sangat jauh di bawah mereka. Kemampuan bayar dan indikator daya dukung stabilitas ekonomi makro Jepang jauh lebih kuat daripada Indonesia. Sementara itu, juga tidak sepadan jika Indonesia dibandingkan dengan Amerika Serikat yang “mencetak” dolar dan mampu menguasai peredaran mata uang se-dunia.

Negara-negara Global Utara sebagai promotor Negara Kesejahteraan juga sangat paham bahwa sumber fiskal untuk membiayai semua program dan promosi sosial negara kesejahteraan berasal dari dua sumber utama: pajak dan utang. Jika pajak tidak tercapai, seluruh pembiayaan itu akan dibebankan kepada utang.

Dalam konteks penerapan sistem ekonomi, faktor sejarah, latar sosial-ekonomi dan kultural suatu negara sangat penting untuk dijadikan dasar pertimbangan. Sistem ekonomi yang berjalan baik di satu negara tidak dapat serta-merta dikembangkan atau diadopsi begitu saja di negara lain. Profesor Schumpeter katakan dengan tegas, tidak ada sebuah resep sistem ekonomi yang cocok bagi semua negara. 

Kita tidak butuh negara kesejahteraan dan kita sudah punya sistem yang diamanahkan oleh UUD 1945, yaitu sistem demokrasi ekonomi. Konsep demokrasi ekonomi adalah konsep yang anti terhadap kapitalisme dan juga varian barunya, neo-kapitalisme seperti Negara Kesejahteraan. Konstitusi kita dan juga para pendiri republik ini menginginkan adanya pembebasan terhadap sistem neo-kapitalisme yang menindas dan eksploitatif melalui transformasi besar demokratisasi ekonomi. 

Mereka menempatkan cita-cita demokrasi ekonomi itu dalam konstitusi, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Di sana jelas disebutkan bahwa peranan negara adalah benar untuk menciptakan kesejahteraan, namun tidak dengan konsep negara kesejahteraan. Menciptakan kesejahteraan adalah dengan konsep demokrasi ekonomi yang berarti menyerahkan sepenuhnya soal ekonomi pada peran masyarakat banyak sebagai pelaku utama dan negara berfungsi serta berpihak pada kepentingan usaha sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 

Disebutkan secara tegas bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Perekonomian juga tidak boleh jatuh ke tampuk orang perseorangan. Karena itu, ekonomi harus dikelola dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kemudian dijelaskan juga bahwa koperasi adalah bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.

Beberapa agenda penting untuk melakukan transformasi menuju demokrasi ekonomi seperti itu adalah alokasi pendapatan minimum warga negara (universal basic income), kepemilikan saham untuk buruh (Employee Share Ownership Plan-ESOP), pembatasan rasio gaji tertinggi dan terendah, demokratisasi BUMN dan BUMD, pengembangan kelembagaan koperasi di berbagai sektor strategis ekonomi rakyat, penerapan model substitusi impor dengan mendorong kekuatan ekonomi domestik (misalnya, pangan dan energi), mengubah kebijakan model paket input dengan memperkuat kelembagaan sosial-ekonomi warga, mengendalikan sistem kontrol devisa dengan lebih ketat, mengelola utang secara prudent, reforma agraria, menerapkan sistem tata kelola, dan lain lain. 

Negara Kesejahteraan adalah sistem neo-kapitalisme. Ini bukan keinginan para pendiri republik ini dan juga bukan perintah konstitusi. Bila ada yang menyatakan bahwa Negara Kesejahteraan adalah amanah konstitusi dan kehendak para pendiri republik, interpretasi seperti itu dilakukan oleh mereka yang tuna aksara dan tuna makna konstitusi.

Bagi negara negara miskin dan berkembang, Negara Kesejahteraan ibarat buaian mimpi yang sengaja dihembuskan oleh negara-negara Global Utara untuk dua tujuan utama: kita dibujuk untuk naik ke atap mencapai kemajuan sosial-ekonomi seperti yang telah mereka raih, namun pada saat bersamaan mereka menarik dan menendang tangga yang sedang kita injak. 

Sekali lagi, welfare state atau negara kesejahteraan itu adalah jebakan baru negara-negara Global Utara. Selain tidak sesuai dengan isi konstitusi kita, yang pasti kita tidak ingin menjadi seperti Srilanka. rmol news logo article


*Tulisan direproduksi dan disesuaikan dengan kondisi kekinian dari sub judul "Menolak Negara Kesejahteraan" dalam buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme" karya Suroto.

*Penulis adalah Direktur Cooperative Research Center (CRC)Institut Teknologi Keling Kumang, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis(AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA