Petruk suatu ketika mempraktikkan perjalanan hidup sebagai Raja. Raja untuk mengingatkan sebagai kritik terhadap kehidupan di dunia nyata dari sudut pandang cerita pewayangan, yang terkenal bagi pecinta wayang pada etnis Jawa.
Persoalan di dunia nyata kemudian adalah Roy Suro sebagai aktivis yang merupakan kritikus kelompok oposisi di luar parlemen mempraktikkan simbolisme Petruk digantung. Digantung mati, setelah kelompok oposisi di luar parlemen untuk ketiga kalinya berpindah-pindah tempat sebanyak tiga kali.
Berpindah guna menyelenggarakan pertemuan dan seminar kebangsaan untuk berperan mengkritisi kinerja pemerintah. Pertama di Balai Sudirman. Kedua di Hotel Bidakara. Terakhir di hotel Grand Alia Jakarta Pusat.
Dari sudut pandang keseimbangan demokrasi kebarat-baratan, diyakini diperlukan kinerja kelompok oposisi sebagai penyeimbang terhadap kelompok arus utama yang berkuasa. Kelompok arus pinggiran ini diyakini oleh penganut keyakinan demokrasi adalah sebagai jalan terbaik untuk menjaga dinamika keseimbangan kehidupan demokrasi.
Demokrasi yang diyakini akan menyelamatkan dan menjaga menghindari dari potensi praktik-praktik tirani, otoriter, haus kekuasaan, dinasti bengis, dan berbagai sumpah serapah untuk perilaku lawan ekstrim dari kondisi demokrasi. Meyakini sistem yang demokratis sebagai pilihan yang lebih baik. Demokrasi yang dipungut dari kebudayaan barat dan Romawi.
Meskipun demikian, Machiavelli mengingatkan tentang potensi dari demokrasi yang dapat menimbulkan chaos. Demokrasi yang kebablasan. Kekacauan. Misalnya, tentang gagasan untuk menggantung wayang Petruk untuk mengakhiri kritik kehidupan.
Hal itu sekalipun Petruk sedang mempraktikkan kritik sosial tajam dengan berperan sebagai raja. Raja yang musti digantung, karena diyakini oleh kelompok oposisi di luar parlemen bahwa Petruk sebagai sumber dari segala kemunduran pembangunan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Ketidakcocokan oposisi di luar parlemen ditengarai berawal panjang dari kekalahan-kekalahan dalam Pilpres selama ketiga kali periode. Kekecewaan kalah setelah Mahkamah Konstitusi memenangkan kelompok arus utama.
Berduka cita yang panjang terkesan telah membuat kebangkitan kritik tajam terhadap kinerja pemerintah. Misalnya, membawa dakwaan kasus ijazah palsu ke pengadilan negeri, yang sekalipun kalah dalam persidangan, namun tetap maju pantang mundur dengan keyakinannya sebagai kritikus oposisi di luar parlemen.
Menyuburkan isu PKI gaya baru. Senantiasa mengkritisi kegagalan pemerintah, sekalipun tanpa dukungan data empiris yang kuat di dunia nyata.
Sesungguhnya berbeda bukanlah suatu dosa, melainkan menghadirkan kekayaan kesempurnaan guna memberlanjutkan pembangunan nasional. Menjaga keselarasan untuk mencegah potensi sebagai negara gagal. Mencegah terwujudnya Indonesia cemas.
Akan tetapi sederetan ketidakpuasan dari arus pinggiran, misalnya yang antara lain diaspirasikan oleh Faizal Assegaf, Amien Rais, Oegroseno, Soenarko, Refly Harun, Eddy Mulyadi, Marwan Batubara, Mursalin, Roy Suryo, M Rizal Fadillah, Purnomo, Rahma Sarita, Syafril Sofyan, Sugeng Waras, Bunda Merry, dan lainnya; itu terkesan turut mencemaskan suasana stabilitas ketentraman batin selama mereka terkesan hendak melakukan praktik-praktik di luar sistem peradilan formal.
Menyelesaikan perbedaan pandangan aspirasi sudut pandang keadilan sosial, namun terkesan hendak mempraktikkan di luar mekanisme yudikatif, yaitu misalnya menarasikan rencana hendak menangkap, mengadili, memenjarakan, dan menggantung mati pada pemimpin nasional, yaitu Joko Widodo.
Akan tetapi dakwaan bersalah yang telah dikomunikasikan terkesan kuat menggunakan di luar kriteria dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UUD 1945 hasil Amandemen Satu Naskah.
Sekalipun aspirasi tersebut sesungguhnya hanya berupa letupan-letupan gagasan kemarahan, namun aspirasi tersebut telah mengganggu suasana kebatinan dalam membangun budaya ketimuran.
Abraham Samad, misalnya, menyampaikan gagasan tentang betapa baik, jika pemerintah Indonesia mempraktikkan menindak para pemimpin nasional seperti pada kasus di sejarah Korea Selatan dalam mengadili pemimpin nasional mereka, memperlakukan seperti mencopot menteri yang melanggar etika anti gratifikasi di Thailand, dan lain sebagainya.
Abraham Samad sebagaimana Roy Suryo ingin mempraktikkan penegakan hukum seperti negara sahabat. Ingin praktek demokrasi di negeri Paman Sam dipraktekkan di Indonesia tanpa perbedaan apa pun, sekalipun nilai-nilai yang dianut mereka sungguh berbeda dengan aspirasi praktik pada masyarakat kebanyakan di Indonesia, yakni menjunjung tinggi-tinggi dan memendam yang sedalam-dalamnya.
Meskipun demikian sesungguhnya pada sejarah masa lalu di Indonesia, antara lain dalam penegakan hukum dakwaan pencurian harta kekayaan Kerajaan pada kasus putra mahkota yang dipotong tangannya oleh Ratu Sima. Contoh sejarah tersebut antara lain dirindukan oleh kritikus pembela demokrasi.
Demokrasi yang telah membangkitkan gagasan praktek pengadilan persidangan Mahkamah Rakyat luar biasa. Mahkamah yang berada di luar sistem peradilan formal yang berlaku. Mempraktikkan penegakan hukum di luar kesepakatan pada sistem peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang yang dibangun atas kesepakatan parpol-parpol dalam parlemen bersama pemerintah.
Terkesan bagaikan mengalami tekanan depresi panjang, sebagai implikasi dari pandangan yang berbeda dalam mewujudkan sistem demokrasi, kemudian memilih gagasan penindakan di luar tata perundang-undangan yang berlaku. Mempraktikkan di luar kesepakatan politik di antara kekuatan parpol-parpol bersama pemerintah.
Menggunakan pengukuran yang tidak lazim dalam pengukuran, namun pemerintah sebenarnya berlapang dada telah bertindak memberikan ruang dan waktu keberlangsungan perbedaan gaya, pendapat, dan lain sebagainya dalam berbagai gaya berdemokrasi sepanjang tidak melawan hukum formal.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: