Untuk mengurangi tekanan terhadap potensi dampak negatif yang ditimbulkan oleh tekanan daya dukung lahan permukiman, perkantoran, dan lain sebagainya, maka pilihan alternatif secara sangat sederhana adalah dengan cara memindahkan penduduk, bahkan pemindahan kota administratif ibukota negara ke provinsi yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tergolong jarang.
Lokasi provinsi yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk terjarang adalah Provinsi Papua dengan kepadatan 6 orang per kilometer persegi pada tahun 2023.
Kemudian Provinsi Kalimantan Tengah, atau Kalimantan Timur yang masing-masing mempunyai tingkat kepadatan penduduk serba sama sebesar 12 orang per kilometer persegi.
Provinsi Papua berada di wilayah Indonesia Timur, paling ujung. Oleh karena itu ditinjau dari kepadatan penduduk yang paling jarang dan terdapat keseimbangan lokasi geografis, maka provinsi yang terpilih adalah Kalimantan Tengah atau Kalimantan Timur.
Kemudian ditinjau dari provinsi yang mempunyai pelabuhan laut untuk kemudahan kegiatan ekspor dan impor menggunakan armada kapal laut, maka dapat dimengerti apabila pilihan lokasi ibukota yang baru adalah di Provinsi Kalimantan Timur.
Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, kepindahan ibukota negara ke Nusantara sulit disangkal, selain yang dipersoalkan adalah mengapa sekarang, apa memulai pembangunan ibukota negara tidak dapat senantiasa ditunda-tunda sepanjang masa ke dasawarsa-dasawarsa berikutnya.
Argumentasi yang digunakan adalah tentang prioritas kemampuan keuangan negara. Pertimbangan lainnya seperti kesiapan pemenuhan kebutuhan air baku bermutu, listrik, rumah sakit, klinik, dan puskesmas, jembatan, kendaraan umum, jalan tol, bandar udara internasional, kereta api, pelabuhan laut berskala internasional, menaikkan kepadatan penduduk, membangun hotel, perkantoran, pasar, sekolahan dan universitas, memasukkan investasi swasta, BUMN, dan asing, dan seterusnya.
Sekarang, satu-persatu kebutuhan dasar membangun ibukota negara itu sedang dipersiapkan secara sangat bertahap.
Aspirasi yang ingin serba menunda untuk pindah ibukota, bahkan menolak, antara lain karena pertimbangan kekhawatiran kekurangan air, khawatir sebagai daerah berpotensi gempa bumi, tanahnya mengandung banyak kandungan mineral dan batubara, maupun urusan kekhawatiran mendapat serangan binatang buas, atau khawatir mendapat penolakan oleh penduduk setempat yang mungkin belum dapat menerima akulturasi budaya secara sangat cepat, bahkan berpotensi terjadi perubahan budaya dari tradisional berubah secara drastis menjadi revolusioner.
Khawatir berpotensi mendapat invasi dari negara musuh dan sebagai sasaran yang lebih cepat dibandingkan Ibukota Jakarta. Khawatir tidak mendapat lapangan pekerjaan baru yang cocok. Khawatir pada wilayah yang jarang kepadatan penduduk merupakan representasi ketidakcocokan, ketidakramahan, ketidaksuburan, dan serba ketidakmudahan.
Memang senantiasa terdapat sejuta-juta alasan untuk tidak cocok dan menolak pindah ibukota negara ke Nusantara. Paling tidak minimal merasa tidak cocok dengan pemberian nama Nusantara. Tidak cocok sebagai gagasan personal, kesepakatan wakil-wakil rakyat, ataukah kebijakan nasional.
Selalu saja kegiatan migrasi penduduk menghasilkan orang-orang yang berpotensi menolak menjadi migran, melainkan memilih menetap di kampung halaman seumur hidup atas pertimbangan merasa telah nyaman bermukim di tempat tinggal yang lama.
Sumber fleksibilitas kesediaan migrasi terletak pada kehidupan rumah tangga sebagai migran menetap, ataukah bersifat sementara. Berumah tangga lebih dari satu tempat tinggal, atau pindah sepenuh ke ibukota Nusantara. Memulai dari modal awal kembali.
Memulai masuk sebagai komunitas yang baru. Merantau kembali. Untuk etnis tertentu yang memiliki keluwesan dalam merantau, maka hambatan pindah permukiman bukanlah kendala, melainkan memunculkan peluang dan harapan yang baru.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
BERITA TERKAIT: