Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menanti Peraturan Khusus Pelaut

Oleh: Capt. Dwiyono Soeyono*

Rabu, 26 Juni 2024, 02:19 WIB
Menanti Peraturan Khusus Pelaut
Ilustrasi Foto/Net
DALAM rangka memperingati Hari Pelaut se-Dunia yang jatuh pada 25 Juni, perlu dipastikan dukungan pemerintah kepada pelaut Indonesia. Pelaut perlu jaminan kepastian hukum dalam ketenangan bekerja agar dapat konsisten menghasilkan devisa negara.

Jaminan kepastian hukum itu sampai saat ini masih belum nyata, karena masih terjadinya tarik ulur kewenangan payung hukum antar lintas Kementerian/Lembaga (K/L) antara di bawah Kementerian Perhubungan cq Direktorat Perhubungan Laut dengan Kementerian Ketenagakerjaan.

Deputi bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo mengatakan, pemerintah memberikan perhatian besar terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI). Salah satunya awak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja sebagai pelaut. Menurut dia, ABK ini mampu menambah devisa negara berkisar Rp 151,2 triliun dari pendapatan yang didapatkan (Kompas, 17 Februari 2021).

Ada konvensi produk badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dikenal dengan The International Convention on Migrant Workers and its Committee, dimana menyatakan dengan tegas pelaut di luar dari pemberlakuan konvensi yang dibuat. Dengan kata lain, bahwa pelaut dinyatakan sebagai Bukan Tenaga Migran. Pemahaman demikian memang tidak bisa dibiaskan, mengingat adanya konvensi ILO C97 pasal 11 yang jelas-jelas menyatakan pelaut tidak masuk dalam kategori tenaga migran.

Ini sangat disadari oleh ILO dan telah dipertimbangkan matang-matang, karena memang karakter penanganan pekerja pelaut sebagai pekerja di laut (lex spesialis) dengan aturan-aturan yang mengikatnya secara internasional tidak bisa disamakan dengan pekerja umum dengan kegiatan bekerja di darat (lex generale).

Indonesia meratifikasi konvensi tersebut (The International Convention on Migrant Workers and its Committee dalam bentuk UU RI No.6 tahun 2012). Artinya Indonesia juga menyatakan setuju atas keseluruhan isi dari konvensi untuk taat sesuai makna dari pemahaman arti Konvensi.

Menyimak pada UU No.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), pemahaman yang tidak tepat tentang kategori pelaut sebagai tenaga pekerja migran justru muncul dan dilegitimasikan dalam UU RI.

Mengapa kepastian hukum itu sedemikian penting bagi pelaut aktif yang masih berlayar di luar negeri khususnya, yang notabene pelaut adalah tenaga kerja lex spesialis berstandar sertifikasi Internasional?

Beberapa hal yang harus dipahami terkait standar kepelautan internasional di antaranya pelaut tidak mengenal Undang-undang Ketenagakerjaan RI, pelaut sudah memiliki mekanisme dan aturan-aturan khusus. Pelaut tidak mengenal UU RI lainnya terkait kepelautan yang diberlakukan bagi pelaut sebatas wilayah Indonesia, dimana yang berlaku secara internasional adalah berdasarkan konvensi-konvensi lintas negara.

Pelaut telah memiliki standar perlindungan pelaut Internasional dalam perjanjian kerja laut standar kepelautan. Selain itu, pelaut juga telah memiliki mekanisme dan standar perjanjian kerja pelaut secara Internasional dan diakui. Pelaut juga memiliki perangkat peraturan perlindungan sesuai standar internasional, dimana jaminan kompensasinya jauh lebih tinggi bagi pelaut dibanding yang tertuang dalam peraturan Indonesia.

Dari beberapa hal yang disinggung di atas dengan pertimbangan aspek bisnis perkapalan internasional, bila dipaksakan memahami dan mengikuti standar Indonesia yang dianggap menyulitkan proses perekrutan, maka pangsa peluang profesi pelaut di dunia internasional bisa terancam.

Karena secara bisnis di luar negeri akan melirik pada negara-negara lain dengan SDM pelaut-pelautnya sudah siap serap dengan standar yang sudah berlaku umum secara internasional tanpa menyulitkan proses perekrutan dan lain-lain termasuk perangkat-perangkat peraturan perlindungannya. Dapat dibayangkan kerugian pemasukan devisa negara dari pelaut bila hal demikian terjadi? Meningkatnya potensi pendapatan devisa negara dari pelaut, sangat bergantung kepada kepastian perangkat hukum yang memayungi pelaut.

Mengapa negara harus berani menyatakan pelaut adalah bukan tenaga migran dan termasuk lex spesialis? Karena bila status itu melekat, secara otomatis semua perangkat aturan dan hukum yang berlaku untuk memayungi serta merta melekat sesuai status yang dinyatakan. Dunia industri perkapalan internasional juga akan menaruh respek terkait kepatuhan yang dilakukan terhadap konvensi yang sudah disepakati.

Saran-saran bagi lembaga legislatif dan eksekutif yang memiliki kewenangan terkait maritim niaga untuk mendukung peran pelaut agar dapat meningkatkan devisa negara, antara lain Direktur Jenderal Perhubungan Laut laiknya dari profesi dengan latar belakang pendidikan tinggi lulusan Diklat Perla yang tidak segan mendengar masukan-masukan praktisi, agar benar benar memahami segala aspek kepelautan.

Harus ada ketegasan kehadiran negara, pelaut dengan segala aturan-aturan hubungan kerja yang berlaku di Bawah kewenangan Kemenaker atau di bawah Kemenhub cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Negara harus berani menyatakan pelaut adalah bukan tenaga migran, dimana artinya sebagai konsekuensi hukum bahwa UU PPMI harus direvisi sesuai konvensi ILO yang diratifikasi.

Harus ada standar mekanisme perekrutan yang disepakati lintas beberapa Lembaga Kementerian negara (Kemenhub, Kemenaker, Kemenkumham, Kemenko Marves, Kemenlu). Izin usaha perekrutan pelaut harus ditetapkan negara, berada dibawah Lembaga Kementerian yang mana?

Slanjutnya memperluas kerja sama CoR (Certificate of Recognition) sesuai STCW dengan negara-negara asing yang yang sifatnya saling mengakui terkait pendidikan pelaut, sehingga ijazah Indonesia diakui oleh semua negara yang mengakui konvensi IMO-STCW.

Peran serikat pekerja pelaut yang memfasilitasi KKB sesuai MLC 2006 harus lebih nyata sumbangsihnya bagi pelaut. Negara harus hadir untuk membuat daftar serikat pekerja pelaut yang mana saja, yang sudah memenuhi persyaratan-persyaratan membuat KKB sesuai standar mutu yang baik, dimana pihak industri perkapalan di luar sebagai user mendapatkan referensi yang tepat.

Maka harus dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut ke luar negeri dengan pelaut yang bekerja dalam negeri. Selain itum juga harus dipilah dan dibedakan proses dan mekanisme perekrutan pelaut kapal niaga dengan pelaut perikanan ke luar negeri.

Dengan demikian, segera dibuatkan undang-undang perlindungan profesi tenaga ahli bidang pelayaran niaga, bersinergi dengan organisasi profesi terkait (bukan serikat pekerja). Kampanye sosialisasi kode etik profesi tenaga ahli bidang pelayaran niaga diintensifkan bersama-sama dengan organisasi profesinya (bukan serikat pekerja).

Perhatian dan fungsi kontrol dari Komisi V DPR RI juga berperan aktif dan interaktif atas masukan masyarakat terkait kinerja pemerintah sektor maritim. Khusus untuk pelaut-pelaut yang bekerja sebatas wilayah NKRI, agar dikawal dengan harmonis ketenangan dan kenyamanan bekerjanya oleh aparat-aparat terkait mengingat pelaut sedang berkontribusi untuk mendukung naiknya perekonomian negara dari sektor maritim niaga.

Semoga bukan harapan hampa agar peran pelaut yang berkontribusi signifikan bagi pemasukan devisa negara dapat terus ditingkatkan dengan budaya komunikasi interaksi di antara seluruh pemangku kepentingan pengguna jasa profesi pelaut. rmol news logo article
 
 
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA