Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dua Langkah Menuju Penggratisan UKT PTN

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/gede-sandra-5'>GEDE SANDRA</a>
OLEH: GEDE SANDRA
  • Selasa, 28 Mei 2024, 12:31 WIB
Dua Langkah Menuju Penggratisan UKT PTN
Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat, Gede Sandra/Net
POLEMIK Uang Kuliah Tunggal atau UKT meredup setelah Presiden Jokowi akhirnya memanggil Menteri Pendidikan Nadiem Makarim untuk membatalkan kenaikan UKT Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tahun 2024. Namun Presiden Jokowi tetap menyampaikan bahwa tidak tertutup kenaikan UKT ini akan terjadi di tahun depan 2025.

Sementara, Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyatakan ketidaksetujuannya dengan rencana kenaikan UKT dan menginginkan kalau bisa gratis. Dalam isu UKT ini, Partai Buruh lebih berpihak kepada posisi Prabowo, karena seiring dengan program perjuangan partai yang menginginkan akses pendidikan tinggi gratis bagi anak-anak kelas pekerja di Indonesia.

Berapa Biaya Penggratisan UKT PTN?

Pertanyaannya, berapa jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menggratiskan UKT seluruh PTN di Indonesia? Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, di luar pendidikan vokasi, terdapat 75 kampus PTN akademik yang tersebar di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia.

Jumlah mahasiswa yang terdaftar di 75 kampus PTN ini sebanyak 1,68 juta mahasiswa. Kampus PTN terbesar, pemilik mahasiswa terbanyak, adalah Universitas Brawijaya di Malang dengan jumlah mencapai 56 ribu mahasiswa. Sementara kampus PTN dengan jumlah mahasiswa paling minim adalah Institut Seni dan Budaya (ISBI) Aceh di Banda Aceh dengan jumlah 300-an mahasiswa saja.

Terdapat 30 PTN di Indonesia yang memiliki mahasiswa di atas 30 ribu, dan 20 PTN yang memiliki mahasiswa di bawah 10 ribu.

Besaran UKT di masing-masing kampus PTN pun bervariasi. Di sini coba dihitung nilai UKT rata-rata dari setiap kampus, dengan cara menjumlahkan nilai UKT dari kelompok tertinggi di setiap jurusan dan membaginya dengan jumlah jurusan.

Pendekatan ini dilakukan karena kami tidak memiliki data yang detail untuk distribusi jumlah mahasiswa di setiap jurusan PTN. Sebagai contoh, berdasarkan perhitungan kami, lima kampus PTN dengan UKT rata-rata yang termahal berturut-turut adalah: Institut Teknologi Bandung (Rp14.270.000), Universitas Negeri Malang (Rp14.230.000), Universitas Indonesia (Rp14.190.000), UPN Veteran Yogyakarta (Rp13.000.000), dan Institut Teknologi 10 November Surabaya (Rp12.500.000).

Dengan mengalikan besaran UKT rata-rata di setiap kampus dengan jumlah mahasiswanya, kami berharap dapat mendekati jumlah keseluruhan kebutuhan biaya UKT di kampus tersebut.

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, didapati total biaya UKT untuk 75 kampus PTN di Indonesia adalah sekitar Rp13,1 triliun dalam satu semester. Angka Rp13,1 triliun/semester atau Rp26,2 triliun/tahun ini tentu bukan jumlah yang besar, secara relatif bila dibandingkan dengan anggaran jumbo APBN untuk pendidikan sebesar Rp612 triliun (20 persen APBN).

Apa susahnya melakukan realokasi anggaran jumbo Rp612 triliun untuk dapat menyisihkan Rp26,1 triliun demi menggratiskan UKT PTN? Jangan-jangan yang bermasalah adalah keberpihakan para menterinya, yang berpikir pendidikan adalah bisnis yang harus dikomersilkan untuk membuka jalan bagi bisnis-bisnis pinjaman pendidikan.

Padahal kita tahu, di Amerika Serikat yang sudah jauh lebih lama mengomersilkan pendidikannya pun, akhirnya belum lama ini di bawah Presiden Biden telah menghapuskan total akumulasi pinjaman pendidikan sebesar 167 miliar dolar AS (Rp2.600 triliun) untuk 4,75 juta warga AS.

Realokasi Anggaran Pendidikan dan Penghapusan Subsidi Pertamax

Realokasi anggaran pendidikan yang tersebar di luar Kementerian Pendidikan sangat perlu dilakukan demi menggratiskan UKT PTN se-Indonesia. Saat ini sepertiga dari anggaran pendidikan di APBN Rp612 triliun, atau Rp206 triliun, digunakan untuk gaji dan tunjangan guru.

Hanya Rp27,1 triliun atau 4,4 persen anggaran pendidikan yang digunakan untuk membiayai Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah. Kemudian yang sangat perlu disoroti adalah bantuan operasional sekolah dan bantuan operasional PAUD yang total anggarannya mencapai Rp55,9 triliun, mengingat dana dari anggaran BOS untuk sekolah dan PAUD ini terbukti sangat rentan untuk dikorupsi.

Saat ini tingkat korupsi di Indonesia sudah melebihi yang pernah disampaikan oleh Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo, sebesar 30 persen pada era Orde Baru. Ada begawan ekonomi Indonesia lainnya yang menyampaikan bahwa tingkat korupsi kita pada era Reformasi ini di level 40 persen, karena saat ini ditambah 10 persen korupsi lagi yaitu pada saat perencanaan.

Namun tak perlu sampai 40 persen, anggaplah pemerintah hanya berhasil merealokasikan sebesar 20 persen dari total anggaran BOS, yaitu Rp11,2 triliun. Tampaknya masih kurang sekitar Rp15 an triliun lagi untuk membiayai penggratisan UKT.

Ada langkah berikutnya untuk dapat mendapatkan dana tambahan untuk mendapatkan dana sisanya, yaitu dengan jalan menghapus subsidi yang sia-sia selama ini: subsidi Pertamax (RON 92) dan Pertamax Turbo (RON 95 ke atas). Subsidi Pertamax selama ini hanya untuk membayari orang-orang kaya, para pemilik mobil mewah seperti Raffi Ahmad dan sekelasnya.

Hal ini sebenarnya sangat melukai rasa keadilan publik. Anehnya para pejabat terkait Menteri ESDM terus mempertahankan kebijakan subsidi orang kaya yang sia-sia ini, sementara secara senyap menghapus pertalite yang sangat diperlukan rakyat kecil (wong cilik).

Jadi diharapkan Pemerintahan ke depan dapat memaksa orang-orang kaya pemilik mobil mewah untuk membeli Pertamax tanpa subsidi seharga pom bensin non-Pertamina, yang secara tidak langsung dananya akan digunakan untuk membiayai penggratisan UKT.

Volume konsumsi BBM sekualitas pertamax atau RON 92 tahun lalu adalah sebesar 5,77 juta kilo liter. Pangsa pasar pertamina adalah sekitar 85 persen, artinya sekitar 4,9 juta kilo liter Pertamax.

Selisih harga antara pertamax di SPBU Pertamina (Rp12.950) dan RON 92 di SPBU Shell (Rp15.540) adalah sebesar Rp2.550/liter. Bila konsumsi BBM Pertamax di SPBU Pertamina dikalikan dengan selisih harga maka besar subsidi Pertamax adalah sebesar Rp14,7 triliun.

Sementara untuk subsidi Pertamax Turbo (Rp14.400), selisih harganya dengan produk SPBU Shell (Rp16.570) adalah sebesar Rp2.170/liter. Bila dikalikan dengan konsumsi Pertamax Turbo sebesar 270.954 (85 persen dari pangsa pasar Pertamina), akan didapatkan besaran subsidi pemerintah untuk Pertamax Turbo adalah sebesar Rp587 miliar.

Dengan menambahkan Rp587 miliar dan Rp14,7 triliun, menghasilkan Rp15,3 triliun. Rp15,3 triliun inilah total yang akan dihapuskan di pos subsidi Pertamax dan Pertamax Turbo untuk digunakan menambal kekurangan dana subsidi penggratisan UKT. rmol news logo article
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA