Pendidikan tersebut dilandasi dengan geografis Indonesia dengan memunculkan karakter alamiah masyarakatnya yang cenderung bercorak maritim. Kenyataan ini yang seharusnya terbangun di bangsa Indonesia.
Namun karena adanya fenomena sejarah di saat Belanda mengubah karakter bangsa menjadi kontinental, pendidikan maritim bangsa pun telah bergeser bahkan tertinggal.
Oleh karena itu, pembangunan kembali (
re-building) karakter kemaritiman bangsa Indonesia perlu ditumbuhkembangkan guna mewujudkan cita-cita negara maritim yang besar dan menjadi pusat peradaban dunia.
Maritim merupakan sesuatu yang berhubungan dengan laut dan kemaritiman merupakan kata sifat yang menggambarkan kejiwaan seseorang dalam mengelola, memanfaatkan dan menjadikan laut sebagai wahana untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Sehingga karakter kemaritiman yang ditempuh melalui pendidikan maritim merupakan sifat atau jiwa seseorang yang berpihak, bervisi, dan berinovatif dalam mengelola, memanfaatkan, dan menjadikan laut sebagai sarana untuk mengangkat harkat dan martabat hidup bangsanya sebagai bentuk pengabdian dan rasa syukur pada Nikmat Tuhan.
Secara objektif, Indonesia merupakan negara kepulauan. Luas lautan lebih besar dari pada daratan. Seharusnya, karakter kemaritiman menjadi sesuatu yang harus dibentuk oleh seorang pemimpin.
Berbicara mengenai bentang alam Indonesia yang didominasi oleh lautan, maka menjadi tak terbantahkan jika seorang pemimpin harus melakukan pengelolaan dan pemanfaatan laut untuk kebutuhan hidup bangsa Indonesia. Hal itu merupakan proses ikhtiar dari pemimpin dalam menjalankan amanat konstitusi.
Dari konsep tersebut dapat dipahami bahwa seorang pemimpin merupakan pemegang mandat baik dari Tuhan maupun rakyatnya untuk membawa kehidupan yang selamat, tentram, dan sejahtera dengan penuh rasa syukur atas segala karunia-Nya.
Jika kita lihat fenomena saat ini, pendidikan justru meninggalkan atau menjauhkan seseorang dari nilai-nilai Ketuhanan. Maka dapat dipastikan bahwa pendidikan itu menuai kegagalan dan tidak berjalan sesuai dengan prinsip Ki Hajar Dewantara.
Jadi, pada saat seseorang memiliki kecerdasan tidak digunakan pada tempatnya atau cenderung membuat kerusakan di muka bumi, maka itulah terjadi kegagalan pendidikan.
Marsetio (2014) menyebut bahwa subjek pemimpin adalah kekuatan imperatif yang dapat menggerakkan dan mempengaruhi proses pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bangsa. Untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan suatu kepemimpinan maritim yang kuat atau dengan kata lain negarawan berbasis maritim.
Disadari bahwa dalam melaksanakan pembangunan yang berorientasi maritim tidak dapat diselenggarakan secara sektoral, namun harus dilaksanakan secara komprehensif dan integral oleh seluruh komponen masyarakat. Ada tiga elemen penting dalam pembangunan maritim Indonesia, yaitu pemerintah (
government), instansi pendidikan atau stakeholder di bidang maritim dan pihak swasta (
private).
Ketiga komponen tersebut harus berkolaborasi dengan baik, didasari dengan pemahaman
Maritime Domain Awareness (MDA) dari masing-masing komponen, agar pembangunan maritim dapat berjalan dengan sukses.
Dari hal itu dapat dibuktikan bahwa pemimpin yang mampu menggerakan rakyat dan potensi yang ada untuk pembangunan bangsa dan negara akan membentuk kultur gotong royong yang kuat. Jika Pancasila dan UUD 1945 dijalankan oleh kepemimpinan yang baik, maka akan terbentuk suatu kehidupan gotong royong yang akan dilaksanakan oleh rakyatnya.
Yudi Latif menguraikan makna karakter kepemimpinan yang bervisi bahari sesuai dengan alam Nusantara dan sifat laut itu sendiri. Yaitu, NKRI sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau (Archipelago), juga merefleksikan sifat lautan, yakni menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Selain itu dengan keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukurannya. Bung Hatta melukiskan etos kelautan manusia Indonesia itu secara indah sebagai berikut:
Laut yang melingkupi tempat kediamannya membentuk karakternya. Pecahan ombak yang berderai di tepi pantainya, dengan irama yang tetap, besar pengaruhnya atas timbulnya perasaan yang menjadi semangat bangsa. Penduduk yang menetap di daerah pantai saban hari mengalami pengaruh alam yang tidak berhingga, yang hanya dibatasi oleh kaki langit yang makin dikejar makin jauh. Bangsa-bangsa asing yang sering singgah di Indonesia dalam melakukan perniagaan dari negeri ke negeri mendidik nenek moyang kami ini dalam berbagai rupa, memberi ia petunjuk tentang barang-barang yang berharga dan tentang jalannya perniagaan. Last but not least, pertemuan-pertemuan yang tetap dengan bangsa-bangsa asing itu, orang Hindia, orang Arab, orang Tionghoa dan banyak lainnya, mengasah budi pekertinya dan menjadikan bangsa kami menjadi tuan rumah yang peramah. Pada bangsa pelaut ini, keinginan untuk menempuh lautan besar dengan tidak mengenal gentar, ditempuhnya rantau yang jauh dengan tiada mengingat takut,” (Latif, 2014:14).
Ocean LeadershipOcean leadership atau kepemimpinan bervisi maritim merupakan muara dari pendidikan maritim. Pemimpin yang memiliki visi tersebut akan membentuk kembali nilai-nilai maritim di kehidupan rakyatnya. Sehingga dari uraian ini bak siklus yang tak terputus dan membentuk suatu rangkaian sistem yang semakin sempurna di tiap berjalannya waktu.
Dengan dilandasi Pancasila dan UUD 1945, serta nilai-nilai luhur Ki Hajar Dewantara yang terejawantahkan dalam pencapaian Indonesia sebagai poros maritim dunia, antara negara maritim dan negara Pancasila menjadi sesuatu yang simultan, sesuai dengan keberadaan hukum Tuhan (Sunnatullah). Oleh karena itu, pemimpin yang bervisi maritim akan membawa keselamatan rakyat yang dipimpinnya hingga kembali kepada Sang Penciptanya.
Pendidikan maritim dapat menjadi suatu mata pelajaran baku dalam kurikulum pendidikan nasional dari Paud hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Selain dengan pendidikan formal di sekolah, pendidikan maritim juga dapat dilakukan secara informal di keluarga, masyarakat, dan komunitas-komunitas maritim yang ada.
Benang merah pencapaian negara maritim yang besar dan digdaya hanya diperoleh dari keberhasilan pendidikan maritim dalam bingkai pendidikan nasional yang dilandasi oleh konsep Ki Hajar Dewantara. Dengan seperti itu penanaman atau pembudayaan maritim akan kuat dan terpatri di setiap individu rakyat Indonesia, yang hasilnya terbentuk karakter kepemimpinan yang bervisi maritim.
Dari pola seperti itu dapat dipastikan bahwa pendidikan maritim dan kepemimpinan bervisi maritim tak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan tulang punggung dari negara maritim atau
good maritime governance (tata kelola maritim yang baik).
*Penulis adalah Direktur Eksekutif National Maritime Institute (Namarin)
BERITA TERKAIT: