Dunia sedang menemukan ketegangan perang dalam skala yang besar. Ukraina melawan Rusia dan Palestina melawan Israel. Ukraina mendapat dukungan Amerika Serikat dan sekutunya. Suasana semakin memanas ketika Iran langsung memberikan balasan atas serangan membabi buta Israel terhadap kantor konsulat mereka di Damaskus. Amerika Serikat dan sekutunya juga langsung mendeklarasikan untuk membela Israel.
Doktrin persaingan dalam bekerjanya sistem kapitalisme telah menampakkan wajahnya yang paling banal, kasar. Persaingan untuk merebut pengaruh, kekuasaan, sumberdaya ekonomi, telah menjadi sangat eskalatif.
Doktrin PersainganDunia sejak Konsensus Washington tahun 1980 an yang disponsori oleh Inggris dan Amerika Serikat memang telah diarahkan pada satu sistem tanpa alternatif, There Is No Alternative (TINA), dunia harus satu, yaitu terapkan sistem kapitalisme. Sehingga alternatif sistem lainya dianggap sebagai pesaing, ancaman dan musuh.
Apa yang menjadi paradoks dari Menara Bubble telah menjadi kenyataan. Ketika dunia diarahkan dan dipaksa menuju kepada yang satu, maka secara otomatis akan hasilkan sebuah pecahan perlawanan. Apa yang dipaksa menjadi tunggal akan hasilkan persaingan yang semakin brutal.
Kapitalisme memang sebagai sistem didasarkan pada doktrin yang sahih bahwa individu itu harus mengafirmasi doktrin persaingan. Di dalam diri manusia, spirit
laizzes faire, laizzes passer, bebas bertindak dan bebas bergerak tanpa batas itu telah tumbuh suburkan sistem kapitalisme yang diselipkan pada sistem demokrasi non substansial.
Persaingan antar individu, antar kelompok, antar bangsa dan antar negara akhirnya terus berkembang. Persaingan yang semakin memanas hasilkan konflik. Konflik yang menjadi eskalatif hasilkan yang namanya perang. Baik itu perang tertutup maupun terbuka. Perang terjadi dimana mana, semua aktor dan semua sektor kehidupan. Baik itu dalam bungkus ideologi, ekonomi, sosial dan politik.
Persaingan di level individu telah sebabkan kemenangan dan kekalahan bagi individu yang lain. Dunia akhirnya membentuk sebuah piramida kekuasaan dengan puncak puncak yang diisi oleh sang pemenang. Mereka yang di puncak menara bubble menunjukkan supremasinya dalam segala hal.
Si pemenang menguasai yang kalah. Menggencet dan mengeksploitasinya. Terus menerus dan dilanggengkan. Wajah dunia terlihat semakin nyata tunjukkan kesenjangan yang tinggi antar mereka yang kalah dan menang.
Sebagaimana tujuan dari dogma persaingan, bahwa pemenang mengambil alih semua (
the winners takes all). Pemenang semakin kuat dan akumulatif. Segelintir elit kaya kuasai dunia ekonomi dimana mana. Mereka yang menjadi pemenang secara politik terus ingin langgengkan kuasanya atas nama apapun, bahkan atas nama demokrasi, atas nama kepentingan rakyat yang sejatinya demi memenangkan kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya semata.
Pada saat inilah akhirnya, kekuatan ekonomi, kekuasaan politik, mencapai apa yang disebut sebagai sebuah kesenjangan yang tinggi. Elite kaya dimana mana mengatur segalanya. Elite politik mensupresi siapapun juga. Halus dan kasar, tertutup atau vulgar. Kebijakan negara yang subordinatif terhadap kepentingan elite dominan pemenang tidak lagi pentingkan kepentingan bersama. Apa yang diputuskan sebetulnya apa yang baik untuk kepentingan elit kaya dan elite penguasa dianggap baik untuk semua.
Konsensus, Kerja Sama dan PerdamaianSituasi dunia yang sedang dirundung konflik dan perang itu tentu tak akan mungkin kita biarkan. Pelanduk mati di bawah gajah lawan gajah. Tanpa upaya untuk membangun konsensus dunia yang baru tentu semua akan menjadi arang dan abu.
Setiap individu, warga dunia harus membangun sebuah konsensus baru tentang tata dunia. Dunia yang damai seperti menjadi cita cita bersama. Dunia yang adil dan penuh perikemanusiaan dan keadilan. Dunia tanpa eksploitasi kemanusiaan dan alam. Setiap individu harus mau menyediakan diri menjadi agensi penting untuk membangun perdamaian itu.
Dogma persaingan sistem kapitalisme itu harus diganti dogma kerja sama. Setiap individu harus sadar bahwa dunia yang kita huni bersama ini adalah dunia tanpa penindasan, tanpa eksploitasi, dan tanpa hegemoni antara yang satu dengan yang lainnya. Dunia yang kita cita citakan adalah dunia yang penuh perdamaian. Kebenaran aksiomatiknya adalah tidak ada hidup bersama tanpa keadilan dan tak ada keadilan tanpa hidup bersama.
Kesadaran individu tentang makna penting kerja sama di level individu yang dikembangkan dalam berbagai hal diharapkan akan hasilkan kekuatan hidup yang penuh perlombaan ke jalan kepentingan bersama (
bonum commune) ketimbang persaingan.
Tak ada satupun orang yang menginginkan perang. Apalagi sampai korbankan nyawa. Hanya orang gila kuasa, gila harta dan gila dunia yang ingin perang kalahkan yang lainya dan hegemoni dan eksploitasi antar sesama. Tidak mungkin akan ada perang antar suami istri, perang saudara, perang antar suku, perang antar agama, perang antar bangsa jika kita hari hari menebarkan dan mempromosikan praktik kerjasama.
Kerjasama itu, dan pada hakekatnya, adalah bertujuan untuk menikah dengan perdamaian. Dimanapun, dan dengan cara apapun, persaingan itu hanya akan menikah dengan konflik. Satu hal lagi, dunia yang asimetris, yang piramidanya meruncing ke atas dan hukumnya tumpul kebawah itu juga karena hegemoni sistem kapitalisme. Tapi satu hal, semua itu bukan karena kekuatan kapitalisme yang jahat atau
zondig seperti kata HOS Tjokroaminoto itu, melainkan karena dogma persaingannya itu diafirmasi oleh bahkan orang orang kecil, lemah, rakyat banyak yang menjadi korbannya. Termasuk oleh agensinya seperti keluarga dan sekolah.
Setiap kita, komunitas apapun harus mulai mengganti cara kerja yang berbeda. Membangun kerangka kerjasama yang inklusif tanpa diskriminasi apapun. Baik itu suku, agama, ras, golongan, interes politik maupun status sosial. Dalam semua level dan sektor kehidupan. Sebab hanya dengan mengganti dogma persaingan dengan kerjasama itulah dunia damai itu menjadi nyata.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR)
BERITA TERKAIT: