Kesepakatan ini mencerminkan adanya kesamaan persepsi dan prinsip antara ASEAN dan Australia mengenai ancaman di Laut China Selatan. Sebagai sekutu AS, Australia mengadopsi gagasan Free and Open Indo-Pacific (FOIP) yang dilandasi prinsip liberal yakni keterbukaan dan penghormatan terhadap hukum internasional
(rules-based order). Kesepakatan tersebut secara implisit menunjukkan ASEAN dan Australia sama-sama memandang China sebagai sumber ancaman keamanan di Indo-Pasifik.
Tentu saja, China merespons secara negatif kesepakatan itu. Pemerintah China tetap bersikeras bahwa mereka akan mempertahankan kepentingan nasionalnya di Laut China Selatan sesuai hukum domestik dan internasional yang berlaku. Secara kebetulan, KTT ASEAN-Australia digelar hampir bersamaan dengan insiden tabrakan antara kapal penjaga pantai Filipina dan China di perairan yang menjadi sengketa.
Strategi ChinaDalam konteks konflik Laut China Selatan, posisi ASEAN sangat jelas yaitu tidak membiarkan kawasan tersebut menjadi ajang pertarungan geopolitik antara negara-negara besar. Wilayah tersebut harus menjadi kawasan yang damai dan stabil sehingga sengketa antara beberapa negara ASEAN dan China harus diselesaikan melalui jalur dialog. ASEAN juga menegaskan perannya sebagai
game changer yang mengambil peran sentral di kawasan dengan menetapkan AOIP sebagai norma yang harus dipatuhi.
Di lain pihak, China mempunyai visi tersendiri menyangkut Indo-Pasifik. China memakai kacamata berbeda yang tidak berbasis hukum internasional ketika berbicara mengenai sengketa Laut China Selatan. Alih-alih, China menggunakan perspektif historis dimana kawasan tersebut merupakan halaman belakang mereka sejak ribuan tahun lalu. China menyebut Laut China Selatan sebagai traditional fishing ground yang sebetulnya tidak diakui oleh hukum internasional UNCLOS.
Dalam menghadapi ASEAN, China menggunakan taktik klasik “politik belah bambu”
(divide at impera). China memanfaatkan perpecahan internal ASEAN untuk melemahkan organisasi regional itu dengan tujuan mengukuhkan supremasinya di Asia Tenggara. Faktanya, negara-negara ASEAN memiliki pola hubungan yang berbeda-beda dengan China. Vietnam dan Filipina condong pada AS, sementara Laos, Kamboja, dan Myanmar memiliki hubungan spesial dengan China. Ketergantungan Kamboja kepada China pernah membuat ASEAN tidak berhasil mencapai konsensus pada KTT ASEAN ke-21 di Phnom Penh tahun 2012. Hal itu dikarenakan China meminta agar isu Laut China Selatan tidak dibahas.
Disparitas kekuatan antara China dan ASEAN jelas membuat organisasi regional itu tak dapat berbuat apa-apa menghadapi pengaruh China yang semakin menguat di kawasan Indo-Pasifik. Bahkan, tak ada yang bisa menghalangi China untuk menghentikan pembangunan instalasi militer di pulau-pulau yang disengketakan. Pada 2022, sebuah foto udara menunjukkan keberadaan instalasi militer yang cukup lengkap di pulau-pulau buatan di Kepulauan Spratly. Pada 2023, citra satelit juga menunjukkan China sedang membangun landas pacu sepanjang 600 meter di Pulau Triton yang juga disengketakan oleh Vietnam dan Taiwan.
Kebijakan unilateralis semacam ini mencerminkan budaya strategis China yang dikenal dengan sebutan ‘Tianxia’ yang secara harfiah berarti “semua di bawah langit atau surga”
(all under heaven). Tianxia memandang dunia secara hirarkis dimana China sebagai pusatnya
(middle kingdom). Melalui prisma budaya strategis ini, China berharap negara-negara di ASEAN mau ‘tunduk’ pada kekuasaan China sebagaimana perilaku bersujud
(kowtow) sebagai wujud hormat. Sebagai imbalan, China akan memberikan jaminan perlindungan dan kesejahteraan melalui kerjasama ekonomi (Chan, 2023).
Perimbangan LunakSebagai pemain sentral di kawasan, ASEAN tidak dapat menerima visi hirarkis Tianxia dari China tersebut. Di saat bersamaan, ASEAN juga tidak menerima visi FOIP dari AS dan sekutunya sebagai rezim keamanan di Indo-Pasifik. Karena itulah ASEAN mengemukakan gagasan AOIP. Meski demikian, kesamaan prinsip antara AOIP dan FOIP lebih memungkinkan ASEAN untuk mengakomodir gagasan FOIP ketimbang Tianxia. Dalam konteks ini, KTT ASEAN-Australia dapat dibaca sebagai upaya kedua pihak meredam ambisi teritorial China di Laut China Selatan.
Kerjasama ASEAN-Australia mencerminkan mekanisme perimbangan kekuatan (balance of power) yang lazim dalam politik internasional. Di satu sisi, ASEAN memerlukan mitra untuk mengimbangi pengaruh China yang makin menguat. Di sisi lain, Australia membutuhkan ASEAN sebagai bumper institusional untuk melegitimasi visi geopolitiknya di Indo-Pasifik. Dukungan kepada ASEAN akan mengurangi kesan konfrontatif kebijakan luar negeri Australia terhadap China.
Walaupun demikian, perimbangan kekuatan yang dilakukan ASEAN dan Australia bukan merupakan strategi klasik yang mengedepankan instrumen militer
(hard balancing). Alih-alih, kedua pihak menggunakan strategi
soft balancing dengan penekanan pada institusi internasional. Berbeda dengan hard balancing dimana negara secara terang-terangan mengimbangi kekuatan militer negara lain,
soft balancing mengandalkan kerjasama dan kolaborasi internasional di lembaga-lembaga multilateral (Paul, Wirtz and Fortmann, 2004).
Australia sendiri sebelumnya telah menerapkan strategi hard balancing dalam format AUKUS. Kerjasama tersebut memungkinkan Australia memiliki kemampuan ofensif dengan kapal selam bertenaga nuklir. Strategi militer itu dirasa belum cukup sehingga kerjasama dengan ASEAN yang bersifat non-militer penting untuk melengkapi kebijakan membendung pengaruh China. Jadi, KTT ASEAN-Australia bernilai strategis bagi Australia karena sejalan kepentingannya di kawasan di Indo-Pasifik.
Di pihak ASEAN, kerjasama dengan Australia diharapkan dapat menutupi kelemahan organisasi regional itu dalam menghadapi China. Karena bersifat non-militer kerjasama itu tidak secara terang-terangan mengancam China. Dengan begitu ASEAN masih bisa membuka ruang dialog dengan China melalui KTT ASEAN-China. Sentralitas ASEAN tidak hanya menegaskan peran ASEAN sebagai aktor protagonis di kawasan tetapi juga peran sebagai ‘penengah’
(honest broker) di tengah rivalitas AS-China di Indo-Pasifik.
*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina
BERITA TERKAIT: