Meskipun belum berusia
40 tahun tetapi boleh menjadi calon wakil presiden asalkan pernah atau
sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Gugatan yang tidak ada
legal standing disidangkan, dan permohonan
dikabulkan, dengan
dissenting opinion 5-4.
Tetapi,
banyak pihak berpendapat, putusan MK tersebut cacat hukum, tidak sah,
melanggar konstitusi, melanggar wewenang DPR, dan sejenisnya. Pakar
hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra juga berpendapat seperti itu.
Putusan
MK tentang batas usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai
kepala daerah menuai kontroversi dan problematik. Setiap saat bisa
digugat, dan dibatalkan.
Sehingga bisa menimbulkan masalah besar dan potensi memicu konflik politik di kemudian hari.
Putusan
MK disambut Koalisi Indonesia Maju, Gerindra, Golkar, Demokrat, dan
PAN, dan menetapkan pasangan Prabowo dan Gibran sebagai capres dan
cawapres 2024.
Pencawapresan Gibran diperkirakan akan membuat Prabowo rugi besar.
Pertama,
suara perolehan Prabowo diperkirakan akan merosot. Karena arus
penolakan dari masyarakat pada Gibran sangat besar. Penolakan bukan saja
datang dari kader, tetapi juga dari masyarakat pemilih partai koalisi:
Golkar, Demokrat, PAN, dan termasuk dari Gerindra sendiri. Penolakan
dari masyarakat bahkan jauh lebih buruk dari kader.
Ada dua
alasan yang mendasari itu. Pertama, persyaratan Gibran sebagai cawapres
dinilai manipulatif dan melanggar konstitusi. Masyarakat sangat tidak
suka, bahkan membenci, terhadap hal-hal seperti ini.
Kedua,
Gibran dianggap belum pantas menjadi cawapres karena masih “hijau”,
tetapi dipaksakan oleh Jokowi dan keluarga, melalui Prabowo.
Berdasarkan
survei Ipsos, pencawapresan Gibran menurunkan suara Prabowo 6,2 persen
dibandingkan kalau Prabowo berpasangan dengan Erick Thohir.
Kalau
dibandingkan dengan perolehan suara dari partai koalisi (Gerindra,
Golkar, Demokrat, PAN) pada 2019 yang mencapai sekitar 39,5 persen, efek
pencawapresan Gibran membuat suara Prabowo merosot 8,2 persen.
Kemungkinan besar, karena suara Golkar, Demokrat, dan PAN anjlok dan beralih ke partai lain non Koalisi Indonesia Maju.
Kerugian
kedua, nama Prabowo akan tercemar, disejajarkan dengan Jokowi yang
mempunyai citra buruk di masyarakat. Jokowi dinilai melanggar banyak
peraturan perundangan-undangan, termasuk konstitusi. Antara lain, UU
IKN, UU Cipta Kerja, UU Kesehatan.
Menang atau kalah dalam
pilpres ini, Prabowo rugi besar. Nama tercemar. Bukankah nama itu
segala-galanya bagi manusia, jauh lebih penting dari jabatan sebesar apa
pun?
Seperti pepatah bilang, “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan bilang, manusia mati meninggalkan nama.”
*Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies
BERITA TERKAIT: