Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Resettlement, Bukan Relocation

OLEH: M. JEHANSYAH SIREGAR*

Sabtu, 16 September 2023, 18:19 WIB
<i>Resettlement</i>, Bukan <i>Relocation</i>
Ilustrasi/Net
“Tak Melayu Hilang di Bumi... Hidup Melayu! Hidup Melayu! Hidup Melayu!”

SERUAN seperti itu hari-hari ini semakin lantang diteriakkan warga Melayu di banyak tempat. Sangat mencekam, seperti suasana mau perang saja. Teriakan di berbagai demonstrasi ini adalah wujud solidaritas untuk warga Pulau Rempang dan Galang yang mengalami represi dari aparat. Upaya penggusuran yang memilukan terjadi di kampung-kampung tua di wilayah Batam tersebut.

Lagi-lagi, persoalan perumahan dan permukiman penduduk membuat kehebohan nasional. Sungguh prihatin, peran negara untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah serasa hilang. Berganti menjadi negara yang hanya ingin memuluskan investasi tanpa peduli dampaknya terhadap permukiman penduduk.

Keadaan semakin memburuk ketika respon presiden maupun menteri-menterinya sangat tidak memadai dan jauh dari akar persoalan. Ketika presiden mengatakan ada persoalan komunikasi dari program yang sudah dijanjikan, Menko Polhukam malah mengatakan Rempang dan Galang itu pulau yang baru dihuni. Menteri ATR mengatakan warga tidak memiliki sertifikat hak milik dan seolah menjadi pembenaran penggusuran. Terakhir, Menteri Investasi menyalahkan komentar bule yang viral sambil berinsinuasi adanya pihak yang tidak ingin Indonesia maju.

Belum lagi, ucapan Menko Marvest yang mengancam akan membuldozer pihak yang menghalangi investasi. Semua ini sungguh respon yang sangat tidak tepat dari para pembuat kebijakan, terutama di jajaran pemerintah nasional.

Akar masalah di Rempang dan Galang pada dasarnya bukanlah semata persoalan agraria. Ketika HPL ditetapkan di kawasan Barelang, tidak semuanya selesai dikuasai, dibebaskan dan diawasi oleh pemerintah.

Pada kenyataannya, ada 16 kampung tua di sana, bercampur dengan permukiman pendatang dan terus dibiarkan tumbuhnya permukiman penduduk. Jadi, hanya dengan HPL semata, negara tidak bisa berbuat seenaknya. Jika permukiman penduduk dibiarkan tumbuh berkembang, maka kemudian muncullah hak bermukim mereka, dan ini dijamin konstitusi.

Hak bermukim tidak selalu berarti hak hukum atas tanah, namun bisa juga mencakup hak atas tanah. Jadi, akar masalahnya bukanlah soal tanah, tapi ini soal bagaimana menangani permukiman penduduk.

Pemahaman pejabat pemerintah atas hak bermukim yang dijamin konsitusi ini memang sangat buruk. Hal ini karena banyak politisi dan pejabat yang masih memakai pola pikir pedagang dan bukannya negarawan.

Dalam konteks pembangunan dan investasi, permukiman penduduk terdampak tidak bisa dipandang sepele. Apalagi jika hanya dilihat dari persoalan sertifikat tanahnya semata. Lalu berpikir penduduk bisa dipindahkan begitu saja tanpa perencanaan dan analisis dampak sosial yang memadai. Salah kaprah pemerintah seperti ini terus terjadi di berbagai proyek pembangunan.

Instansi Kementerian PUPR, khususnya Ditjen Perumahan dan Ditjen Cipta Karya yang bertanggung jawab dalam urusan perumahan dan permukiman penduduk, terus dibiarkan berlagak tidak tahu.

Lalu, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Pemerintah melalui Kementerian PUPR seharusnya mengembangkan skema resettlement atau pemukiman kembali, bukannya relocation atau pemindahan.

Mengapa? Karena resettlement lebih manusiawi dan lebih berkeadilan dibanding relocation saja. Resettlement lebih memenuhi hak bermukim karena dijalankan secara partisipatif dan terencana dengan baik. Sedangkan relocation memandang manusia bisa dipindah-pindahkan begitu saja.

Apalagi, hak bermukim sudah diamanatkan dalam pasal 28-H UUD 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Resettlement adalah skema yang dibutuhkan untuk melaksanakan amanat konstitusi ini.

Resettlement atau pemukiman kembali berarti pemindahan sebuah permukiman berikut komunitasnya secara utuh dari satu tempat ke tempat lain dengan upaya peningkatan kondisi kehidupan yang lebih sejahtera. Baik secara lingkungan tempat tinggal maupun secara sosial dan ekonomi. Dari kondisi semula yang tidak diinginkan oleh masyarakat terdampak (involuntary) karena adanya rencana investasi, sedemikian sehingga menjadi sukarela (voluntary) karena adanya rencana tempat tinggal dan kehidupan yang lebih baik.

Sedangkan, relocation berarti pemindahan dari satu tempat, ke tempat lain tanpa adanya rencana dan bantuan program yang memadai dan bersifat tidak sukarela (involuntary).

Pemukiman kembali sudah pasti ada relokasinya, namun relokasi belum tentu mencapai taraf pemukiman kembali. Melalui penerapan skema resettlement, pemerintah otomatis menjalankan konstitusi dan menempatkan urusan permukiman penduduk tidak kalah pentingnya dari urusan investasi dan pembangunan.

Menerapkan resettlement sudah pasti menyejahterakan penduduk terdampak, sedangkan rencana investasi belum langsung menyejahterakan penduduk. Apalagi jika investasi dijalankan dengan asas kapitalistik yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha dan penguasa. Persoalannya, pemerintah menyangka investasi itulah amanat konstitusi, padahal hak bermukimlah yang menjadi amanat UUD 1945.

Kegagalan pemerintah dalam menangani urusan perumahan dan permukiman penduduk ini bukan hanya kejadian di Rempang dan Galang. Sampai sekarang pemerintah terus membiarkan berpuluh-puluh juta warga menghuni kawasan permukiman kumuh yang sangat tidak layak. Target kota-kota bebas kumuh pada tahun 2019 yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015 terbukti gagal.

Angka housing backlog dan permukiman kumuh malah bertambah. Berbagai kasus permukiman penduduk seperti di Cianjur, Plumpang dan tempat-tempat kumuh lainnya belum juga kunjung tuntas. Begitu juga beberapa program perumahan rakyat yang dibawa para politisi, tidak ada yang efektif.

Pemerintah selalu abai untuk membangun sistem penyediaan perumahan dan permukiman atau housing delivery system dan human settlement development yang baik. Berbagai konsep hanya dijadikan wacana seminar di kalangan pejabat tinggi.

Padahal, hanya dengan membangun sistem yang handal sajalah pemerintah mampu memenuhi perumahan rakyat dan menangani permukiman penduduk secara efektif dan progresif. Artinya, hingga saat ini pemerintah tidak membangun sistem. Mengapa? Karena membangun sistem berarti mengurangi KKN. Sedangkan pemerintah lebih suka menjalankan proyek-proyek tanpa sistem yang komprehensif, hanya bersifat populis dan menghabiskan anggaran saja.

Kegagalan pemerintah dalam soal perumahan dan permukiman penduduk, khususnya melalui Kementerian PUPR dan ATR, sudah tampak jelas. Tidak ada percontohan penerapan skema resettlement hampir di semua proyek pembangunan yang berdampak pada permukiman penduduk.

Padahal sejak sekitar 10 tahun lalu Bank Dunia sudah memberi capacity building program dalam skema resettlement di DKI Jakarta dalam rangka pembangunan Kanal Banjir Timur. Mulai dari materi Resettlement Policy Framework (RPF) hingga materi Land Acqcuisition and Resettlement Action Plan (LARAP). Mengapa DKI Jakarta tidak sungguh-sungguh? Karena memang tidak ada dorongan dari Kementerian PU dan Kemenpera (saat itu) agar Pemda menerapkan skema pemukiman kembali.

Skema resettlement adalah salah satu sistem perumahan-permukiman yang sangat penting untuk segera dikembangkan. Pada prakteknya, skema ini adalah upaya yang terencana baik dan terorganisir untuk menyediakan sumber daya dan dukungan kepada penduduk yang terdampak proyek-proyek pembangunan.

Lebih jauh, skema resettlement dapat mencakup pemindahan masyarakat dari kawasan kumuh ke perumahan yang lebih baik, dari daerah rawan bencana, atau untuk membuka lahan bagi proyek pembangunan jalan, waduk, dan sebagainya. Dengan memiliki kapasitas resettlement, pemerintah dapat memuluskan semua rencana investasi asing maupun investasi prasarana publik.

Skema resettlement ini sejalan dengan pentingnya membentuk Kementerian HUD (Housing and Urban Development). Selain untuk mewujudkan pasal 28-H juga adalah wujud peran negara yang kuat dalam menjalankan pasal 33 UUD 1945. Kementerian HUD ini adalah gabungan dari Ditjen Perumahan, Ditjen Cipta Karya dan BPIW (PUPR) dan Kementerian ATR.

Karakter Kementerian HUD berbeda dengan Kementerian PU atau Perhubungan yang fokus menyelesaikan konstruksi berbagai proyek infrastruktur, karena HUD juga memiliki kapasitas untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang terkait permukiman.

Keberadaan Kementerian HUD ini juga menjadi amanat SDGs nomor 11, Sustainable Cities and Communities. Sudah saatnya Indonesia memiliki kapasitas kelembagaan seperti HUD ini mengingat pesatnya urbanisasi dan banyaknya proyek-proyek pembangunan dan investasi.

Untuk itu, pemerintah perlu segera melakukan moratorium rencana investasi di Rempang dan Galang sampai urusan permukiman penduduk diselesaikan dengan baik. Persoalan penting terkait permukiman penduduk jangan lagi dipandang sepele di hadapan investasi dengan buru-buru melayani investasi.

Apalagi langsung melakukan pengukuran tanah dan penggusuran di wilayah yang sudah ada permukiman penduduknya. Proyek Strategis Nasional harus segera memasukkan skema Resettlement ini sebagai skema yang terencana dan tak terpisahkan.

Kebijakan dan kemampuan pemerintah menjalankan skema resettlement ini bukan hanya akan memuluskan proyek-proyek investasi, namun juga sekaligus merealisasikan amanat konstitusi agar pemerintah mampu menguasai dan mengelola bumi dan air dan kekayaan alam bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. rmol news logo article

*Penulis adalah dosen Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA