Pihak RS Sentosa lemah secara hukum, juga karena ada kejadian pendahulu yang diungkap kuasa hukum Siti, Rusdy Ridho, bahwa pihak RS Sentosa pernah mengajak damai. Dengan imbalan kepada keluarga Siti dan Dian.
Rusdy: “Semula, sebelum kami laporkan bayi tertukar ini ke polisi, pihak RS Sentosa sudah mengakui salah. Tenaga paramedik di sana salah, sehingga bayi klien kami tertukar dengan bayi Ny Dian.”
Lantas, pihak RS Sentosa menawarkan damai, dengan kompensasi imbalan yang dijanjikan, akan diberikan kepada keluarga Siti dan keluarga Dian.
Imbalan berupa berobat gratis dan beasiswa kepada dua bayi sampai tamat SMA. tawaran itu langsung ditolak Siti juga Dian.
Rusdy: "Setiap warga negara, kan wajib BPJS. Juga, semua anak Indonesia dari SD sampai SMA gratis, asal sekolah negeri. Maka, tawaran imbalan mereka tidak masuk akal. Sehingga kami tolak.”
Penolakan juga disampaikan Dian. Melalui pengacara Binsar Aritonang, pihak Dian menyatakan, apa yang ditawarkan RS Sentosa sudah kewajiban negara. Dan, sudah direalisasikan negara melalui BPJS dan sekolah negeri gratis.
Binsar: “Jelas, kami tolak.”
Seperti diberitakan, Senin, 18 Juli 2022 siang. Siti, warga Desa Cibeuteung Udik, Ciseeng, Bogor, Jabar, melahirkan anak ke empat laki-laki, secara Caesar di RS Sentosa, Jalan Raya Kemang, Desa Pondok Udik, Kemang, Bogor.
Di hari yang sama, beda jam, Dian juga melahirkan bayi laki di situ. Pada hari itu, sesuai pengakuan pihak RS Sentosa, ada puluhan ibu melahirkan. Tapi bayi laki cuma dua, sisanya bayi perempuan.
Nah, bayi Siti dan Dian tertukar, berdasar hasil uji DNA Silang di Puslabfor Polri, pekan lalu. 99,99 persen tertukar.
Itu menimbulkan derita Siti dan Dian setahun lebih. Mereka merawat dan menyusui bayi yang bukan anak biologis mereka. Proses pun berlarut. Sejak pertengahan Mei 2023 Siti sudah tahu bayi itu tertukar, dari hasil uji DNA di lamboratorium Cempaka Putih, Jakarta. Tapi dia harus menahan diri, karena kasusnya berproses tiga bulan di Polres Bogor.
Kini pun, bayi itu masih dalam proses ditukar. Tahap pengenalan ortu. Masing-masing ortu rutin mengunjungi bayi biologis mereka. Dipandu tenaga ahli dari Kementerian PPPA. Sesuai kesepakatan, sampai 25 September 2023, barulah bayi ditukar.
Pengacara pihak Siti dan Dian sepakat melaporkan RS Sentosa. Kuasa hukum Dian, Binsar menyatakan, RS Sentosa Bogor dilaporkan melanggar Pasal 8 juncto pasal 62 UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 62 ayat (1) berbunyi, “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.”
Palaporan ditujukan kepada pelaku usaha RS Sentosa Bogor. Bukan pada perawat yang telah melakukan kesalahan sehingga bayi tersebut tertukar.
Siapa pemilik RS Sentosa Bogor?
Dikutip dari web resmi RS Sentosa Bogor, rumah sakit ini didirikan 11 Agustus 2007 di bawah naungan Yayasan Sentosa.
Awalnya berupa klinik bersalin. Jadi, semestinya RS ini berpengalaman dalam menangani pasien melahirkan anak.
Dari klinik bersalin, pada 2011 berkembang menjadi Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Sentosa. Dengan akreditasi C dari Kementerian Kesehatan.
Perubahan itu diikuti status legalitas Yayasan Sentosa juga ikut berubah menjadi PT Pelita Medika Sentosa.
Dari RSIA, PT Pelita Medika Sentosa mengembangkan menjadi Rumah Sakit Umum (RS) Sentosa yang bertahan hingga saat ini.
Sosok di balik PT Pelita Medika Sentosa adalah dr Frits Max Rumintjap. Saat ini, ia menjabat sebagai Komisaris Utama RS Sentosa Bogor. RS-nya cuma ada di Bogor.
Frits Max Rumintjap adalah dokter spesialis kandungan yang juga merupakan mantan dokter militer di TNI AU dengan pangkat terakhir kolonel.
Saat masih berdinas di TNI AU, Frits Max Rumintjap sempat menjabat sebagai Kepala RS TNI AU Atang Sanjaya Bogor.
Pelaporan pelaku usaha ke polisi, seperti kata pengacara Rusdy, berarti pelaporan terhadap pemilik rumah sakit. Tapi juga menyangkut pimpinan manajemen atau direktur utama.
Pelaporan tindak pidana itu, bisa juga diikuti gugatan perdata dengan besaran tuntutan ganti rugi berupa uang. Bisa juga, gugatan perdata akan diajukan, menunggu vonis hakim terhadap perkara pidananya.
Dari penolakan Siti dan Dian atas tawaran RS Sentosa di atas, kelihatan bahwa kompensasi yang ditawarkan RS Sentosa dinilai terlalu kecil. Dibanding penderitaan para ibu tersebut.
Berapa kira-kira besaran kompensasi yang pantas buat mereka? Pastinya cuma dua ibu itu yang tahu.
Pelaporan pidana maupun gugatan perdata terhadap RS Sentosa bakal jadi warning bagi semua RS. Bahwa ada titik rawan di proses persalinan, ruangan bayi, dan penempatan label bayi yang baru lahir. Itu sektor vital.
Di kasus Siti dan Dian kelihatan jelas bahwa pihak RS Sentosa tidak sengaja, atau akibat perawat lalai melaksanakan tugas, sehingga bayi tertukar. Bagaimana jika kelak muncul kejahatan teror, penjahat yang sengaja mengacak bayi?
BERITA TERKAIT: