Negara, menurut Awaludin Marwan yang juga doktor hukum lulusan Belanda tersebut, saat ini tidak lebih dari suatu organisasi besar yang absurd. Di satu sisi negara secara sunatullah dituntut memiliki kuasa, di sisi yang lain mereka melemahkan dirinya sendiri melalui produk hukum yang "kecil". Dari Kementerian, Pemerintah Daerah, hingga tingkat perangkat desa, dibebaskan memiliki persepsi atas tindakan yang hendak dilakukannya sendiri dengan membuat sebuah peraturan.
Akibat yang timbul adalah tumpang tindihnya peraturan, munculnya dualisme peraturan yang berujung pada peraturan satu dengan lainya saling berlawanan, dan tentu yang paling dikhawatirkan adalah ego-sektoral. Lantas kemudian yang tersisa praktis hanya Bahasa Indonesia saja sebagai ciri bahwa masing-masing aturan itu berasal dari Bangsa Indonesia.
Dari periode berhukum macam itu setidaknya ada tiga hal buruk yang mungkin timbul. Pertama, negara tentu tidak dapat lagi berperan besar dan cenderung hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum. Ideologi yang menentukan kemana negara tersebut hendak diarahkan tidak lagi menjadi suatu hal yang penting.
Kedua, masing-masing sektor merasa memiliki kekuasaan yang membuat mereka dapat bebas bertindak dan berlindung dengan peraturan yang mereka buat sendiri. Yang terakhir tentunya adalah penimbunan teks peraturan yang tidak dapat diketahui mana yang benar-benar untuk kepentingan rakyat, mana yang dimanipulasi untuk kepentingan pribadi institusi.
Kekacauan cara berhukum negara ini, berdasarkan pengamatan Pak Luluk, diawali dengan kesengajaan negara mengacaukan dirinya sendiri melalui perampasan begitu banyak hak fundamental. Kasus 65, tragedi perampasan tanah Tionghoa yang tak jelas maksudnya, serta kejahatan Orde Baru yang tidak diselesaikan adalah contohnya.
Sebab itu, tidak heran, peraturan rancu yang banyak jumlahnya itu tidak pernah mengedepankan tradisi ‘Hak Pepe’ yang pernah diusulkan Soepomo pada Pasal 22 Konstitusi Sementara UUD 45, yakni tradisi curhat batin antara rakyat dan pemimpinnya agar diperoleh aturan yang baik untuk semua. Wong menyelesaikan saja enggan apalagi untuk mengakui.
Solusi yang ditawarkan oleh Pak Luluk untuk mereparasi rumah besar tamansari dunia ini adalah dengan cara mendorong megara untuk mencoba berdamai dengan masa lalu.
Pak Luluk, berangkat dari asumsi yang dibuat Moh Yamin, menganggap dengan menegakan hak asasi manusia maka bangsa dapat berlaku adil dengan diri sendiri dan mampu membuat kebijakan yang logis. Hal itu bisa dimulai dengan mengemasi secara rapih apa yang berantakan di masa lalu. Jika hal tersebut urung dilakukan, Pak Luluk menilai negara tak akan pernah bisa ke arah perubahan yang baik, terlebih jika para elite dan terpelajarnya diselimuti alam pikir jahiliyah, yang masih tetap membiarkan pembunuhan dan kekerasan tanpa pengadilan!
Hamba undang-undangApa yang dijelaskan oleh Pak Luluk perlu kita renungkan. Meskipun jika kita analisa bisa jadi tak semuanya benar.
Selain persoalan yang disodorkan tadi, sebenarnya ada satu lagi pokok persoalan yang tidak kalah penting, yang bisa juga dibahasakan sebagai "cara berhukum". Pokok persoalan yang dimaksud adalah anggapan masyarakat modern mengenai apa hukum itu sendiri.
Entah darimana pemahaman itu hadir, nyatanya tidak sedikit dari masyarakat percaya pada pemahaman bahwa semua yang disebut hukum adalah keadilan, sehingga yang melanggar hukum artinya menciderai keadilan. Belum selesai diberikan pengetahuan mengenai perbedaan antara hukum dan keadilan, masyarakat sudah menutup diri dengan menyebut bahwa undang-undang atau peraturan itu adalah hukum.
Singkatnya, teks-teks kaku yang bisa ditarik dan digunakan sesuai dengan keinginan penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, atau institutsi yang diberi kewenangan) itu dianggap sebagai penentu keadilan, dan penegak hukum adalah subjek yang teragung tanpa noda kesalahan.
Pemahaman akan hal itu wajar apabila dialami oleh masyarakat yang tuna-hukum atau tidak paham terhadap hukum. Mereka tidak punya pengetahuan akan hukum dan mereka juga tidak memiliki kewenangan untuk mengaplikasikan teori pada lingkup empiris. Namun, pemahaman macam itu menjadi suatu pisau tanpa mata, yang menyayat, yang menenggelamkan asa akan suatu tatanan hukum berkeadilan, apabila dialami oleh para
legal executor. Para penegak yang tidak memiliki kedalaman teoritis dan kebijaksanaan secara bersikap bisa membahayakan eksistensi keadilan yang coba disediakan oleh jalur hukum.
“Undang-undang mengaturnya seperti ini” tukas seorang Satpol PP, yang bersamaan dengan terbangnya ungkapan itu kemudian dia merobohkan tenda-tenda PKL.
“Ibu salah, karena tidak berlaku sesuai undang-undang” ucap Jaksa yang hendak membawa persoalan ketidaktahuan nenek bahwa memungut buah kakau yang jatuh, barang tiga buah saja, itu pencurian dan diatur dalam Pasal 362 ke ruang sidang.
Apakah hal itu adil? Apakah kemudian undang-undang yang digambarkan sebagai representasi dari hukum itu masih kita anggap sebagai teks yang mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan? Tentu tidak.
Tindakan salah yang dalam bahasa latin disebut
actus reus, tidak serta merta bisa langsung dikaitkan kepada teks-teks kaku, untuk kemudian tanpa melibatkan nurani menganggap bahwa tindakan itu mengotori keadilan. Jikalau hukum dipaksa kaku begitu, maka keadilan justru telah dilenyapkan oleh kesewang-wenangan, dan hak untuk menjelaskan yang menentukan ada atau tidaknya
means rea (niat berbuat jahat) ikut hilang.
Bentuk-bentuk proses hukum yang menghamba teks dan menihilkan keadilan ini yang kemudian memunculkan kriminalisasi, yang merendahkan martabat daripada hukum itu sendiri. Jangan sampai hukum kita dibawa kepada keadaan yang dituliskan John Grisham mengenai “Seorang pria tak bersalah akan dihukum mati. Hanya satu orang yang bisa menyelamatkannya: si pembunuh yang sebenarnya”.
Ego, yang ditarik Pak Luluk ke ranah sektoral, nyatanya tidak lebih atau sama bahaya dengan ego yang dibawa ke dalam kewenangan absolut tanpa kejelasan sanksi apabila melakukan kekeliruan.
PenutupPada titik inilah, titik di mana pemahaman dibiarkan lepas bak panah tanpa arah sasaran, titik di mana hukum dianggap pinang dibelah duanya keadilan dan yang melanggar itu artinya berbuat keji terhadap keadilan, titik di mana jaksa dianggap pahlawan hukum pembela keadilan, hukum rawan dijadikan mainan politik. Polisi atau pun juga kejaksaan sebagai penegak yang jauh dari kemungkinan sanksi bisa berbuat sesuka hati.
Kemudian, hukum dijadikan transaksi bernilai kapital yang amat sangat menjijikan karena bersembunyi di balik kedok keadilan yang munafik.
Hal ini tidak bisa diteruskan. Kita harus ingat kembali bahwa ius di tangan Agustinus dibawa ke dalam tiga pengertian; ius yang berarti hukum dan iustitia yang berpijak pada ius berarti keadilan, terakhir ius juga berarti hak. (Daniel Dhakidae, Menerjang Badai Kekuasaan, 28)
Satjipto Rahardjo pun jauh-jauh hari sudah mengingatkan bahwa peraturan, yang disebut sebagai hukum itu, hanyalah sebuah tuntunan. Sedangkan penerapan keadilan itu lebih tinggi dari tuntunan, karena keadilan adalah tuntutan yang ketentuannya ditentukan sesuai dengan nurani dan akal sehat secara umum. (Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, 21).
Sebab itu, ketika tuntunan (peraturan) pada realitasnya melenceng dari keadilan yang sesuai akal sehat, maka tuntunan itu harus dikesampingkan dan tuntutanlah (keadilan) yang dikedepankan.
*
Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
BERITA TERKAIT: