Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Indonesia Negara Maju Tahun 2045, Realita atau Fatamorgana?

OLEH: DEWI LUSIANA*

Minggu, 23 April 2023, 22:41 WIB
Indonesia Negara Maju Tahun 2045, Realita atau Fatamorgana?
Ilustrasi/Net
ORGANISASI Kerja sama Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) memprediksi bahwa tahun 2045 Indonesia akan menjadi negara maju. Indonesia dikatakan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar 8,89 triliun dolar AS. Prediksi serupa pernah juga dibuat oleh Nomura Research Institute dan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dengan beberapa variasi kecil.

Dasar pijakan utama dari prediksi di atas adalah penduduk atau demografi. Menurut statistik, di tengah suasana trend penduduk di berbagai negara di dunia terus mengalami penurunan yang signifikan, Indonesia malah terus mengalami peningkatan.

Indonesia disebut akan mendapat “bonus demografi”, di mana pada tahun 2030-2040 jumlah penduduk tersebut diperkirakan akan mencapai 297 juta jiwa. Atas dasar ini, maka Indonesia diprediksi akan menjadi salah satu pasar terbesar dunia dan sekaligus pula menjadi salah satu pemilik angkatan kerja terbesar dunia dan dengan PDB yang disebutkan tadi.

Untuk menyongsong mimpi masa depan di atas selama satu dekade terakhir ini Pemerintah Indonesia telah berusaha membangun berbagai infrastruktur fisik, di samping nonfisik. Langkah ini tentu amat tepat. Setidaknya, kemajuan ekonomi sebuah negara memang harus didukung oleh kelancaran arus uang, orang, barang, dan jasa.

Akan tetapi langkah-langkah di atas pada prinsipnya hanyalah sebuah necessary condition, but insufficient. Pembangunan infrastruktur, misalnya, memang merupakan syarat yang diperlukan dalam mengejar mimpi tadi.

Akan tetapi jika hanya itu saja, maka hal tersebut tidaklah mencukupi. Di luar ini, masih banyak hal yang juga perlu diperhatikan. Salah satu yang amat penting adalah faktor manusianya (human factor), terutama kualitasnya.

Kualitas human factor dalam pandangan-pandangan yang berlaku belakangan ini telah menjadi hal yang amat penting. Hal ini bahkan telah membuat konsep atau pengertian modal atau kapital di dalam teori-teori ekonomi pembangunan belakangan ini mengalami perubahan.

Di masa lalu, konsep modal atau kapital hampir selalu diartikan sebagai modal dalam bentuk uang (financial capital). Tapi pada masa belakangan pengertian itu sekaligus pula mencakup unsur human factor tadi.

Besar atau kecilnya bobot atau nilai faktor manusia, seperti disebut di atas lebih ditentukan oleh kualitas ketimbang kuantitasnya. Karena itu, human capital index belakangan ini telah menjadi hal yang semakin banyak mendapat perhatian.

Bahwa Indonesia memiliki penduduk dalam jumlah besar pada masa sekarang dan terlebih lagi pada tahun 2040 nanti, hal ini mungkin memang merupakan sebuah keniscayaan. Pada masa silam, kita cenderung bangga terhadap sumber daya manusia atau human resources (HR) yang besar ini, yang dalam bahasa kita disebut sebagai sumber daya manusia (SDM).

Atas dasar ini, maka kita (termasuk lembaga riset atau lembaga-lembaga keuangan dunia) sering kali tiba-tiba saja langsung menyimpulkan bahwa kita memiliki potensi HR yang besar yang akan berguna sebagai penggerak roda perekonomian, terutama industri.

Lebih lanjut, secara linear, kemudian disimpulkan pula bahwa kita akan menjadi salah satu pasar dunia terbesar dan juga dengan PDB yang besar pula dan seterusnya.

Pemikiran di atas pada prinsipnya terlalu menggampang-gampangkan persoalan. Jika kita melihat persoalan secara lebih realistis atau membumi, kita tampaknya perlu menyadari bahwa tenaga kerja yang disebutkan itu pada prinsipnya tak lebih dari sekadar sebuah potensi dan bukan sesuatu yang real, aktual atau nyata.

HR pada prinsipnya adalah bahan mentah yang masih harus diolah agar memiliki keahlian dan keterampilan sehingga dapat menjadi HC (human capital). Tanpa adanya kesanggupan merubah HR menjadi HC alias aset, maka sumber daya manusia yang besar tadi tidaklah akan bermakna banyak.

Jika begitu, merubah HR agar menjadi HC adalah tugas utama yang harus sesegera mungkin dilakukan. Tanpa ini maka bonus demografi yang besar yang disebut di atas akan menjadi peluang yang sia-sia, dan dapat menjadi bencana nasional. Antara lain adalah pengangguran dalam jumlah yang besar!

Sekiranya kata “pengangguran dalam jumlah besar” di atas itu dinilai sebagai pandangan yang terlalu pesimistik dan kita mencoba untuk berpikir secara lebih optimistik pun keadaannya tidaklah akan terlalu jauh berbeda.

Sebagai misal, jika diasumsikan bahwa HR yang tidak dirubah atau tidak sanggup diubah menjadi HC tadi masih akan dapat bekerja sebagai tenaga kerja dengan upah yang murah, maka kita pasti akan terbentur pada masalah kemampuan daya beli (purchasing power) mereka. Padahal, untuk menjadi salah satu pasar terbesar dunia, jelas diperlukan adanya penduduk yang memiliki kemampuan daya beli yang besar pula.

Dalam kaitan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar keempat dunia dengan PDB sebesar 8,89 triliun dolar AS yang disebut di awal tulisan ini, dengan mengingat bahwa kontribusi tenaga kerja upah murah terhadap PDB cenderung rendah, maka berhasilnya Indonesia untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia yang disebutkan itu tampaknya sulit diharapkan.

Di luar yang disebutkan di atas, jika kita tidak merubah atau tidak sanggup merubah HR kita sehingga menjadi HC, maka masalah-masalah sosial yang akan mengganggu stabilitas politik pun berisiko besar untuk muncul.

Sebagai misal, bukankah tanpa merubah atau kesanggupan merubah HR menjadi HC maka pasar tenaga kerja terampil yang saat itu dibutuhkan mau tidak mau harus diisi oleh tenaga kerja impor? Dan, hal ini akan memicu timbulnya kerusuhan sosial?

Jika hal ini terjadi, maka tahun 2045 yang dibayangkan sebagai mimpi indah itu boleh jadi akan berubah menjadi sebuah mimpi buruk (nightmare) yang menakutkan. Termasuk juga, posisi kita yang kemungkinan besar bukan menjadi tuan, melainkan menjadi kuli di rumah kita sendiri.

Untuk menghindari mimpi buruk di atas, maka perubahan cara pandang dan mindset, terutama di kalangan para pemangku kekuasaan atau para pembuat kebijakan, jelas diperlukan.

Hal ini harus dimulai dengan mengubah cara pandang atau anggapan untuk tidak memandang kapital atau modal hanya semata-mata sebagai modal dalam wujud uang atau financial capital belaka. Melainkan, seperti telah disebut sebelumnya, sekaligus juga memasukkan warga negara (atau para pegawai jika dalam konteks perusahaan) ke dalam konsep kapital atau modal atau aset seperti yang disebutkan di atas tadi.

Dalam wujud konkret, langkah di atas harus dilakukan dengan cara memberdayakan Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) kita melebihi apa yang ada sekarang. Kemnaker harus diberi tugas sesegera mungkin untuk merubah HR yang kita miliki sehingga dapat menjadi HC alias aset manusia yang dapat diandalkan.

Kemnaker bahkan harus diposisikan setara dan sama pentingnya dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Sebab, jika Kemenkeu sampai taraf tertentu dapat kita katakan sebagai lembaga yang  banyak bertalian atau bertanggung jawab terhadap "financial capital", maka Kemnaker adalah lembaga yang banyak bertalian atau bertanggung jawab terhadap “human capital”.

Sebagai gambaran tentang pentingnya masalah HC di atas, dapat disebutkan di sini bahwa dalam The World Bank Group Summit di Washington DC tahun 2017, masalah HC telah diangkat menjadi isu yang amat penting. Dalam pertemuan itu, HC bahkan telah disepakati untuk dijadikan sebagai salah satu indikator atau alat ukur (measurement) penting dalam menghitung kekayaan sebuah bangsa.

Tanpa maksud menakut-nakuti atau membuat sebuah shock therapy, data human capital index yang dikeluarkan oleh The World Bank tahun 2022, mungkin dengan sendirinya telah melahirkan shock bagi kita semua.

Dari data itu, jelas terlihat bahwa Indonesia berada pada peringkat 130 dari 199 negara. Jika dibandingkan dengan keadaan dua tahun sebelumnya, jelas pula terlihat bahwa kita bukan mengalami kenaikan, melainkan penurunan signifikan dari peringkat 87 yang dimiliki sebelumnya ke peringkat 130 tadi.

Masih dalam konteks statistik, statistik nasional kita saat ini jelas pula menunjukkan bahwa lebih dari 80 juta orang (atau hampir 60%) angkatan kerja kita tidaklah bekerja di sektor formal, melainkan di sektor informal. Dalam salah satu makna, hal ini jelas merupakan bukti (prove) bahwa tenaga kerja kita sekarang ini tidak cukup mampu untuk masuk atau bekerja di sektor formal.

Tidak dipungkiri bahwa saat Krismon tahun 1998 sektor informal memang telah menjadi Juru Selamat bagi perekonomian kita. Terutama, dalam fungsinya sebagai “tempat bertahan” di tengah badai krisis moneter yang sedang terjadi. Atau, tempat bekerja “sekadar untuk menghindari pengangguran yang lebih besar”.

Namun, untuk menggapai mimpi Indonesia menjadi negara maju tahun 2045 kita memerlukan ”ekonomi yang progresif dan bukan “ekonomi bertahan” ala krismon di masa silam itu. Pola ekonomi masa krismon yang mengandalkan tenaga kerja sektor informal yang memberikan kontribusi relatif kecil terhadap PDB dan beserta segala rentetannya seperti telah dijelaskan di atas tadi harus ditinggalkan sesegera mungkin.

Jika hal-hal yang disebutkan dalam tulisan ini dijadikan sebagai masukan bagi para pemangku kekuasaan atau para pembuat kebijakan, insyaallah munculnya Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 bukan merupakan fatamorgana, melainkan sebuah realita! rmol news logo article

*Penulis adalah Doktor Administrasi Bisnis The University of Newcastle, Australia, 2011; Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis Universitas Indonesia
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA