Pelabelan sebagai 'generasi rebahan' atau 'generasi manja' berubah menjadi generasi yang melawan yang menginginkan perubahan. Setidaknya itu catatan penting jika kita mencermati generasi Z di Indonesia saat ini dengan menggunakan perspektif
generation theory (Mind The Gap, Graeme Codrington,2012) dan perspektif
social movement theory (Power in Movement, Sidney Tarrow,1998).
Dalam banyak studi yang fokus pada teori generasi menyimpulkan bahwa generasi Z atau generasi yang lahir dalam rentang tahun 1996 sampai dengan 2009 yang disebut juga iGeneration ini diantara cirinya yang paling menonjol adalah
open mind dan
individualistic.
Cara berfikir yang terbuka mendorong mereka mudah menerima ide-ide baru atau pikiran-pikiran baru. Sementara ciri individualistik membuat mereka cenderung egois.
Ciri individualistik ini dalam kehidupan nyata membuat mereka terkesan anti-sosial. Sering mengurung diri bersama gawai berselancar didunia maya dan apati terhadap kehidupan sosial disekitarnya adalah realitas generasi Z yang sering ditemui di Indonesia pada sekitar tahun 2014.
Saat 2014 itu mereka kebanyakan sedang duduk di bangku SMP-SMA-SMK. Tiga sampai lima tahun kemudian mereka banyak yang sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi menyebar diberbagai universitas.
Karakteristik open mind dan kemewahan hidup
no gadget no life membuat mereka menemukan tantanganya di universitas, mereka mudah melakukan konfirmasi antara teori dengan realitas yang mereka temukan melalui berselancar di media sosial dan mengamati realitas diluar kampus.
Karakteristik individualistik telah terkikis seiring tumbuhnya kepekaan sosial mereka terhadap realitas disekitarnya termasuk terhadap situasi politik yang sedang terjadi. Sikap kritis mereka tumbuh subur di universitas dan dunia maya yang membuat mereka mau tidak mau terlibat dalam diskursus isu-isu aktual.
Daya kritis dan daya sebar di media sosial membuat generasi Z ini mudah melakukan konsolidasi berbasis media sosial atau instrumen media digital lainya. Situasi ini yang membuat mereka berani speak up, bersuara lantang ketika DPR ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2019. Mereka paham bahwa korupsi adalah musuh bersama rakyat Indonesia sejak 1998 ketika reformasi dikumandangkan. Maka bagi mereka melemahkan KPK sama saja mengkorupsi agenda reformasi.
Tagar #reformasidikorupsi menjadi simbol perlawanan mereka pada 2019 lalu.Generasi Z juga menolak perilaku kekuasaan yang represif yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. RUU KUHP yang diajukan untuk menjadi UU sejak 2019 dinilai generasi Z sebagai instrumen represifnya kekuasaan karena didalamnya masih memuat pasal-pasal karet yang bisa menjadi instrumen represif negara terhadap rakyatnya.
Protes generasi Z yang sangat militan pada tahun 2019 terhadap revisi UU KPK dan terhadap RUU KUHP telah membuat lima rekan mereka gugur akibat represifnya aparat. Yusuf Kardawi (mahasiswa), Immawan Randi (mahasiswa), Maulana Suryadi (pemuda), Akbar Alamsyah (pelajar), dan Bagus Putra Mahendra (pelajar) adalah lima generasi Z yang gugur di medan perjuangan untuk memberantas korupsi dan menegakan demokrasi. Mestinya DPR dan Presiden tidak lupa ada lima nyawa yang melayang dibalik pengesahan revisi UU KPK dan RUU KUHP.
#Reformasidikorupsi Hingga Bentangkan Kertas Putih
Dalam perspektif studi gerakan sosial diantaranya dikemukakan bahwa setidaknya gerakan sosial itu memiliki empat kata kunci penting yaitu tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial dan interaksi berkelanjutan (Tarrow,1998). Sementara menurut Singh (2001) gerakan sosial biasanya merupakan mobilisasi (tidak selalu menggunakan kekerasan) untuk menentang negara.
Apa yang dilakukan oleh generasi Z melalui gerakan #reformasidikorupsi pada 2019 menolak revisi UU KPK, penolakan mereka terhadap RUU KUHP, penolakan mereka terhadap UU Ciptakerja hingga gerakan bentangkan kertas putih menolak UU KUHP pada akhir tahun 2022 ini menunjukan sebuah gerakan sosial yang tidak putus sepanjang tiga tahun tersebut.
Tantangan kolektif, tujuan bersama, solidaritas sosial, interaksi berkelanjutan, mobilisasi dan menentang regulasi pemerintah dan parlemen yang merusak demokrasi adalah kata kunci penting yang melekat pada gerakan mahasiswa generasi Z di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini.
Generasi Z menghadapi tantangan kolektif yang sama bahwa mereka memghadapi kekuasaan dan parlemen yang tidak mau mendengarkan aspirasi mereka dan tidak mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Aspirasi generasi Z yang menghendaki KPK dikuatkan dan korupsi diberantas tidak didengar oleh parlemen dan pemerintah.
Parlemen dan pemerintah telah bersepakat melakukan revisi UU KPK yang melemahkan KPK, pelaksanaan revisi UU KPK itu telah menelan korban puluhan penyidik yang memiliki integritas tinggi, para penyidik tersebut diberhentikan melalui sebuah tes wawasan kebangsaan yang tidak fair dan tidak obyektif.
Parlemen (DPR) dan eksekutif (Presiden) juga berperilaku sama mengabaikan aspirasi mahasiswa, mengabaikan aspirasi publik, mengabaikan aspirasi kaum cendekiawan dan buruh saat mereka memaksakan diri mengesahkan UU Omnibuslaw Cipta Kerja pada tahun 2020. Perilaku yang sama juga ditampakan DPR dan Presiden saat terburu-buru mengesahkan UU IKN dan UU KUHP pada 2022 ini.
Secara substansial nampak dari dinamika gagasan yang diusung mereka bahwa gerakan perlawanan generasi Z juga sesungguhnya memiliki tujuan yang sama / Yakni, untuk menghadirkan pemerintahan yang demokratis, pemerintahan yang terbebas dari praktek Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Tujuannya lainnya pemerintahan yang mampu membuat rakyatnya sejahtera, pemerintahan yang merawat lingkungan dan menjunjung tinggi hak azasi manusia, dan pemerintahan yang mendengarkan aspirasi rakyat banyak. Ini semacam cita-cita bersama generasi Z.
Aktor Gerakan dan Makna Perlawanan
Dalam perspektif social movement theory sebuah gerakan sosial selalu ada aktor-aktor didalamnya. Diantara aktor-aktor gerakan mahasiswa generasi Z yang dapat penulis catat dari sejumlah pemberitaan berturut-turut dari tahun 2019 hingga 2022 diantaranya Manik Marganamahendra (Ketua BEM UI) Muhammad Atiatul Muqtadir (Ketua BEM UGM), Royyan A Dzaky (Presiden Keluarga Mahasiswa ITB), Sultan Rivandi (Ketua DEMA UIN), Remy Hastian (Korpus BEM SI / Ketua BEM UNJ), Muhammad Nurdiansyah (Koorpus BEMSI/KM IPB), Nofrian Fadhil Akbar (Korpus BEMSI/BEM UNRI), Wahyu Suryono (Korpus BEMSI Kerakyatan/BEM UNNES), Kaharudin (Korpus BEM SI Rakyat Bangkit/BEM UNRI), Leon Alvinda Putra (Ketua BEM UI), Abdul Kholiq (Korpus BEM SI Kerakyatan/BEM UNNES), Muhammad Yuza Agusti (Korpus BEM SI Rakyat Bangkit/KM BEM IPB), Virdian Aurellio (Ketua BEM UNPAD), Delpedro Marhaen (Blok Politik Pelajar/BPP), Affandi Ismail (HMI MPO), Muhammad Irwansyah (Front Millenial Jabodetabek/FMJ/UNPAM), Bayu Satria Utomo (Ketua BEM UI), M.Yogi Ilmawan (Korwil BEM Kalsel), Imam Monilingo (BEM KM UNHAS), Syahdan (Gejayan Memanggil-Yogyakarta), Febriditia Adit Ramadhan (KRL-KKN), Ilyasa Ali Husni (Poros Revolusi Mahasiswa Bandung/PRMB) dan lain-lain. Terlepas dari sejumlah kekurangan mereka, tokoh-tokoh mahasiswa tersebut telah memberi pengaruh cukup signifikan sepanjang dinamika gerakan mahasiswa sejak 2019 hingga 2022 ini.Sebuah episode perlawanan generasi Z.
Artikel singkat ini tentu belum utuh merepresentasikan dinamika perlawanan generasi Z di Indonesia tetapi setidaknya publik dan para cendekia yang memberi perhatian terhadap studi gerakan sosial setidaknya menangkap enam hal penting.
Pertama, generasi Z menunjukan dirinya sebagai generasi yang peduli terhadap masa depan negaranya. Ini membantah generation theory yang menyebut karakteristik generasi Z yang individualistik yang cenderung tidak peduli terhadap realitas disekitarnya apalagi masa depan bangsanya.
Kedua, generasi Z mampu menegaskan cita-cita substansialnya sebagai tujuan bersama mereka yang disusung dalam setiap gerakan mereka yang menginginkan wajah negara yang demokratis, rakyat yang sejahtera, hukum yang tidak tebang pilih, hak azasi manusia yang dihormati, pemerintahan yang bersih, pemerintahan yang merawat lingkungan dan lain-lain. Secara teoritik, indikator sebagai suatu social movement yang memiliki tujuan terlihat dengan jelas. Mereka memiliki mimpi yang secara umum sama.
Ketiga, generasi Z menunjukan kemampuanya untuk merawat idealismenya yang konsisten dalam memperjuangkan tujuan kolektifnya sejak tahun 2019 hingga 2022 ini. Keempat, generasi Z menunjukan kreatifitasnya dalam setiap dinamika pergerakanya. Mulai dari meramaikan tagar perlawanan digital secara nasional hingga membentangkan kertas putih sebagai simbol perlawanan.
Kelima, generasi Z mampu menunjukan daya tahannya yang panjang dalam dinamika pergerakan mereka sejak tahun 2019 hingga saat ini. Ini juga menunjukan ada semacam regenerasi yang masih merawat ketersambungan gagasan diantara mereka dari generasi ke generasi.
Keenam, generasi Z mampu secara tegas dan berani menunjukan bahwa ada semacam penghianatan yang dilakukan DPR dan pemerintah terhadap rakyatnya. Ini terlihat ketika mereka melambungkan tagar #mositidakpercaya dan menyimpulkan pemerintah berada pada puncak penghianatan.
Hal itu ditemukan di media sosial resmi organisasi mereka. Episode perlawanan generasi Z yang kini berselimut kecemasan tentang masa depan republik yang makin menjadi kleptokratif dan Machtstaat! Panjang umur perjuangan!
*
Penulis adalah Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ)
BERITA TERKAIT: