Untuk menemukan makamnya, saya mendapatkan bantuan dari seorang teman baru, Siswa Santoso, yang dikenalkan Syahganda Nainggolan, beberapa saat sebelum saya berangkat ke Amsterdam dari Madrid, Spanyol.
Saya bertemu Mas Siswa di kediaman Bang Jusuf Sorkatara di Ettapalmstraat, Hoofddorp, tempat saya menginap selama kunjungan singkat ke negeri kincir angin.
Mas Siswa menghubungi beberapa warga Indonesia di Belanda, sampai ia mendapatkan nomor salah seorang putri Pak Pardi, Agustina.
Pak Pardi dimakamkan di Gemeentelijke Begraafplaats Zaandam di Zaanstad, sebuah municipality di Belanda Utara. Sekitar 35 kilometer dari Hoofddorp, kota utama di Municipality Haarlemmermeer. Seperti Zaanstad, Haarlemmermeer juga masuk wilayah Provinsi Belanda Utara.
Pak Pardi meninggal dunia tanggal 10 Februari 2012, sepuluh tahun lalu. Saat sedang main bulutangkis bersama kawan-kawannya.
Berita kepergiaannya sungguh mengejutkan.
Baru beberapa bulan sebelumnya, Agustus 2011, saya bertemu Pak Pardi, di Rusia.
Dari kaki Gunung Elbrus, kami ke Moskow. Pak Pardi banyak bercerita mengenai kehidupannya di Moskow, termasuk pertemuan pertamanya dengan Tatiana Bogdanova, wanita yang kelak dinikahi dan memberinya empat anak.
Pak Pardi lahir di Tambun, Bekasi, pada 26 Maret 1941. Tahun 1962, saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dia mendapat kesempatan kuliah di Uni Soviet. Adalah Kementerian Pendidikan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang mengirimnya ke Fakultas Ekonomi Universitas Lomonosov.
Ini salah satu lembaga pendidikan tua di Rusia. Didirikan tahun 1755 dengan nama Moskovskiy Gosudarstvennyiy Universitet, disingkat MGU.
Namanya diubah menjadi Universitas Lomonosov pada tahun 1940 untuk mengenang pendirinya, Mikhail Vasilyevich Lomonosov.
Tak ada bayangan Pak Pardi akan tinggal untuk waktu yang amat lama di negeri orang. Kata Pak Pardi, ketika itu bila sudah tamat kuliah dia akan bekerja di Bappenas.
Perjalanan hidupnya berubah setelah peristiwa berdarah di tahun 1965. Pak Pardi, seperti mahasiswa ikatan dinas lainnya terasingkan, kehilangan hak sebagai warga negara dan tak bisa pulang ke Indonesia.
Setelah menyelesaikan pendidikan strata satu di Universitas Lomonosov, Pak Pardi melanjutkan pendidikan master bidang ekonomi di Universitas Patrice Lumumba tahun 1967.
Universitas ini didirikan pada Februari 1960. Untuk mengenang Perdana Menteri Kongo, Patrice Hemery Lumumba, yang dikudeta dan tewas di bulan Januari 1961, nama universitas ini kemudian diubah menjadi Univesitas Patrice Lumumba.
Kini namanya adalah Rossiiskii Universitet Druzhby Narodov (RUDN) University.
Bila diinggriskan menjadi Peoples' Friendship University of Russia atau Russian University of the Friendship of Nations.
Setelah menyelesaikan pendidikan master, Supardi kembali ke Universitas Lomonosov untuk mengambil program doktoral di bidang sejarah.
Di tengah menjalankan program doktoral, Pak Pardi menikahi Tatiana, wanita Rusia sang pujaan hati di tahun 1971.
Ketika berkeliling kota Moskow dengannya di bulan Agustus 2011 itu, Pak Pardi mengajak saya ke beberapa tempat bersejarah saksi bisu pertemuannya dengan sang pujaan hati.
Mereka bertemu di MRT. Saya lupa rutenya. Tapi agak di luar kota Moskow. Dia bilang pertemuan dengan sang dewi pujaan hati tidak sengaja. Beberapa kali. Lalu jadi sengaja. Dari sekadar melirik, sampai akhirnya saling bertatapan. Memanglah, cinta turun dari mata ke hati.
Saya juga dibawa ke satu bioskop tempat mereka pernah menonton, atau mungkin arah rumah sang pujaan hati(?). Saya sudah lupa namanya. Tapi tidak jauh dari tempat itu ada patung kosmonot Yuri Gagarin.
Studi doktoral Pak Pardi selesai di tahun 1975. Disertasi yang ditulisnya berjudul “
Persatuan Kaum Progresif Indonesia -- Syarat Penting (untuk) Pencapaian Demokrasi dan Kemerdekaan Penuh (1959-1965)â€.
Saya sempat menyarankan Pak Pardi untuk menerbitkan disertasi itu sebagai sebuah buku ke dalam bahasa Indonesia. Saya bandingkan dengan buku-buku Soe Hok Gie, "
Di Bawah Lentera Merah", "
Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan", dan "
Zaman Peralihan".
Kata saya, bukunya pasti akan digandrungi oleh anak-anak muda dan orang tua yang pernah muda. Seperti kami menggandrungi buku-buku Soe Hok Gie di era 1990an.
Pak Pardi tak begitu antusias mendengar usulan saya.
Saya juga mengusulkan agar kisahnya selama di Uni Soviet sampai pindah ke Belanda dan pulang ke Indonesia difilmkan.
Saya kira pasti menarik, bila kisah Pak Pardi menjadi pintu masuk ke masa itu. Masa pancaroba yang oleh Bung Karno disebut sebagai vivere peri coloso.
Pun, Pak Pardi tampak tak berminat.
Saya ceritakan kisah ini, kisah perjalanan dan pembicaraan saya dan Pak Pardi saat di Moskow, kepada putrinya Agustina yang kami temui di pemakaman Zaandam.
Makam Pak Pardi tidak jauh dari pintu masuk. Ada tiga bangunan kantor yang menyambut kami di bagian depan. Makamnya berada sekitar 30 meter ke arah kanan dari bangunan kantor ketiga. Pemakaman yang rapi dan bersih, terawat dengan baik. Pohon-pohon tua yang masih kokoh memayungi makam-makam di bawahnya.
Setelah menamatkan pendidikan di Lomonosov, Pak Pardi bekerja di Institute Oriental Studies, Moskow, sampai tahun 1990 saat dia dan keluarganya pindah ke Negeri Belanda.
Pak Pardi pernah kehilangan haknya sebagai manusia Indonesia. Tapi dia tak menyerah. Tak pernah mengucapkan sumpah setia pada negara manapun yang menampungnya.
Rezim berganti, di awal Reformasi Pak Pardi kembali mendapatkan paspor Garuda. Dia telah berkali-kali pulang ke Indonesia.
Tapi kembali ke Rusia yang ikut membesarkan dan menempa hidup dan pemikirannya baru dilakukannya di tahun 2011 itu.
Di makam Pak Pardi, telah pula disemayamkan anaknya, Hani Supardi, yang meninggal tahun 2016, dan Ibu Tatiana yang meninggal tahun 2020.
Yang membuat pertahanan saya jebol dan airmata tumpah adalah tulisan di batu nisannya: "Indonesia, tanah airku."
Kami tinggalkan pemakaman Zaandam bersama angin yang bertiup agak kencang. Langit yang sehari sebelumnya biru menyala, tampak kelabu pula.
BERITA TERKAIT: