Kelompok pengkritik merasa bahwa praktik yang dijalankan selama ini keliru dan hanya mereka yang benar. Sementara, kelompok mainstream yang dikritik merasa bahwa apa yang dilakukan sudah
on the right track sehingga tidak tepat kritikan dilancarkan terhadap mereka.
Sangat disayangkan bahwa Ramadhan pertama yang longgar setelah dua tahun masa pandemi Covid-19 ini, umat Islam justru dipertontonkan kritik dan ‘saling serang’ dengan basis pemikiran agama yang eklusif.
Last but not least, pemikiran agama seperti ini akan semakin menjadikan umat Islam terfragmentasi dalam kelompok-kelompok ekslusif. Naifnya, pemikiran ekslusif ini akan menjadi mudah meledak sewaktu-waktu.
Dus, pemikiran eklusif ini akan kembawa umat untuk semakin jauh dari kedewasaan dalam beragama. Alih-alih pemikiran agama yang membawa kemajuan bangsa, pemikiran agama yang
jumud dan ekslusif ini malah bisa menjadi pemisah bukan perekat antar anak bangsa.
Lagi pula, kapan umat Islam di negeri tak lagi diseret untuk berdebat soal hal yang
furu’ (masalah cabang) termasuk soal sholat tarawih, awal Ramadhan, besaran zakat fitrah, dan masalah cabang lainnya. Karena, ada banyak agenda yang lebih penting didiskusikan; pendidikan dan ekonomi umat Islam misalnya yang belum maju dan tertinggal.
Sementara, perdebatan soal
furu’ (masalah cabang) sudah ada sejak dulu dan hanya berputar-putar pada tema tersebut. Tegasnya; itu-itu saja, Jadi, biarlah furu’ menjadi kekayaan khazanah keragaman keberagamaan dalam Islam.
Para tokoh agama seyogyanya menjadi obor pencerah umat. Adalah tugas para kaum agamawan (Islam) untuk mendewasakan umat. Selayaknya, umat dituntun menjadi muslim apa yang disebut dengan
al- Jili sebagai ‘
al-insan al-kamil’, manusia paripurna.
Bagaimana bisa menjadi manusia paripurna, sedang ia masih ‘bermasalah’ dengan kediriannya. Oleh karena itu, mendewasakan umat adalah tugas para tokoh agama. Program pendewasan keberagaaman umat ini mesti didukung oleh semua pihak, termasuk negara.
Perbedaan Itu SunnatullahTokoh agama seyogyanya mendesiminasikan pemikiran agama bahwa perbedaan adalah sunnatullah, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakanâ€. (QS. An-Nahl: 93).
Senada dengan ini, dalam ayat lain, Allah Swt. juga berfirman: “…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan ituâ€. (QS. Al-Maidah: 48).
Dua ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt. tidak mungkin menciptakan hanya satu ragam manusia saja, namun Dia ciptakan perbedaan agar manusia berlomba-lomba dalam kebaikan. Oleh karena itu, perbedaan dalam Islam merupakan rahmat, sebagaimana hadits Nabi Saw: “Perbedaan di antara umatku adalah rahmatâ€. (As-Suyuthi: tt)
Pemahaman bahwa perbedaan merupakan sunnatullah adalah sebuah keniscayaan. Meski perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan dalam hal
furu' (cabang agama), bukan yang ushul atau pokok-pokok dalam agama.
Menyikapi Perbedaan dalam Ramadhan
Tasamuh atau sikap toleran adalah cara tepat menghadapi perbedaan. Tasamuh adalah anak kandung perbedaan. Artinya, tanpa adanya perbedaan, maka tidak mungkin lahir tasamuh atau toleransi.
Laula mukhaalafata lamaa musaamahata.
Seandainya tidak ada perbedaan, maka tidak ada toleransi. Dengan demikian, tasamuh menjadi cara menyikapi berbagai perbedaan dalam kehidupan, termasuk perbedaan dalam memahami agama.
Tasamuh adalah penghargaan terhadap mereka yang berbeda dengan kita, tanpa harus ikut dengan mereka. Prinsipnya,
Lana a’maluna walakum a’maalukum. Bagi kami amal kami dan bagi kalian amal kalian. Soal penetapan awal Ramadhan, awal Syawal, jumlah sholat tarawih, adalah masalah
furu’ yang tidak perlu diingkari.
Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan: l
a yunkaru al-mukhtalafu fihi, wainnama yukaru al-mujma’u ‘alaihi. Hal-hal yang diperselisihkan tidak boleh diingkari. Sementara, hal-hal yang boleh dingkari adalah yang terkait hal yang disepakati (
ijma’).
Tasamuh harus tetap diiringi dengan sikap teguh dalam pendirian keagamaan. Jika kita meyakini –misalnya madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang benar dan sesuai dengan kemaslahatan, maka kita harus tetap teguh dalam pandangan madzhab Syafi’i ini.
Atas nama toleransi, kita tidak bisa mencampuradukkan semua madzhab fiqh: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali dalam praktik beragama muslim. Praktik semaca ini justru tidak dibenarkan dalam Islam. Yang benar adalah, memilih satu madzhab fiqh sembari bersikap toleran pada umat Islam yang menggunakan pendapat madzhab fiqh yang lain.
Ini pada level masyarakat sipil. Pada level negara, negara berhak memutuskan mana pendapat yang paling maslahah. Jika negara sudah memilihnya, maka wajib bagi semua rakyat untuk mengikuti pendapat tersebut.
Dalam kaidah fiqh dikatakan:
Hukmul hakim yulzimu wa yarfaul khilaf. Keputusan negara mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat.
Keputusan yang diikuti masyarakat luas adalah yang ditetapkan oleh negara sebagai
ulil amri di negeri ini. Sebagai umat Islam, kita wajib taat pada
ulil amri sejauh
ulil amri hanya memerintaahkan ketaatan, bukan kemaksiatan pada Tuhan.
Walhasil, toleransi adalah solusi jalan damai antar internal umat beragama. Bagi para agamawan, buatlah umat Islam tercerahkan dengan kekayaan khazanah Islam yang menyajikan aneka ragam pendapat.
Bagi umat Islam, bersikaplah toleran dengan perbedaan pendapat dalam umat Islam manapun. Tak perlu lagi kita mencaci, mengkritik dan menghina sesama ummat Islam yang berbeda dengan kita.
Sebaliknya, mari kita tunjukkan sikap dewasa dalam beragama. Mari kita perkuat jalinan
ukhuwah Islamiyah diantara sesama umat Islam di bulan Ramadhan yang suci ini.
*
Penulis adalah Guru Besar dan Dekan Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
BERITA TERKAIT: