Pembatasan: Tidak ada maksud tertentu kecuali untuk membedakan dan mempermudah, dalam artikel ini hasil amandemen UUD 1945, kita sebut UUD 2002.
Tiga belas tahun yang lalu, dalam kaitan reaksi anak bangsa yang ingin Kembali ke UUD 1945, Amien Rais dalam Kata Pengantar pada buku Valina Singka Subekti “
Menyusun Konstitusi Transisi†mengatakan seperti memutar jarum jam searah ke belakang, sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi. Amien Rais menyebut ada sepuluh implikasi yang harus dicamkan jika Kembali ke UUD 1945:
Pertama, DPD otomatis hilang.
Kedua, DPA muncul kembali.
Ketiga, Otonomi Daerah dibatalkan. Pemerintah pusat kembali memegang sentralisasi kekuasaan.
Keempat, MPR terdiri dari anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Kelima, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR bukan oleh rakyat.
Keenam, pasal HAM dengan sepuluh ayat yang melindungi hak asasi manusia Indonesia menjadi hilang.
Ketujuh, tidak ada pasal yang menjamin kelestarian NKRI.
Kedelapan, tidak ada ketentuan sekurang-kurangnya 20 persen APBN dan APBD dialokasikan untuk pendidikan nasional.
Kesembilan, UU dibuat oleh eksekutif, sedangkan legislatif hanya menyetujui.
Kesepuluh, Presiden dapat dipilih berulang kali tanpa batas.
Dalam hal ini, Amien Rais nampak percaya diri bahwa UUD 2002 sebagai konstitusi yang sudah tepat untuk Indonesia. Namun, bagaimana mungkin Amien Rais bisa bilang Kembali ke UUD 1945 sesuatu yang mustahil dan tidak boleh terjadi? Pernyataan yang antagonistis dengan pernyataannya sendiri. Amien bilang hasil amandemen sebagai living constitution yang selalu terbuka untuk diubah menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Konstitusi bukan ‘Kitab Suci’ yang tidak bisa diubah, kata para pengamandemen. Sejarah juga mencatat, Bung Karno pernah memutar balik pikiran bangsa Indonesia, kembali ke UUD 1945, pada 5 Juli 1959.
Jadi, apa dasarnya Amien Rais bilang mustahil dan tidak boleh terjadi? Bukankah perubahan itu bisa perubahan total “Kembali ke UUD 1945, selanjutnya dilakukan penyempurnaan dengan cara adendum?†Itulah kritisi saya dalam artikel berseri pada September 2020 yang menepis sepuluh implikasi yang disampaikan Amien Rais.
Ternyata tiga belas tahun kemudian Amien Rais berubah pikiran dan berpendapat, setelah mengamati perkembangan situasi global, regional dan nasional. Dikatakannya, antara lain, sementara krisis eksistensial di Indonesia berupa masa depan bangsa yang makin suram, bahkan gelap.
Kita melihat keterbelahan bangsa yang makin dalam, terutama dirasakan umat Islam. Tonggak-tonggak demokrasi sudah banyak yang roboh. Indonesia makin jauh masuk ke
debt-trap China. Kekayaan alam Indonesia banyak yang mengalir ke luar negeri daripada dinikmati oleh masyarakat bangsa Indonesia. Kesenjangan kaya miskin semakin menganga, seperti temuan Oxfam London yang menyebut ada empat oknum yang kekayaan mereka lebih besar dari 100 juta penduduk miskin.
Demokrasi Indonesia sudah terkubur secara sitematik dan sudah terjadi apa yang dinamakan sebagai
The Corporate Coup d’etat.
Tampaknya hasil pengamatan situasi dan kondisi Indonesia itulah yang mengubah pemikiran Amien Rais. Setelah mendengarkan penyampaian pemikiran saya dalam buku “
Untaian Butir-Butir Mutiara Konstitusi Indonesia†di Rumah Perjuangan Bangsa, 28 November 2021, Amien Rais menyatakan mendukung atas konsepsi “Kembali ke UUD 1945, Untuk Disempurnakan Dengan Adendumâ€. Alhamdulillah.
Pada hakikatnya, konsepsi tersebut merupakan upaya “Pewarisan dan Pelestarian Nilai-Nilai Pancasila, Cita-Cita, dan Tujuan Didirikannya Negara Indonesia Merdeka Demi Terjaga dan Kokohnya Persatuan Indonesia Melalui Dekrit Presiden yang Terkoordinasikanâ€.
Apakah ada perbedaan antara Dekrit Presiden dengan Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan? Apakah Dekrit Presiden yang Terkoordinasikan tersebut ada dasar hukumnya? Persoalan ini akan saya sampaikan pada artikel tersendiri. Semoga terinspirasi dan bersedia mendukung demi negeri yang kita cintai.
Penulis adalah mantan Gubernur DKI Jakarta, Ketua PPAD DKI Jakarta
BERITA TERKAIT: