Karena, Dirut Pertamina pada 28 Februari 2020 telah mengatakan, sangat optimis menyanggupi lifting minyak 1 juta barel per hari pada 2026. Optimisme itu mengacu bahwa progres pembangunan kilang baru yang sebagaian besar ditargetkan rampung pada 2026.
Padahal kegiatan lifting minyak itu adalah hasil kinerja ekplorasi migas di hulu dan berbeda dengan pemahaman kapasitas kilang yang merupakan aktivitas di hilir.
Sementara, lifting minyak bisa meningkat apabila aktivitas hulu dalam melakukan eksplorasi migas telah berhasil menemukan cadangan migas yang signifikan untuk menutupi penurunan produksi yang secara alamiah pasti turun karena sudah lama dikuras sumurnya.
Dibutuhkan waktu sekitar 6 hingga 7 tahun suatu lapangan migas bisa dikomersilkan, terhitung sebuah temuan cadangan itu dihitung ekonomis jika diproduksi, namun sudah awal tahun 2021 kabar temuan besar itu belum ada.
Aktivitas kilang itu adalah kegiatan di hilir, yaitu mengolah minyak yang sumbernya dari hulu. Saat ini total kapasitas kilang Pertamina 1,075 juta barel per hari.
Perlu diketahui, lifting minyak nasional pada tahun 2014 masih sekitar 814.000 barel per hari, akhir tahun 2020 hanya mencapai 706.000 barel perhari. Ada penurunan produksi sekitar 110.000 barel selama 5 tahun terakhir, sejak tahun 2014.
Dari produksi minyak nasional 706.000 barel per hari, minyak bagian Pertamina hanya 350.860 barel perhari (34%), selebihnya milik Negara (GOI) dan KKKS (kontraktor Kontrak Kerja Sama) sebesar 66%.
Parahnya lagi, Pertamina sampai saat ini belum satupun mulai membangun kilang baru (GRR/ Grass root Refinery), yang ada dan berjalan hanya proyek RDMP Balikpapan yang progresnya pun baru sekitar 24% pada posisi akhir tahun 2020.
Lazimnya, progres RDMP Balikpapan saat akhir tahun 2020 seharusnya sudah mencapai setidaknya 70% kemajuannya. Karena berdasarkan konstruksi sudah dimulai pada Febuari 2019. Infonya, progres tersendat karena faktor keuangan.
Konfirmasi terakhir CERI pada 10 Desember 2020, Sekper PT Kilang Pertamina Indonesia (PT KPI), Ir. Ifki Sunarya, hanya berani mengatakan kepada CERI bahwa akibat pandemi covid 19, kapasitas kilang Pertamina telah diturunkan kapasitas operasinya hanya 750.000 barel per hari. Adapun sumber minyak mentahnya milik Pertamina 22%, Pemerintah 32%, KKKS 20%, dan impor 26%.
Setelah pernyataan tersebut di atas, Sekper Pertamina Kilang telah menutup diri alias tidak mau memberikan keterangan apapun lagi soal banyak pertanyaan yang CERI telah ajukan. Termasuk soal progres proyek RDMP dan GRR serta penjualan minyak Banyu Urip diekspor oleh SKK Migs.
Meskipun Direksi PT KPI telah mengarahkan kami agar bisa mendapat informasi lewat satu pintu (bukti pesan WhatsApp dari Direksi PT KPI kepada kami ada tersimpan).
Padahal, masih banyak pertanyaan yang kami ajukan tapi belum terjawab. Karena melihat adanya keanehan dari berbagai kebijakan Pertamina yang dijalankan selama ini.
Termasuk mengapa minyak mentah Banyu Urip harus diekspor? Karena hanya dengan kapasitas 750.000 barel per hari saja, masih ada porsi 26% minyak mentah yang telah diimpor untuk kilang Pertamina.
Katanya impor itu telah menekan defisit transaksi berjalan, tetapi kenapa beda kebijakan dengan apa yang diomongkan pejabat sektor migas, yaitu Menteri ESDM, Menteri BUMN, Kepala SKKMigas, dan Dewan Energi Nasional, serta Direksi Pertamina kepada media.
Pada akhir 2020 pun, CERI masih bingung dengan kebijakan mandatori biodesel B30 yang dijalankan Pertamina dengan bahan baku FAME, meskipun banyak pihak menyatakan kebijakan itu hanya demi melindungi kartel sawit pemilik pabrik FAME daripada kepentingan nasional soal bauran energi yang efisien.
Termasuk dari Asosisasi Petani sawit menjerit karena minim menerima manfaat dari dana sawit yang dikutip tujuan awalnya untuk peremajaan tanaman sawit. Namun realisasinya sudah di atas 100 triliun dana sawit oleh BPDPKS dihabiskan untuk subsidi FAME.
Bahkan Komisaris Utama Pertamina, Ahok, pada 2 Desember 2020 telah mengatakan program itu
very high cost alias tidak efisien. Dan memang terbukti Pertamina mengalami kerugian cukup besar menjual kelebihan solar dari kilang dengan harga rugi.
Hal itu diakui oleh Dirut PT KPI Ignatius Telulembang di depan DPR RI Komisi VI pada 5 Oktober 2020.
Maka wajarlah jika kami semakin bingung dan tak mengerti lagi akan ke mana arah kebijakan Pertamina dalam mengurus hajat hidup rakyat banyak.
Karena sekarang sudah masuk awal tahun 2021, tetapi kami tak dapat kabar lagi bagaimana cerita kinerja keuangan Pertamina pada akhir tahun 2020, setelah pada semester I 2020 sempat mencatat rugi operasi Rp 11, 13 triliun, meskipun tidak pernah menurunkan harga BBM sesenpun ketika harga minyak dunia pada titik terendah selama 40 tahun terakhir.
Selamat tahun baru 2021, jaga prokes.
Yusri UsmanDirektur Eksekutif CERI
BERITA TERKAIT: