Iwan Fals, Covid-19, Dan Partai Bento (1)

Jumat, 24 April 2020, 14:51 WIB
Iwan Fals, Covid-19, Dan Partai Bento (1)
Iwan Fals/Net
SEPERTI luput dari pemberitaan atau bisa jadi tidak terlalu menarik. Bahkan jauh sebelum jumlah yang tewas akibat corona di negeri ini mencapai lebih 500 jiwa. Bagawan musik Indonesia Iwan Fals mengumpat melontarkan kejengkelannya di tengah badai pandemik.

Pasalnya, tidak satupun partai, baik yang paling gemar mengusung "NKRI Harga Mati" maupun yang hanya sesekali, muncul di garis depan membantu rakyat yang tertimpa musibah. Bahkan untuk memberi selembar masker pelindung.

Ternyata, dalam pandangannya, partai hanya butuh rakyat dan membagi sembako hanya ketika pemilu. Bukan pada saat rakyat dirudung bahaya. Entah itu krisis pangan ataupun yang lainnya. Persis seperti lagu tenar yang dibuatnya tahun 90-an. "Bento".

Suara Iwan boleh jadi benar dan bisa pula hanya sekedar menyentil para elite partai. Ditujukan pada mereka yang selalu menepuk dada sebagai pejuang demokrasi negeri. Bahkan juga anggota terhormat wakil rakyat atau segelar sepapan unjuk diri lainnya.

Lebih-lebih lagi mereka yang selalu muncul di media, mengusung diri sebagai pembawa aspirasi kalangan bawah. Entah rakyat yang mana yang ada pada benaknya.

Namun ditengok dari sisi lain, yang dilontarkan penggagas filosofi Bento ini juga kurang tepat. Karena sudah ada sebagian partai yang telah turun ke lapangan. Apakah secara langsung atau bukan. Apakah pribadi atau institusi. Hanya saja belum menggunakan media sebagai alat pembentuk opini. Intinya, semua tentu ada hikmahnya.

Sebenarnya apa yang telah membuat sosok partai politik nampak seperti lambat atau enggan memunculkan diri di saat pandemik Covid-19? Biasanya ada sejumlah hal yang menjadi penghambat. Pertama, regulasi dan birokrasi partai. Kedua, anggaran yang kurang memadai. Ketiga, sumber daya pendukung. Keempat, lemahnya koordinasi internal dan terakhir kurangnya kemampuan menggerakkan kader ataupun partisan partai.

Namun, kesemua penghambat itu bisa jadi hanya sekedar dalih saja. Alasan penguat agar rakyat yang sekarat bisa mahfum akan adanya. Kalau memang telah menjadi program partai bersama rakyat memerangi Covid-19, adalah masuk akal bila reasoning seperti itu digunakan.

Namun, harus dipahami, partai itu kumpulan dari orang-orang yang merasa memiliki ideologi yang sama. Jadi faktor ideologilah yang dominan untuk bersama rakyat, bukan setumpuk program partai.

Maka tidaklah aneh bila ada sejumlah partai sepi ing pamrih rame ing gawe, dari awal melawan Covid-19 berada di medan bersama rakyat. Apakah secara langsung maupun tidak.

PKS misalnya, menyalurkan bantuan melalui pemda di DKI Jakarta. Begitu pula kader Nasdem yang masuk kampung membagikan sembako sekaligus melakukan penyemprotan.

Atau langkah Gerindra yang menyalurkan sejumlah APD serta masker. Ada pula salah seorang kader partai Golkar Demer di Bali mempersiapkan rumahnya untuk isolasi pekerja migran Indonesia yang ditengarai masuk katagori OTG, ODP maupun PDP virus Corona.

Ideologi partailah yang memicu agar mereka segera bertindak. Tanpa menunggu perintah maupun permintaan dan sentilan.

Persis seperti yang dilakukan Ketua Umum PMI (Palang Merah Indonesia) yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Di usia yang senja, masih tanpa henti berkoordinasi dengan PMI daerah, melakukan penyeprotan disinfektan membersihkan seluruh pelosok kota, kampung dan desa dari penyebaran virus yang melanda dunia ini. Itulah jadinya bila ideologi telah mendarah daging apalagi semenjak masa muda.

Sama juga dengan yang terjadi di pusat sebuah partai di Slipi, Jakarta. Mulai dari menyalurkan APD dan masker ke daerah, memberikan tes dan pemeriksaan gratis untuk para kadernya dan membagikan hand sanitizer. Tentu saja sejumlah awak media, sebagai salah satu pilar demokrasi, juga bisa memperoleh pelayanan yang sama. Sekali lagi, begitulah bila ideologi yang diyakini menjadi trigger dalam bertindak.

Tudingan dari sejumlah scholar bahwa ideologi telah punah, karena partai di abad ke 21 ibaratnya telah menjadi kartel, dan yang ada hanyalah transaksi politik kini mengalami ujian hebat. Apa benar partai masih berpijak pada ideologi? Lebih-lebih lagi yang telah melandasi Panca Sila sebagai ideologi partainya.

Di tengah krisis saat inilah bukan hanya ideologi partai saja yang mengalami ujian namun juga ideologi bangsa. Masihkah ada Panca Sila yang diwariskan oleh para founding fathers negara yang kita cintai ini? Sejumlah pertanyaan lain masih bisa diteruskan selain ada atau tidak adanya ideologi bangsa.

Siapa yang akan menguji? Tentulah waktu dan environment politics. Siapa yang diuji? Sekaligus tiga, policy makers-media dan society. Karenanya, dalam situasi seperti sekarang wajar bila yang diserang paling gencar adalah pihak pemerintah DPR bahkan yudicative. Ini terjadi bahkan di Amerika sekalipun, negeri yang mengaku sebagai induknya demokrasi.

Siapa yang menyerang, bisa media bisa pula society. Society disini juga termasuk para enterpreunership yang sering mengaku berjasa karena mampu membayar pajak atau menampung tenaga kerja dan lainnya.

Tapi kali ini diberikan perlakuan khusus atau stimulus oleh pemerintah dalam hal keringanan pinjaman serta berikutnya. Sementara, society yang golongan menengah atau rakyat biasa hanya mampu memprotes serta menerima keadaan sambil berdoa. Itu saja dan harus bersyukur. Bila minta yang lebih berhadapan dengan hukum.

Bila ada yang menguji tentulah ada yang mengawasi, demikianlah lazimnya. Nah siapa yang mengawasi? Sampai disini para ahli nampaknya telah mengambil kesepakatan. Yakni, sejarah.

Karena jatuh bangunnya sebuah bangsa selalu tercatat dalam sejarah. Karena hanya ialah yang mampu mengawasi serta mengingatkan tentang rambu-rambu nilai-nilai kebangsaan.

Sayangnya, rambu nilai-nilai kebangsaan ini tidak pernah dibangun secara serius oleh supra struktur politik negeri ini semenjak awal kemerdekaan. Tidak perlu mungkir, buka saja anggaran di APBN. Sehingga, andaikan bangsa ini lulus dari lubang jarum ujian, nilainya masih belum mencukupi.

Sehingga, kembali lagi negeri ini terpuruk dan sulit bangkit. Andaipun bangkit, tak bisa berdiri tegak serta kokoh seperti masa Sriwijaya, Majapahit ataupun Mataram. Mengapa demikian? Karena ideologi perekat bangsa ini masih saja diperdebatkan dan ditafsirkan secara suka-suka.

Karena filosofi bangsa ini tidak pernah diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga muncul pemberontakan, kartel, transaksi yang hasilnya anti-trust.

Apa kata Iwan Fals. Hanya satu kata. Bongkar. Kembali pada ideologi bangsa. rmol news logo article

Zarsy
Penulis buku "Bulan Madu NU-Muhammadiyah".

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA