How To Lie With Statistics

Kamis, 18 April 2019, 15:50 WIB
<i>How To Lie With Statistics</i>
Ilustrasi/Net
SEORANG doktor yang khusus mendalami metodologi penelitian di salah satu group whatsapp saya berkata, my young brother, statistics its just a tool. Statistk hanya alat. Sebagai alat ia dipergunakan secara objektif keilmuan tergantung kepentingan si empunya alat.

Dalam demokrasi hal ini digunakan secara masif pertama kali oleh Mr Gallup di Amerika Serikat. Gallup adalah perintis penelitian opini publik modern dalam sistem demokrasi di sana. Tahun-tahun Gallup meriset hingga terbentuk Gallup Poll tahun 1950-an kala itu. Dan pada saat Gallup eksis dan berpengaruh sudah menuai kritik.

Kritik atas "kekuasaan" Gallup Poll dikemukakan Darrell Huff, yang menulis buku, How to Lie with statistics. Di tahun 1954 buku itu beredar. Sayangnya kritik Darrell tidak sepopulis Gallup Poll.

Lembaga ini dijadikan "dewa" bagi kemajuan demokrasi di Amerika Serikat. Sebagai alat ia berubah menjadi begitu seksi. Metodologi opini publik rintisan Gallup Poll berkembang pesat dengan munculnya reka cipta metodologi penelitian. Karena kehadiran "teknologi" itu mempermudah demokrasi dalam hal perhitungan.

Amerika Serikat memang negeri yang tradisi keilmuannya matang dengan pelbagai konsekwensinya. Di tahun tahun 1950-an. Amerika Serikat gesit menjadi negara adikuasa dengan pelbagai teknologi cerdik pandainya. Ilmu pengetahuan berkembang. Riset demi riset dilakukan di sana. Banyak imigran cerdas loncat ke AS.

Sebutlah Peter F Drucke imigran asal Austria meriset General Motor dan banyak perusahaan besar di sana. Lahirlah buku wajib, The Practice of Management. Peletak dasar management modern tahun 1954. Sejak itu terjadi ledakan revolusi produktivitas dari perkembangan ilmu pengetahuan. Temuan JW Forrester pun lahir tahun 1950-an lewat riset mendalam di General Eletrics.

Kembali ke inovasi Gallup dan Darrel Huff, sampai ke belahan dunia. Semua negara berguru demokrasi. Pun Indonesia. Mulai cerdik pandai di kirim mulai Almarhum Alfian, almarhum Deliar Noer hingga Amien Rais belajar demokrasi di Chicago Univeristy. Merekalah ilmuwan politik tua di Indonesia. Mereka belajar dan meneliti untuk kemajuan bangsanya. Intelektual istilahnya. Ia rombak sistem politik negara seperti tempatnya berguru agar supaya menjadi negara besar.

Sedangkan peringatan Darrell Huff, hanya menghiasi kajian kajian di kampus kampus di belahan Eropa. Berkembang teori teori kritis dan menggugat variabel penelitian yang monopolistik dari penggunaan statistik. Namun kepakaran seorang intelektual dilihat dari konsistensi kemaslahatan yang ia perbuat. Karena statistik sebagai alat, bisa di salah gunakan tergantung si empunya alat.

Nama-nama yang saya sebut di atas, adalah nama nama sosok intelektual legendaris yang idealis dalam kepakarannya. Bukan pelacur intelektual. Darren Huff memang kalah pamor dengan Gallup. Tapi jika Gallup masih hidup ia akan menangis temuannya dijadikan bancakan kepentingan penguasa. rmol news logo article

Soemantri Rio Hassan
Penggagas Institute Dialektika Madani.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA