Jika bola, begitu peluit terakhir wasit dititup, sudah jelas siapa juaranya. Yang menang akan eforia, bersorak, tertawa, bergembira menenteng piala. Sementara yang kalah akan tertunduk sedih layaknya putri malu tersengkol tumit. Bahkan mungkin juga melangkah gontai dengan air mata meleleh layaknya es loli kepanasan.
Suasana kontras itu berada di dalam satu tempat.
Tetapi di Pilpres ketika coblosan berakhir, hasilnya belum jelas. Yang namanya
quick qount itu bukan hasil sesungguhnya karena di situ ada
margin error. Quick count itu hanya bahan untuk membuat prediksi awal. Bukan untuk membuat kesimpulan.
Kalau
QC tidak bisa dipakai kesimpulan karena hasilnya akan ditentukan
real count KPU, mengapa banyak yang merasa perlu capek-capek membuat
QC? Yang pasti tidak ada tempoa bersarang rendah kalau tidak ada apa-apa.
Bisa saja bentuk partisipasi politik komponen warga negara seperti orang-orang yang rela menjadi petugas KPPS.
Bisa juga sebagai sebuah aktivitas jual jasa untuk kepentingan pembelinya layaknya taksi
online. Kepentingannya bisa untuk menjadi referensi langkah berikutnya, bisa juga untuk menggiring opini.
Karena dalam demokrasi di mana pesertanya masyarakat berpendidikan rendah, terikat dalam emosional primordial yang kuat, akan mudah digiring layaknya kerbau dicocok hidungnya.
Karena penjual jasa
QC itu berarti harus memuaskan pemesan atau customernya, sangat mungkin apapun dilakukan, termasuk melakukan kebohongan publik. Namanya juga orang cari sandang pangan, terkadang apapun dilakukan. Apalagi selama ini belum ada penjual jasa
QC maupun survei yang berani menantang diaudit secara total.
Perang CyberJika selama ini ada yang menganalogkan Pilpres dengan perang, entah itu perang total, perang Jalud vs Dawud, bahkan perang Baratayuda, saat inilah analog itu sangat tepat. Perangnya adalah dalam penghitungan hasil coblosan.
Perang babak ini adalah perang yang sangat rumit karena melibatkan teknologi informasi. Istilahnya
cyber war. Dalam perang
cyber yang tidak kasat mata ini juga tidak terlalu jelas siapa musuhnya, di mana markasnya, apa tujuan pastinya.
Bisa untuk kemenangan satu pihak, bisa pula untuk menghancurkan proses pemilu secara keseluruhan. Atau bertujuan memantik perang darat antaranak bangsa Indonesia sendiri. Agar Indonesia ini hancur. Tanda-tanda
cyber war atau
cyber attack sudah dirasakan tim IT BPN di mana terjadi gangguan komunikasi dari luar negeri.
Seperti pada Pilpres 2014 berkembang kasus adanya "mesin penyedot suara". Ini juga kategori
cyber war. Bukan seperti mesin yang mengunyah-ngunyah kertas. Kasus ini sampai sekarang masih misterius. Tidak pernah ada penyelesaian.
Pihak yang membuka di publik tidak pernah diproses hukum karena tuduhan menyebarkan kebohongan publik. Karena masih misterius, hingga kini publik masih khawatir akan ada operasi mesin penyedot data di Pilpres 2019.
Masih ada lagi potensi serangan terhadap
server dan aplikasi KPU untuk meraih keuntungan. Misalnya untuk memprotes pemilu karena posisinya kalah. Gangguan pada situs KPU sejak hari Kamis sudah memantik kekhawatiran serangan siber.
Jika server atau sistem siber KPU jebol atau rusak, dipastikan akan memperumit bahkan mendelegitimasi perhitungan. Menurunkan kualitas demokrasi. Pada akhirnya segala kemungkinan bisa terjadi.
Tapi masyarakat tidak usah khawatir, sudah cukup banyak anak-anak Indonesia yang ahli menangani masalah ini. Tenang-tenang saja, kembali ke tugas dan fungsi masing-masing.
Gusti Allah nyuwun ngapura.
Anwar HudijonoWartawan Senior tinggal di Sidoarjo
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.