Hal ini menjadi salah satu indikasi bahwa para diplomat Amerika dan keluarganya merasa tidak aman atau bahkan terancam oleh lingkungan di sekitarnya. Sementara kedutaan atau konsulat Rusia di tempat yang sama, temboknya jauh lebih rendah dan prosedur keamanan untuk memasukinya jauh lebih longgar.
Padahal di bawah bendera Uni Soviet negara beruang merah ini pernah menduduki negara-negara Muslim di kawasan Asia Tengah sampai Afghanistan. Lebih dari itu, Moskow dengan bendera Palu Arit dan dengan kebijakan tangan besinya pernah menutup sekolah-sekolah agama, mengubah masjid menjadi gudang atau kandang hewan, serta melarang umat Islam melaksanakan ibadah di ruang terbuka.
Sampai awal tahun 2000-an wilayah Chechnya dan Dagestan yang menjadi wilayah minoritas Muslim di Rusia masih bergolak. Pemberontakan bersenjata terjadi berulangkali, bahkan diikuti oleh sejumlah pemboman dan penyanderaan. Semangat ini mencapai puncaknya, saat Uni Soviet kalah di Afghanistan yang diikuti oleh kemerdekaan negara-negara muslim di kawasan Asia Tengah.
Dari wilayah Chechnya dan Dagestan muncul tokoh pejuang muslim terkenal seperti Shamil Basayev. Pemerintah Rusia menyebut Basayef dan para pengikutnya sebagai kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Rusia. Seringkali mereka juga disebut kaum radikal Islam, fundamentalis, atau bahkan teroris.
Seiring dengan berjalannya waktu, gejolak yang ada secara perlahan bukan saja dapat diredam, bahkan kini tidak terdengar lagi adanya keresahan warga muslim di Rusia. Apa rahasianya? Atau apa saja yang dilakukan pemerintah Rusia?
Secara simbolis, Presiden Putin sering menghadiri acara-acara yang diadakan oleh komunitas muslim Rusia, seperti perayaan untuk menyambut hari-hari besar Islam atau peresmian masjid. Sementara secara substansial, Putin memasukkan wakil Islam dalam kabinetnya, diikuti dengan berbagai kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat Muslim.
Karena itu, mulai lembaga-lembaga pendidikan mengakomodasi dalam bentuk kurikulum dan silabus, ormas-ormas leluasa mengadakan pertemuan atau seminar internasional yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara Muslim, sampai fashion yang menampilkan berbagai peragawati yang mengenakan busana muslimah seringkali diadakan.
Dengan demikian, umat Islam yang berjumlah sekitar 25 hingga 31 jiwa atau sekitar 29 hingga 41 persen jumlah penduduk Rusia secara keseluruhan, merasa aspirasinya terakomodasi, dan lebih dari itu identitas etnisnya serta keyakinan agamanya tidak terancam.
Walaupun sama-sama menganut ideologi Komunis, dalam menghadapi minoritas Muslim di negaranya, dibanding Rusia sebenarnya beban pemerintah China saat ini jauh lebih ringan.
Dari sisi sejarah, tidak pernah ada kebijakan pemerintah China yang melukai hati ummat Islam seperti yang pernah dilakukan Rusia. Sementara dalam kebijakan politiknya, Beijing sudah memberi status otonomi untuk provinsi-provinsi yang dihuni oleh suku-suku minoritas, termasuk yang dihuni oleh warga muslim Hui di Ningxia dan Uighur di Xinjiang.
Kini tantangannya adalah kesungguhan dan ketulusan dalam implementasinya, serta bagaimana melibatkan suku-suku minoritas muslim mulai perencanaan sampai implementasinya. Sebagaimana temuan MUI, di camp-camp pelatihan vokasi yang menjadi sorotan para pegiat HAM di dunia, peserta muslim ternyata masih mengalami kesulitan untuk melaksanakan ibadahnya.
Begitu juga di sekolah dan di perkantoran pemerintah maupun swasta. Bahkan mereka yang sekedar menjalankan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, atau konsisten mengkonsumsi makanan halal seringkali bisa dituduh fundamentalis, ekstrimis atau radikal.
Penting sekali bagi pemerintah RRT mendengarkan masukan dan saran MUI, kemudian mengakomodasinya dalam bentuk kebijakan baik di pusat maupun di provinsi-provinsi otonomi yang dihuni minoritas muslim.
Bila hal ini dilakukan, maka China memiliki peluang ekonomi sangat besar. Pasar dunia Islam yang sangat luas akan terbuka untuk menyerap berbagai produk China yang kini banyak mengalami hambatan dan gangguan di Barat, khususnya dari Amerika Serikat.
Mulai dari produk-produk teknologi, pertanian, sampai pada berbagai produk makanan halal yang kini menjadi sedang digalakkan oleh pemerintah pusat di Beijing, tentu akan sangat mudah diterima. Para profesional dari suku Uighur dan suku Hui yang muslim bisa dimanfaatkan sebagai ujung tombaknya.
***Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi