Light Rail Transit telah selesai di Sumatera Selatan dan Jakarta, maupun Jabodetabek dan Mass Rapid Transit dalam proses kemajuan. Terbangun 10 bandara baru. Terevitalisasi dan pengembangan 408 bandara. Terbangun 19 pelabuhan dan 8 pelabuhan dalam proses kemajuan.
Terbangun 12148 kilimeter jaringan serat optic infrastruktur telekomunikasi. Penguatan 175 ribu Menara BTS dan 75 ribu kelurahan untuk luasan komunikasi seluler. Terbangun 261,93 ribu SR jaringan gas kota, pipa transmisi, dan distribusi gas yang baru. Tercapainya 16253 MW daya listrik baru. Terbangun 113 trayek kapal perintis, 18 trayek tol laut, dan 6 trayek kapal ternak. Terealisasinya program BBM satu harga.
Dengan pelaporan hasil pembangunan infrastruktur tersebut di atas seharusnya Jokowi mulus telah dinobatkan sebagai "Bapak Pembangunan" dan sangat dielu-elukan pada setiap momentum kampanye.
Akan tetapi respons yang terjadi justru sebaliknya. Jalan tol misalnya direspons konsumen dengan youtube sedang sepi dari pemakaian truk dan bus dengan pengungkapan tarif tol terlalu mahal untuk angkutan umum orang dan barang. Sementara itu jalan tol lingkar luar Jakarta di akhir tahun semakin padat. Fenomena pemakaian kedua jalan tol menunjukkan ketidakefektivan antara tujuan dan kenyataan.
Dengan kemajuan pembangunan infrastruktur di atas, pertumbuhan ekonomi seharusnya dimungkinkan di atas 5,2 persen dengan mudah tercapai. Tingkat pengangguran semestinya menjadi 2 persen. Kenaikan alokasi anggaran perlindungan sosial menjadi Rp 162,56 triliun tahun 2018 seharusnya tidak menimbulkan kumandang Jokowi pulang waktu berkampanye di Madura.
Dan informasi peningkatan rasio utang pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Bruto menjadi 29,74 persen seharusnya tidak membuat kampanye Jokowi terinformasikan sepi.
Kalau pemerintah dinilai kurang sosialisasi itu juga mungkin bukan begitu, karena sedemikian banyak dan besar dukungan media massa dan insan pers terhadap pemerintahan Jokowi. Dikatakan karena fenomena media sosial, kiranya juga bukan.
Persoalan mungkin terletak pada rekam jejak yang tertanam membekas pada warga. Misalnya harga daging sapi diturunkan dari Rp 120 ribu per kilogram menjadi Rp 60 ribu per kilogram, namun tidak terealisasi karena daging sapi kemudian disodorkan pilihan daging kerbau impor. Kapal ikan asing yang ditenggelamkan bukannya merupakan aksi kepahlawanan dalam memburu kapal yang sedang mencuri ikan di laut, melainkan kapal yang sudah inkrah ditetapkan oleh pengadilan. Masih banyak lagi ingatan seperti itu.
[***]
Sugiyono MadelanPeneliti INDEF dan dosen Universitas Mercu Buana.