Penyandang Disonansi Kognitif Dan Kebijakan Kontraproduktif

Rabu, 19 Desember 2018, 07:20 WIB
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) menuai banyak kritik terkait kebijakannya memberikan hak pilih kepada orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) atau penyandang disonansi kognitif, tanpa harus mengantongi surat dokter pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

KPU berdalih, syarat surat dokter akan menyulitkan ODGJ memilih. Namun sejumlah pengagum demokrasi menilai kebijakan ini kontraproduktif dalam membangun demokrasi rasionalitas dan rentan dipolitisasi.

Kebijakan Bermasalah


Perubahan kebijakan KPU ini dipicu oleh maraknya aksi protes. Sebab, begitu ada kabar tentang ODGJ harus mengantongi surat dokter, muncul reaksi dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti. Yeni berharap ketentuan terkait surat rekomendasi dokter benar-benar dihapus sepenuhnya.

Mereka yang pro, berpendapat bahwa ketentuan adanya surat tersebut merupakan bentuk diskriminasi terhadap ODGJ. Mereka beralasan, pada beberapa kategori tertentu masih banyak penyandang disonansi kognitif yang mampu beraktivitas sebagaimana orang pada umumnya.

Pun, berdasarkan berbagai sumber hukum, ketentuan soal surat rekomendasi tidak pernah disebut, baik UU 7/2017 tentang Pemilu, UU 8/2016 tentang Disabilitas, maupun konvensi-konvensi internasional tentang disabilitas.

Sementara itu, mereka yang kontra, merasa keputusan KPU tersebut tak masuk akal. Sebab seseorang yang terganggu jiwanya tidak dapat lagi membedakan mana benar, mana salah. Jika KPU tetap memasukan ODGJ dalam daftar pemilih tetap (DPT), muncul  kekhawatiran pilihan mereka di bilik suara digiring atau dimobilisasi seseorang.

Kekhawatiran munculnya mobilisasi wajar adanya, mengingat ODGJ tidak sedikit jumlahnya. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2018 yang dirilis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, rata-rata 7 per 1.000 penduduk di Indonesia menderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Angka tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan jika dibandingkan pada tahun 2013, yakni yang berkisar 1,7 per 1.000 penduduk.

Senada, komisioner KPU Viryan Azis mengatakan, dibanding Pemilu 2014, jumlah pemilih tunagrahita meningkat drastis. Pemilih difabel 2014 (jumlahnya) 343.865 pemilih, yang tunagrahita atau disabilitas mental ada 8.717 pemilih. Sedangkan untuk pemilu 2019, pemilih disabilitas yang sudah terdata ada 375.195 pemilih, yang tunagrahita 43.769 dan masih dimungkinkan bertambah.

Mengurai Kisruh


Meski bukan kebijakan baru, keikutsertaan ODGJ menjadi pemilih menjadi menarik untuk dibahas. Pasalnya kebijakan ini sangatlah aneh, mengingat ODGJ bukankah orang normal, cenderung berubah-ubah, kambuh dan sembuh. Jangankan untuk memilih pemimpin, untuk menentukan keputusan pribadi saja ODGJ masih butuh bantuan orang lain untuk hidup normal.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengungkapkan, partisipasi seseorang dalam pemilu seharusnya tak hanya sekadar tahu dalam memilih. Tapi juga bisa paham mengapa harus memilih sosok tertentu. Karena seseorang dalam membuat pertimbangan-pertimbangan politik harus didasari atas rasionalitas.

Sejauh ini, sejumlah kalangan yang pro dengan pemberian hak pilih kepada ODGJ karena sejalan dengan prinsip hak asasi mereka sebagai warga negara. Akan tetapi hak asasi sebagai warga negara dimata hukum justru sebaliknya. Sebab menurut hukum positif, ODGJ tidak termasuk orang yang bisa dijerat hukum atas kesalahan yang dilakukan, dengan alasan ketidaknormalan.  

Lantas bagaimana mungkin mereka yang tidak normal diberi hak untuk menentukan pilihan, sedangkan orang normal saja terkadang melakukan pilihan yang tidak  masuk akal.

Sistem demokrasi tak pernah kehabisan cara untuk meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya. Demi mencapai syahwat kekuasaan. Sistem ini pula menghalalkan segala cara. Mulai cara yang masuk akal hingga tidak pun, dianggap sah-sah saja. Maka wajar saja jika setiap mendekati pemilu banyak cara dilakukan oleh masing-masing kubu untuk meraih simpati rakyat sebagaimana yang sudah-sudah.

Politik uang, pembagian sembako dan bentuk-bentuk bantuan lain dengan imbalan memilih pasangan calon adalah hal dianggap lumrah di masyarakat kalangan kelas bawah alias awam. Namun berbeda di kalangan para terpelajar dan orang terdidik, hak suara mereka tidak mudah terbeli dengan sekardus sembako, biasanya ada ongkos yang lebih mahal untuk membeli suara mereka.

Maka kecurangan demi kecurangan yang  terjadi dalam sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Maka harapan demokrasi untuk melahirkan pemimpin yang amanah dari realita politik semacam ini hanyalah angan-angan kosong. Justru sebaliknya, akan lahir pemimpin yang tidak punya hati nurani serta abai terhadap kepentingan rakyat.

Edukasi Religi


Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Maka syariat Islam datang mengatur baik aspek ritual maupun aspek politik. Dalam politik Islam, negara berkewajiban menjaga ketakwaan individu hingga level para pemimpinnya.

Keimanan dan ketakwaan individu juga merupakan buah dari penerapan sistem Islam di tengah masyarakat yang akhirnya menjadikan setiap individu merasa takut dengan Penciptanya.

Tak mudah bagi setiap individu untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh agama. Jika pelanggaran terjadi di tengah masyarakat maka sanksi yang diberikan negara pun akan memberikan efek jera bagi individu.

Islam juga mengatur bagaimana cara memilih seorang pemimpin dan syarat apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang pemilih. Muslim, laki-laki,  baligh, berakal,  adil, merdeka serta mampu adalah ketentuan syariat yang harus dimiliki sebagai seorang calon pemimpin.

Adapun pemilih, di dalam Islam pun terdapat berbagai syarat, di antaranya ia harus sudah baligh atau dewasa. Lalu dia juga harus berakal, yaitu memiliki akal yang sempurna sehingga dapat membedakan mana yang baik dan tidak.

“Telah diangkat pena (beban hukum) dari tiga golongan: anak-anak hingga ia balig, orang tidur hingga ia bangun, orang yang rusak akalnya hingga ia sembuh.” (HR. Abu Dawud).

Maka tidak sah di dalam Islam jika seseorang yang hilang akalnya baik Karena mabuk ataupun gila menggunakan hak pilihnya. Secara syar'i mereka bukanlah mukallaf (terbebani hukum) untuk memilih seorang pemimpin, karena ini bagian dari taklif syariat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak. [***]


Qiya Amaliah Syahidah

Muslimah Media Konawe


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA