Etalase Pilkada

Selasa, 27 Maret 2018, 14:42 WIB
DI hampir semua kontestasi politik pada level apapun, nyaris pasti akan ada kejutan-kejutannya. Kejutan minimal mendadak ramai misalnya tentang kreativitas si calon mendesain dirinya dengan meme-meme yang ikonik.

Alasan manusia politik adalah pengguna sekaligus bertugas mengkomunikasikan simbol, sebab itu pula jangan kaget konstelasi Pilkada bisa saja akan muncul kejutan yang terkadang mengarah pada cuaca ekstrem yang berakibat buruk dan membahayakan keadaban sosio-kultur masyarakat.

Kejutan semacam ini tak dapat dihindari terlebih akibat banyak pendapat yang berspekulasi bahwa Pilkada serentak seasen ini adalah sebagai pemanasan Pilpres yang akan datang. 171 Daerah yang sedang ber-Pilkada diperkirakan akan panas sampai tahun politik di 2019 nanti. Buktinya tak perlu menunggu waktu lama, kendati pesta belum bergulir telah mencuat kempermukaan saling tuding antara satu dengan lainnya soal pengguna politik “mahar non mahar”.

Kesan kerasnya politik Pilkada membuat sesuatu yang tak terduga dapat dipahami sebagai hal yang normal. Terlebih efek dari kerja-kerja politik pragmatis, usaha feodal mereka para kontestan mengeksploitasi dirinya yang kini gelagatnya sudah mulai terlihat. Peluang kejutan akan semakin lebih banyak pula dikarenakan ramainya calon pemimpin daerah datang dari berbagai latar belakang.

Lantas Pilkada dalam etalase yang seperti apa yang kita harapkan? Adalah Pilkada yang mempertaruhkan dan mengedepankan politik gagasan, kontestasi politik program, politik yang mempertengkarkan ide-ide baru pembangunan. Adu prestasi, adu track record, etalase politik pilkada yang mementaskan kontestasi integritas, kontestasi keberpihakan. Politik Pilkada yang mempertengkarkan nalar publik inovasi yang terukur, bukan politik pragmatisme atau bahkan oportunistik.

Kontestan Pilkada, para calon kepala daerah tidak menunjukkan aski saling mencela, akrobat saling menjelek-jelekkan satu sama lain antar sesama kontestan. Apalagi memakai black campign (kampanye hitam) laknat harus dihilangkan dalam proses demokrasi Pilkada.

Cara paling simple mengukur Pilkada apakah dalam corak baik atau justru dalam situasi ekstrim pragmatisme atau oportunisme. Kita berharap etalase pilkada memainkan kontetasi gagasan, kontestasi integritas dan kontestasi keberpihakan. Dapat di nilai dari parameter keberpihakan dan kenyataan jejak warisan kebajikan apa yang pernah si kontestan perbuat selama ini untuk orang lain atau daerah.

Politik Keberpihakan

Tibalah saatnya para calon pemimpin mulai menyamar, mendekatkan diri kepada Tuhan maupun pada masyarkat, itu sudah terbiasa dijumpai bukan? Sumpah janjinya bisa “gegarkan otak” masyarakat untuk menentukan pilihan kepada siapa dan gongonggan yang berasal dari mana, keluar dari mulut siapa yang dapat dipercaya.

Orasinya membuat decak kagum, bahkan bikin geger dunia. Gegap gempita lantang vokalnya bikin wajah khalayak awam berbunga-bunga.

Mereka piawai melambaikan tangan dan melangkahkan kaki. Ada yang tiba-tiba dermawan, murah pengorbanan, akselarasi bahkan mengalahkan ekspresi sosio sufisime. Berbeda, kendati benar suatu ketika kaum salafi pernah menyamar jadi tukang sol sepatu dan kuli angkut barang.

Semua ada motivasinya, mustahil bicara tanpa pamrih, mana mungkin menanam padi tanpa pamrih memanennya. Disini saja khalayak dapat membedakan semu perjuangan sosial dan egoisme individu calon. Membuka matanya pada kesadaran bahwa memang para calon itu berpamrih, pamrih yang memperjuangkan ‘nasib mereka sendiri’ bisa saja.

Integritas, kompetensi antarmereka bukan yang terpenting sebagai jalan keberpihakan. Pilkada demi Pilkada terkadang mereka tampak bersaing ketat, tetapi kemudian mereka sesungguhnya memikirkan eksistensi, kepentingan atau ambisi masing-masing. Bahkan ketika sudah terpilih, mungkin akan menjadi pemimpin yang bisanya gemar melakukan pembagian kekuasaan dari berbagai macam bentuk kolusi, resmi mapun ilegal.

Tapi terlepas dari itu yang sangat penting selama ini kapan dia peka memperjuangkan menaikkan harga hasil tani dan nelayan. Pernahkah terdengar di parlemen dia berjuang mati-matian untuk mendapatkan kesempatan mempejuangkan nasib rakyat? Kapan dia absen hadir bersama rakyat yang diakuinya sebagai “pertalian saudara” dengannya. Kapan dia mengkritisi atas mahalnya sembako, pupuk, obat hama untuk warga petani.

Nelayan yang merasa keberatan dengan membumbungnya BBM. Adakah selama ini dia menjadi pelopor, perintis dari aspirasi masyarakat atau bahkan sunyi dalam pajangan?

Adakah dia bersehaluan dengan pemuda dan mahasiswa yang kerja berjuang secara aktivisme dalam memberengus kemafiaan, maha kejahatan kerah putih yang selama ini menjarah kekayaan rakyat? Apa jangan-jangan justru dia ikut terlibat memberengus gerakan mahasiswa" Kemana dia? apa pernah bersama bersekongkol dengan para pembalak triliunan rupiah uang rakyat?

Dengan seragam kepala daerah (Gubernur, Walikota, Bapati) apa mungkin ada jaminan mereka serius bertujuan ingin membangun daerah? Sedangkan sebelumnya bagaimana rekam bajik keberpihan dan pengabdian yang telah mereka lakukan, lagipula jabatan ataupun mereka bukan orang biasa (bisa saja kekuasaan lebih dari seorang kepala daerah).

Jika kesaktian pertanyaan-pertanyaan tersebut bergerak secara masif, dipandang sebagai segala parameter rasional seberapa besar persentase keberpihakan para kontestan. Maka pintu perubahan tak terduga akan tercapai. Artinya para kontestan politik Pilkada harus tahu diri, tidak boleh tiba-tiba menyamar mengaku-ngaku ada hubungan pertalian primordial pada waktu momentum Pilkada maupun pil-pil lainnya saja.

Politik Kebajikan

Acap kali kekuasaan menyalahkan rakyat, padahal sebelumnya waktu Pilkada mereka mengelusnya dengan berbagai cara. Kendati begitu, terkadang keteguhan hati rakyat sanggup memaafkan, memaklumi kekeliruan pilihannya. Bahkan suatu ketika datang kembali Pilkada mereka menerimanya kembali.

Lebih dari itu, meskipun seringkali rakyat merasa bahwa keberadaan pemimpin sebenarnya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengkisruhkan daripada menenangkan. Tetapi rakyat tak pernah mengungkapkan kekesalan hatinya demi kelanggengan harapan pada kekuasaan.

Di sinilah pemimpin (kekuasaan) seharusnya minimal menyerupai watak khalifah keempat para rasul dan nabi atau jika mengambil simbolisme dari dunia pewayangan seperti tokoh Bima yang memiliki figur baik. Pemimpin yang ia harus Satrio atau lebih tinggil lagi seperti Penandhito. Karena politik baginya tindakan kebajikan makin dibutuhkan orang yang ingin mengabdi, penegak amanah, pemimpin yang bukan urusan prafon keduniawian semata.

Terlebih lagi mereka yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah bukanlah dari mereka orang-orang yang sedang bermain-main di dunia politik. Jelas semua mereka para kontestan bukan orang yang jauh dari habitat politik, bahkan ada yang berasal dari lembaga perwakilan rakyat.

Sungguh-sungguhlah menjadikan politik sebagai langkah bajik. Rakyat dipandang sebagai ruang-ruang kecendekiawan kemungkinan untuk mendulang harapan kebajikan. Karena ,emimpin itu memang seperti pawang hujan, pengatur kemarau, penjinak angin, dingin dan panas.

Oleh sebab itu, lompatan raksasa dalam tradisi demokarasi Pilkada serentak kali ini selain kebebasan memilih tidak hanya berlaku pada skala umum yang rasionalitas. Pagar kemerdekaan memilih tak boleh dijebol, terserah seorang calon berasal dari warna partai apa dan dari mana dia muasalnya. Pada pokoknya rakyat bisa memilih bebas tanpa disekat oleh otoritas siapapun, bahkan partia politik sekalipun. Karena spektrum parpol hanya saja sebagai mesin pengusung, bukan penentu produk.

Jika dia sebelumnya jadi apa, lantas wajar masyarakat mengulik apa legacy (warisannya), sebaiknya semua hal tersebut yang harus dibedah sedemikian telanjang. Baru kemudian nanti lantas apa jadinya jika ia terpilih. Liahtlah integritas mereka, kompetesi antarmereka bukanlah yang terpenting sebagai jalan pengabdain untuk kepentingan kemaslahatan. Melainkan Pilkada demi pilkada terkadang mereka tampak bersaing ketat, tetapi kemudian mereka sesungguhnya memikirkan eksistensi, kepentingan atau ambisi masing-masing.

Politik kebajikan tidak berbanding lurus dengan dengan apapun. kecuali masyarakat menjumpai contestan yang capable. Fenomenal melimpahnya stok calon terkadang tidak mencerminkan betapa kayanya pilihan keistemewaan dan keunikan masing-masing calon.

Tapi tugas masyarakat mencegah jangan sampai orang-orang pragmatis (pencari kekuasaan berkausa) menyinggung tentang halal haram pilihan antara satu golongan dengan golongan lainnya. Memastikan agar jangan sampai stok banyak orang-orang baik tersungkur dan akhirnya tidak dapat menggunakan kekuasaan untuk mendulang kesejahteraan masyarakat.

Politisasi Primordialisme

Muatan penghubung pertalian primordialisme ini ada banyak, ada hubungan transaksional, hubungan budaya, hubungan keagamaan, hubugan nikah, pacaran platonik, dan ada ikatan yang konservatif lainnya.

Pilkada akan berada dalam bahaya laten jika semata-mata terperangkap dalam perbincangan yang tidak produktif primordialisme ini. Seolah-olah demokrasi yatim piatu lantaran gagalnya politik primordialisme tak mampu menolongnya. Toh andai saja ada persediaan metodologi untuk dimengerti apa hubungannya.
Politisasi primordialisme dalam Pilkada adalah politiking oportunistik yang hanya berkemampuan mengandalkan jualan embel-embel yang bermuatan sentimen hubungan “pertalian” keluarga yang konservatif, ras, agama, suku dan seterusnya yang entah apa asal usul genelogisnya, tidak jelas juntrungan serta sumbernya darimana unsur nilai ‘keberpihakannya’.

Tak bermaksud membungkam kreativitas kompetitor menjual dirinya dengan mengungkit-ungkit silsilah pertalian saudara primordialisme yang sering luput di musim politik itu.

Sah-sah saja setiap kontestan politik menelanjangi dirinya tetapi juga harus siap ditelanjangi rekam jejaknya. Semua boleh dipertaruhkan di sana.

Silakan para pekerja politik baik yang terlatih maupun amatiran memoles dan menghias jagoannya. Mensimulasi probabilitas seorang calon yang memiliki segala fasilitas politik itu. Tetapi jangan berkeropotan lagi melakoni hak pilih rakyat dengan mengekspolitasi pertalian primordialnya kontestan.

Harus diingat syarat pengkecualiannya yakni berdemokrasi haruslah minus politisasi sara dan primordialisme. Sebab arena demokrasi jualannya hak masyarakat, maka konsepnya bagi politikus pada kondisi kapan dan apapun bicara keberpihakanlah yang musti menjadi primadona.

Karena bicara pertalian primordialisme ini menjadi sangat parsial karena mengandung subyektivitisme yang bisa jadi suatu waktu membahayakan demokrasi. Demokrasi terlalu sempit jika hanya andalkan eksploitasi pertalian itu. Cara pandang politik demikian teramat konvensional, dan memprihatinkan lagipula telah ratusan tahun sejarah keseringan memberikan bukti pengetehuan.

Formula Pilkada harus terukur dosisnya dan proposional yang relevan dengan kebutuhan masyarakat daerah. Tak cukup wejangan pertalian saudara (priomordialisme), syarat pemimpin ia harus cakap, ulet, professional, menguasai multimasalah, manajer pembangunan, tak terpesona harta dan kedudukan, arif, adil, inovativ, terukur, dan panglima solusi adalah indikator paling prinsipil menentukan pilihan, itulah politik yang bernalar. Artinya pertalian yang bernilai primordial tak boleh terlibat aktif meneror apalagi mengalahkan hak konstitusional atau hak kemerdekaan memilih dari masyarakat.

Atmosfir Pilkada harus diwarnai nuansa wawasan yang mencerdaskan, itu pun tak hanya berlangsung pada level elite. Tetapi juga harus sampai kepada lapisan rakyat yang berada di warung-warung, sempai ke gardu-gardu kebun, sawah maupun pesesisir pantai.

Masyarakat punya acara masing-masing menilai ragam rupa calon pemimpinnya, biarkan mereka memaknai idiom gelas calon pemimpinnya. Apakah mereka (masyarakat) mau memilih pemimpin yang idiom gelasnya tak pernah kosong selalu dituangkan gagasan dan mimpi besar memakmurkan seantero daerah.

Atau mereka memilih pemimpin yang gelasnya penuh, tetapi penuh dijaga jangan sampai tumpah atau diambil citranya. Atau lainnya masyarakat pilih pemimpin yang idiom gelasnya baru diminum mendadak hilang gelasnya. Atau barangkali mereka memilih pemimpin yang gelasnya bolong, sehingga minuman apapun atau seberapapun jumlah yang dituangkan didalamnya akan langsung habis.

Melalui hitungan berdasarkan parameter kualitas kontestan, atau dengan naluri tuhan rakyat akan mencari identifikasi pakem filosofi watak pemimpinnya yang mereka percaya.

Menyangkut pilihan mereka tak perlu dipersoalkan, apa lagi diteror dengan kalimat-kalimat penyusup semacam itu. Biarkan rakyat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan perasaan siapa yang mereka pilih nantinya, pemimpin yang akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang deritanya selama ini. Siapa pemimipin yang mampu memberikan jaminan rasa aman dan nyaman kedepan. Biarkan rakyat bebas memilih pemimpin yang memiliki kelonggaran mentalnya, kecerdasan pikiran kontestan menjaga dan menembuhkan rasa percaya masyarakat jangan sampai merasa tak dibutuhkan.

Pilihan yang independen adalah mutlak untuk diberikan diri masyarakat sendiri, derajat kepercayaannya lebih tinggi daripada kebenaran ilutif intervensi primordialisme. Praktek politik seperti itu yang disebut dengan nilai berdemokarasi yang otentik, sebab suara rakyat dalam politik adalah suara tuhan. Kalau tidak setuju dengan itu silahkan hengkang dari rumah agung demokrasi.

Terlepas dengan banyaknya kejutan, euphoria Pilkada serentak diharapkan akan dilihat dengan gembira oleh semua khalayak, bukan dengan kening mengkerut. Tentu saja harapan pada ‘pesta’ politik musiman kali ini tak hanya memiliki stok calon yang melimpah, tapi juga sekaligus membalikkan keadaan sebagian masyarakat yang terkadang selama ini merasa pesimistis bahkan apatis terhadap Pilkada.

Hari-hari pencoblasan adalah hari sulit bagi masyarakat menentukan pilihan. Risalah ini diharapkan dapat membuka permenungan khalayak ramai juga membebaskan kontestan dari dosa politik. Memberikan ketenangan batin, mencerahkan hati dan pikiran bagi masyarakat pemilih. Membukakan jalan terang bagi kemerdekaan pilihan mereka. Tapi juga sekaligus menghardik orang-orang yang memakai demokrasi secara dangkal demi memenuhi hasrat politik kekuasaannya. Alhasil rakyat harus optimis menjalani Pilkada, sembari (menanti) kejutannya-kejutannya.[***]

Mujamin Jassin
Penulis adalah peneliti dan pemerhati sosial politik di Lekakapoda


 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA