Perayaan Imlek dewasa ini sudah semakin bersemarak dan beragam. Buktinya, kini sering terlihat adanya akulturasi Imlek dengan budaya lokal di beberapa daerah. Perayaan Imlek kini tidak didominasi oleh budaya Tionghoa
an sich. Di beberapa daerah, mata kita disajikan berbagai akulturasi Tionghoa dan budaya lokal di Indonesia. Misalnya bisa kita lihat dari acara 'Grebeg Sudiro' warga Sudiroprajan kota Solo.
Dalam 'Gerebeg Sudiro' perayaan Imlek dilakukan dengan memperebutkan 'gunungan' dari kue keranjang. Gunungan sama sekali tidak ada dalam alam fikiran masyarakat Tionghoa. Singkatnya, perayaan Imlek kini menjadi khazanah budaya bangsa yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia, bukan hanya etnis Cina saja.
Lepas dari itu, sejarah kita mencatat pernah terjadi hubungan buruk antara warga Pribumi dan etnis Tionghoa. Semenjak Orde Baru berjalan, etnis Tionghoa diposisikan sebagai ‘warga negara kelas dua’. Terdapat kebijakan agar warga Tinghoa meninggalkan budaya leluhurnya. Seperti yang termaktub dalam Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966, yang scara singkat kira-kira isinya menganti nama tiga suku kata mereka menjadi nama-nama Indonesia. Selain itu, PP. No. 14/1967 tentang pelarangan perayaan kebudayaan dan keagamaan.
Lebih jauh lagi, warga Tionghoa diharuskan melakukan asimilasi (pembauran) dengan budaya-budaya Indonesia. Yang paling sering tentu dari sudut pandang ekonomi, warga Tionghoa selalu menjadi ‘kambing hitam tradisional’ ketika terpuruknya ekonomi Indonesia. Menurut Priyanto Wibowo, akademisi UI pemerhati studi Cina, Etnis Tinghoa dikebiri hak-haknya dalam tiga pilar, yakni kebebasan berorganisasi, bahasa keseharian, dan sekolah berpengantar bahasa Tionghoa. Ditilik dari sejarahnya, pembatasan ekspresi sosial-budaya warga Tionghoa dapat ditinjau dari beberapa aspek.
Pertama, aspek warisan kolonial Belanda, saat itu pemeribtah kolonial Belanda membagi stratifikasi sosial atas tiga golongan, yakni warga Eropa, warga Timur Jauh (Tionghoa dan Arab), dan warga Pribumi. Sehingga terdapat warisan mentalitas yang berjarak antara warga Pribumi dan warga Etnis Tionghoa. Kedua, aspek trauma komunisme, hal ini bersumber dari meletusnya
coup de etat (percobaan kudeta) 30 September 1965.
China dikaitkan sebagai salah satu yang mempengaruhi Komunis di Indonesia. Yang terakhir ini menjadi memori kolektif yang membekas, sehingga di antara etnis luar Indonesia lainnya, seperti etnis Arab dan India, etnis Tionghoa sampai saat ini masih sebagai
outsider dari masyarakat Indonesia.
Ke-Bhineka-an
Ke-bhineka-an merupakan sebuah takdir yang dianugerahi oleh Tuhan kepada negara Indonesia. Akan tetapi dalam perjalanannya hal ini kerap sulit disatukan dalam realitas sosial.
Saya teringat pada sebuah tulisan sejarawan terkenal Indonesia 'peranakan' Tionghoa, Onghokham, yang melihat relasi sosial masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia berjalan buruk karena kedua belah pihak saling berjarak dalam sistem sosial.
Sebagai Tionghoa 'peranakan' ia melihat bahwa tidak seharusnya terjadi dikotomis sosial antara warga Tionghoa dan warga Negara Indonesia. Ia menganjurkan asimilasi (pembauran) total dengan seluruh sistem sosial dan budaya yang ada di Indonesia bagi orang-orang Tionghoa di Indonesia.
Dukungan Ong terhadap asimilasi total ini memang menuai kontroversi dikalangan warga Tinghoa sendiri. Terjadi perbedaan pendapat karena nilai budaya leluhur sulit untuk dihilangkan dalam asal-usul dan identitas Tionghoa di Indonesia. Pihak yang kontra ini menganjurkan sebatas berdampingan dalam kehidupan sosial sekitarnya tanpa mempermasalahkan perbedaan budaya, atau yang sering disebut sebagai integrasi.
Kerap sulitnya etnis Tionghoa diterima dalam konfigurasi ke-bhineka-an Indonesia karena sering lolosnya kontribusi warga Tionghoa dari pengamatan sejarah Indonesia. Sehingga dianggap kurang nasionalis. Padahal sesungguhnya cukup banyak tokoh etnis Tionghoa yang berperan dalam mendirikan Republik Indonesia.
Semisal fakta dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tokoh Tionghoa yang terlibat, yakni Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, Mr. Tan Eng Hoa. Kemudian, dalam PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yakni Drs. Yap Tjwan Bing. Jauh sebelum itu, penting diketahui bahwa diskusi-diskusi menuju Sumpah Pemuda 1928, dilakukan di rumah seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong.
Generasi etnis Tionghoa selanjutnya melakukan perannya setelah Indonesia meredeka. Dalam kurun waktu 1946-1966 masih ada beberapa tokoh Tionghoa yang masuk dalam jajaran pemerintahan. Nama-nama tersebut antara lain; Mr. Tan Po Goan (Menteri Negara), Dr. Ong Eng Die (Menteri Muda Keuangan), Siauw Giok Tjhan (Menteri Negara Urusan Peranakan), Dr. Lie Kiat Teng (Menteri Kesehatan), Oei Thoe Tat, S.H (Menteri Negara diperbantukan kepada Presiden RI), Tan Kim Liong (Menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan dan Pengawasan), dan David Gee Cheng (menteri Cipta Karya dan Konstruksi).
Tanpa memperpanjang kontroversi ini penulis berpendapat bahwa yang sesungguhnya menjadi inti relasi warga Tionghoa dan Pribumi terletak pada kesadaran akan ke-Bhineka-an.
Selayaknya, baik etnis Tionghoa dan Pribumi dapatlah berfikir dan bertindak untuk bisa menerima perbedaan satu sama lain dan mengedepankan ke-Bhineka-an. Nasionalisme warga Tionghoa di Indonesia nyatanya bersandar pada kecintaan terhadap Negara Indonesia. Tanah air yang mereka diami, mereka hirup udaranya dan mereka tapaki untuk berjalan. Nasionalisme warga Tionghoa tidak harus dituntut-tuntut, tidak harus dibanding-bandingkan karena hal ini merupakan sikap mental.
Epilog
Relasi sosial etnis Tionghoa dan Pribumi kini memang sudah tidak telalu menegang seperti orde sebelumnya. Reformasi mewujudkan keran keterbukaan ekspresi dalam berbagai bidang. Kita sewajarnya berterima kasih kepada para pemimpin era transisi yang menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita jauh dari jurang perang saudara. Tercatat, Gus Dur dan Megawati menaruh perhatian lebih untuk memperbaiki relasi sosial etnis Tionghoa dan Pribumi.
Kita sebagai generasi penerus harus bekerja keras dengan fikiran dan tindakan yang riil mendorong hubungan baik warga Tonghoa dan Pribumi menjadi modal sosial yang bernilai tinggi dalam memajukan Indonesia. Dalam masyarakat awam mungkin saja masih menggantung stigmasiasi kepada warga Tonghoa. Soal itu perannya harus digerakkan oleh para golongan Pribumi yang bernasib beruntung melalui pendidikan tinggi, yakni para sarjana.
Para sarjana Indonesia harus bisa memotret serta memfigurakan hubungan baik etnis Tionghoa dan Pribumi untuk membumikan secara subtantif Bhineka Tunggal Ika. Sehingga tercapai sebuah masyarakat multikultural.
Masyarakat yang memiliki keberagaman unsur budaya, namun mendapatkan hak-hak yang adil untuk semua unsurnya. Tidak kalah pentingnya, membangun soliditas yang padu demi meretas berbagai persoalan kebangsaan yang disertai menjaga ke-Bhineka-an Indonesia. Tapi, mudah diucapkan sulit dilakukan, bukan?
[***]
M. Ilham Gilang, M.PdDosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Untirta; Ketua Bidang Ristek dan Dikti; Dewan Pimpinan Pusat Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (DPP HMPI)