Belakangan ini, sedang menarik perhatian adalah Akrobatik Politik yang sedang dilakukan Emil Dardak, Bupati Trenggalek. Emil Dardak adalah kader PDI Perjuangan, dia memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA) PDI Perjuangan, mengikuti Sekolah Partai Calon Kepala Daerah PDI Perjuangan, dan diusung oleh PDI Perjuangan bersama koalisi partai, pada Pilkada Kabupaten Trenggalek 2015 lalu.
Saat PDI Perjuangan memutuskan mengusung Syaifullah Yusuf dan Abdullah Azwar Anas, sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur. Emil Dardak malah memberikan sinyal kuat untuk maju menjadi calon Wakil Gubernur berpasangan dengan Mensos Khofifah Indarparawangsa.
Sebagai warga negara yang memiliki kehendak bebas menentukan pilihan politik, keputusan politik Emil Dardak tentu tidak salah. Emil tidak salah saat dia memilih mengambil peluang yang ditawarkan Partai selain PDI Perjuangan, untuk bisa melakukan lompatan politik yang lebih tinggi. Emil cermat membaca peluang dan kesempatan.
Emil bukan politikus pertama yang Mbalelo terhadap Partai Politik pengusungnya. Jauh sebelum itu, ada Basuki Tjahja Purnama alias Ahok yang sudah berkali-kali pindah Partai. Menjadi kader Partai Indonesia Baru (PIB) yang mengantarkannya menjadi Bupati Bangka Belitung, kemudian hengkang ke Partai Golkar menjadi Anggota DPR RI 2009-2014. Lalu berlabuh ke Partai Gerindra saat menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakara bersama Joko Widodo di 2013. Lalu terkakhir diusung oleh PDI Perjuangan (tidak menyatakan diri sebagai Kader) pada Pilgub DKI Jakarta 2017, berhadapan dengan Gerindra.
Nama beken lainnya adalah Ridwal Kamil, yang diusung Gerindra dan PKS pada Pilkada Kota Bandung 2013. Namun di tengah jalan menyatakan hengkang dari Gerindra. Sempat mesra dengan PDI Perjuangan, dan memilih Nasdem dan Golkar sebagai kendaraan Politik-nya untuk melaju di Pilgub Jabar 2018 mendatang.
Di berbagai daerah di seluruh Indonesia, fenomena politisi yang berpindah partai adalah hal lumrah terjadi, kemudian dianggap sebagai kewajaran. Pada momentum Pemilu Legislatif, lebih banyak lagi akan ditemukan politikus kutu loncat semacam itu. Baik dalam pentas Nasional maupun di tingkat lokal. Partai Politik dianggap hanya kendaraan rental yang bisa disewa kapan saja untuk mengantarkan ke tempat tujuan, yaitu Kekuasaan.
Politik kucu loncat tidak lahir begitu saja, partai politik berperan besar menjadi bidan yang melahirkan benalu demokrasi. Faktanya, Partai Politik memberikan kesempatan kepada para politikus kutu loncat yang dianggap potensial untuk bergabung, bahkan kerap disambut dengan karpet merah. Tentu diharapkan terjadi simbiosis mutualisme. Partai ikut terdongkrak suaranya jika merekrut tokoh-tokoh populis, memiliki basis massa, sumber daya dan sumber dana yang memadai.
Fenomena semacam ini tentu harus disudahi agar tidak semakin merusak tatanan demokrasi kita. Agar para politikus kutu loncat ini tidak memberikan contoh buruk dan persepsi negatif terhadap etika politik dan demokrasi bagi generasi yang akan datang. Sehingga citra partai politik tidak semakin tereduksi hanya sekadar alat untuk meraih kekuasaan semata.
Partai Politik harus menyadari tengah hidup dan tumbuh di Zaman Now. Dimana persepsi publik dipengaruhi dan dibentuk oleh arus informasi media. Baik media konvensional maupun Media Sosial. Hidup dalam situasi di mana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui jalan partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi sebagai alat ideologi, alat perjuangan tapi alat akumulasi ekonomi. Partai menjadi sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk mewujudkan kepentingan rakyat.
Padahal, Partai Politik adalah sebuah instrumen ideologi untuk menemukan bentuknya secara konkret. Menjadi sarana ideologi melalui jalur konstitusional yang mampu mempengaruhi dan mengakomodir ragam kebijakan yang berkaitan dengan kebutuhan rakyat. Partai Politik adalah sarana politik yang telah disepakati bersama oleh para pendiri Bangsa dalam sistem demokrasi Bernegara Berbangsa.
Partai Politik harus menjadi wahana persemaian pemimpin baru Indonesia. Sebuah tempat di mana kedewasaan berpolitik dibangun, kedekatan dengan publik dirawat dan idealisme dijaga. Partai politik bergerak di wilayah kekuasaan, tetapi berakar pada semangat kerakyatan.
Jadi, katakan Tidak pada Politisi Kutu Loncat Zaman Now..!!! [***]
Denny Bratha(Tenaga Ahli DPR RI)
BERITA TERKAIT: