Vaksin Palsu dan Gelombang Kepungan Kepalsuan

Kamis, 30 Juni 2016, 05:20 WIB
Vaksin Palsu dan Gelombang Kepungan Kepalsuan
ilustrasi/net
TAHUN lalu, tepatnya Mei 2015, masyarakat kita disentakkan dengan terungkapnya peredaran beras palsu, dalam bentuk beras plastik di daerah Bekasi. Beras palsu berbulir plastik dan disinyalir beredar cukup luas saat itu, tentu saja amat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya. Apalagi jika sempat dikonsumsi secara terus-menerus.

Serunya, dalam kasus beras palsu itu, ternyata diikuti pula sahut-sahutan antar lembaga-lembaga yang berwenang mengungkap kandungan pada beras palsu itu.

Berdasarkan hasil uji laboratorium Sucofindo, dipastikan bahwa beras palsu itu positif mengandung polyvinyl chloride, bahan pembuatan pipa dan kabel. Tak hanya itu, terdapat pula kandungan plastiser plastik, dalam bentuk senyawa benxyl butyl phtalate (BBT), bis 2-ethylhexyl phtalate (DEHP), dan diisononyl phtalate (DNIP). Ketiga senyawa itu dikenal berfungsi sebagai pelembut pada industri pembuatan pipa, yang biasa dipakai bersamaan dengan polyvinil chlorideagar agar pipa mudah dibentuk.

Kesimpulan berbeda diperoleh dari hasil pemeriksaan Puslabfor Mabes Polri dan BPOM. Mereka tidak seditpun menemukan unsur plastik pada beras yang diduga palsu itu.

Tak ketinggalan, pihak istana pun, nimbrung pada kasus yang menyedot perhatian publik itu. Melalui Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, menekankan agar pihak Sucofindo dapat mengklarifikasi ulang jika hasil penelitiannya ternyata keliru.

Namun masyarakat tak tahu seperti apa ujung penanganan kasus peredaran beras plastik itu? Sebab, seperti terjadi pada banyak kasus kontraversi yang menyedot perhatian publik lainnya, kasus beras plastik itu pun menguap tak pernah terdengar lagi.

Seiring mencuatnya kasus beras palsu, saat itu pun muncul pengungkapan kasus-kasus berajektif palsu lainnya. Seperti kasus praktek dokter kecantikan dan bedah plastik palsu yang telah banyak memakan korban.

Diikuti dengan terbongkarnya jaringan pemberi ijazah gelar akademik palsu oleh beberapa lembaga yang mengaku dapat memberikan gelar asal peminatnya mau membayar. Muncul pula saat itu penggerebegan pihak kepolisiaan terhadap jaringan pembuat uang palsu.

Dan saat itu pun seiring dengan terus meluasnya kegelisahan banyak kelompok progresif di negeri ini atas arah dan pelaksanaan program Trisakti dan Nawacita Pemerintahan Jokowi yang dianalis secara seksama oleh pelbagai kalangan sebagai palsu. Ya, Trisakti Palsu dan Nawacita Palsu, demikian tudingan sementara kalangan.

Kini, di Ramadan 2016 ini, masyarakat Indonesia secara serentak kembali dikagetkan dengan sebuah kasus berajektif "palsu" yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Yakni terungkap jaringan produsen dan distribusi vaksin palsu untuk imunisasi balita.

Jaringan pembuat vaksin palsu ini disinyalir telah beroperasi sejak lama. Pembuatan vaksin itu terletak di daerah Bekasi dan diedarkan di beberapa rumah sakit, puskesmas dan klinik pelbagai daerah.

Otak dari para pelaku vaksin palsu itu adalah sepasangan suami-istri rakus kemewahan harta. Mereka dengan bengisnya mengeruk kekayaan dengan mengedarkan tetesan-tetesan cairan harapan palsu, yang sebelumnya menjadi tumpuan para orangtua pemilik balita sebagai cairan yang mampu membuat daya tahan tubuh balita menjadi imun menghadapi beragam penyakit berbahaya.

Alih-alih kekebalan tubuh balita yang diperoleh. Sudah rugi uang, efek-efek berbahaya bagi kesehatan balita pasca diimunisasi dengan vaksin palsu itu pun menghadang.

Mengingat sangat berbahaya dan merugikannya praktek produksi dan peredaran vaksin palsu terhadap jutaan anak balita generasi masa depan bangsa, kita semua, khususnya orangtua yang peduli kesehatan anak, menghendaki para pelakunya dihukum seberat-beratnya.

Dan karena para otak serta jaringan produsen dan distributor vaksin palsu telah secara keji mengeruk keuntungan sebesar-besarnya di atas penderitaan rakyat secara luas, juga telah menyabotase program imunisasi nasional yang bertujuan membentuk generasi anak-anak Indonesia yang sehat, maka demi memunculkan efek jera, layak bagi para pelaku dihukum mati!

Terbongkarnya jaringan produsen vaksin palsu tersebut, ternyata nyaris berbarengan di lini masa dengan terbongkarnya fenomena seputar relawan pendukung petahana Gubernur Ahok, yang menamakan diri Teman Ahok.

Teman Ahok kini sedang terus dikuliti belangnya oleh pelbagai pihak, termasuk oleh kalangan internalnya sendiri, sebagai "relawan palsu". Hal itu lantaran lewat Teman Ahok, istilah relawan yang sejatinya merupakan orang yang dengan tulus ikhlas membantu tanpa berharap imbalan apapun, dinodai dan diturunkan derajatnya menjadi tak lebih sekedar pelayan yang menerima bayaran dan difasilitasi pelbagai fasilitas untuk menjalankan tugas-tugas tertentu yang ditargetkan oleh sebuah event organizer politik bernama Teman Ahok, yang beroperasi layaknya perusahaan.

Melalui event organizer politik Teman Ahok ini, kini mereka sedang dibidik KPK dan disorot luas oleh masyarakat. Bidikan dan sorotan itu terkait dengan dugaan adanya aliran dana dalam jumlah fantastis ke Teman Ahok, yang diberikan oleh para pengembang dalam kasus reklamasi yang juga menyerempet nama gubernur Ahok.

Kasus relawan palsu ini pun merebak seiring dengan terus limbungnya komitmen awal Gubernur Ahok dan Teman Ahok untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur perseorangan, seraya dari awal pun mereka telah menggemakan hymne anti partai. Kini komitmen Ahok dan Teman Ahok pun dinilai banyak kalangan sebagai telah bergeser menjadi sebuah komitmen palsu.

Dari banyaknya kasus-kasus berajektif "palsu" yang muncul selama ini, baik yang berada di tataran elit maupun di akar rumput, yang jika disebutkan akan teramat panjang, sepertinya menandai bekerjanya satu hal.

Yakni proses penciptaan kepalsuan, apapun bentuk kepalsuan itu, akan terus saja berlangsung ketika sistim politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan yang ada saat ini, berikut juga tentunya para aktor signifikan yang ada di tingkat negara maupun di masyarakat, terus saja terselimuti kuasa gelap kepalsuan. Selimut berupa kuasa gelap kepalsuan itu sungguh meninabobokan dalam hal pencapaian-pencapaian fungsi-fungsi kemanusiaan nan palsu, yang menampik keluhuran budi, dan menegasikan fitrah dan kesejatian diri sebagai manusia.

Berangkat dari penegasian atas fitrah itulah kemudian produk-produk palsu, perilaku-perilaku palsu, komitmen-komitmen palsu, janji-janji politik palsu, dan aspek-aspek lain yang serba palsu dan bisa dipalsukan, yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya, akhirnya akan menemukan lahan paling suburnya untuk kemunculannya dan perluasannya.

Dan ketika lahan subur itu tercipta, maka hal-hal palsu atau kepalsuan itu pun akan senantiasa tercangkokkan dengan sendirinya, atau tersebar secara luas dan leluasa layaknya virus ganas penyakit yang terbawa angin. Ya, virus ganas kepalsuan yang bisa menular dan menginsparasi siapapun juga yang menghendakinya.

Bisa menular dari satu sektor-ke sektor lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu entitas politik ke entitas politik lain, dari satu elemen oligarki ke elemen oligarki yang lain, dari calon elit yang satu ke calon elit lain, dari kader politisi busuk yang satu ke kader politisi busuk yang lain, dari person atau kelompok di satu daerah ke person atau kelompok di daerah lain, dan dari aktor yang satu ke aktor lainnya.

Mengerikan, bukan? Atau justru ngeri-ngeri-sedap hidup di era yang penuh kepungan gelombang kepalsuan ini? [***]

Nanang Djamaludin
Komunitas Intelektual Aktivis 98

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA