Namun di sisi lain, Indonesia -yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa- termasuk negara pengimpor terbesar produk-produk hasil industri petrokimia. Perkiraan devisa yang dibelanjakan pemerintah Indonesia untuk mengimpor produk-produk petrokimia beserta turunannya mencapai sekitar US$ 25 milyar per tahunnya (atau lebih dari Rp 300 trilliun).
Ironisnya, sepuluh perusahaan utama produsen produk petrokimia berada di negara-negara yang sebagian kebutuhan gas buminya diimpor dari Indonesia, seperti Jepang, Korea dan Taiwan.
Sebagai ilustrasi, Taiwan sangat mengandalkan penerimaan negaranya dari ekspor produk-produk petrokimia beserta turunannya yang mencapai 40 % penerimaan negara dari sektor manufaktur. Sebagian besar kebutuhan produk-produk petrokimia diimpor dari negara-negara produsen utama tersebut.
Sehingga bukanlah hal yang aneh, salah satu lapangan gas bumi di Natuna menyalurkan gas buminya melalui jalur pipa ke Malaysia, tepatnya ke kompleks industri petrokimia Kerteh-Negara bagian Trengganu, yang terletak di pantai timur semenanjung yang sebagian produk petrokimia beserta turunannya diekspor ke Indonesia, tepatnya ke pelabuhan curah Cigading-Banten.
Keadaan atau situasi ekspor gas bumi dan impor produk petrokimia beserta turunannya, sangatlah mirip dengan sebuah cerita di salah satu daerah pedalaman di Indonesia yang penduduknya banyak bercocok tanam buah pisang. Di daerah tersebut hasil bumi buah pisang dijual ke pasar di kota terdekat dengan cara dipanggul dibawa melalui lembah-lembah dan menyeberangi sungai-sungai untuk sampai di kota.
Setelah buah pisang terjual kemudian membeli oleh-oleh makanan untuk dibawa ke kampungnya, yang salah satu yang paling digemari adalah membeli Pisang Goreng sebagai kudapan untuk diberikan kepada anak-anaknya yang menunggu di rumah.
Cerita ini kelihatannya lucu bagi kita "menjual buah pisang dan membeli goreng pisang". Namun seperti itulah negara kita memperlakukan sumberdaya alam yang dimiliki, "tebang, keruk, sedot, tangkap dan ekspor" tanpa memperhitungkan nilai tambah atau added value dan multiplier effect dengan usaha meningkatkan nilai tambah.
Sejak dahulu hingga sekarang kita selalu menggenjot produksi gas bumi habis-habisan, sehingga saat ini Kilang LNG di Arun yang memiliki 6 (enam) Train LNG sudah tidak berproduksi lagi karena cadangan gas buminya sudah habis disedot sehingga cadangannya tidak mencukupi lagi untuk diolah menjadi LNG. Begitu juga kilang LNG di Bontang memiliki 8 (delapan) Train, akibat dari berkurangnya produksi gas bumi, saat ini hanya mengoperasikan 3 (tiga) atau 4 (empat).
Jika kita berandai - andai bahwa jika dan jika cadangan gas bumi di Arun hanya diproduksikan untuk 3 (tiga) Train saja, maka sisa cadangan gas bumi di Arun masih akan mampu memasok Kilang LNG Arun beroperasi hingga 40 tahun kedepan. Begitu juga dengan kilang LNG Bontang di Kalimantan, seandainya cadangan gas buminya hanya diproduksikan untuk 4 (empat) Train saja, maka Kilang LNG Bontang masih akan berproduksi hingga lebih dari 50 -70 tahun lagi.
Berkaca dari kedua pengalaman tersebut, hal yang sama masih dilakukan Pemerintah untuk pengembangan cadangan gas bumi di Bintuni - Papua dengan membangun dan mengoperasikan 2 (dua) Kilang LNG Tangguh dan 1 (satu) kilang lagi dalam tahap awal pembangunan.
Di sini kita hanya membicarakan mengenai pemanfaatan gas bumi untuk dijadikan LNG dengan tujuan di ekspor, yang berkontribusi terhadap penerimaan negara namun memberikan nilai tambah ataupun efek berganda (atau multiplier effect) berupa pengembangan ekonomi dan pengembangan wilayah di lokasi sumberdaya gas bumi tersebut berada. Kilang LNG Arun sudah lebih dari 1-2 tahun berhenti beroperasi, malahan sebagian sudah dijadikan Receiving Terminal LNG yang gas bumi nya dipasok dari Bontang dan Tangguh.
Seandainya dan seandainya lagi produksi gas bumi di Arun dan Bontang serta Bintuni - Tangguh sebagian volumenya dimanfaatkan untuk mendukung industri petrokimia, maka akan terbangun sentra-sentra industri petrokimia beserta industri turunannya di Aceh, Kalimantan dan Papua.
Indonesia tidak lagi menghabiskan devisanya sebanyak Rp 300 triliun setiap tahun untuk mengimpor produk-produk industri petrokimia beserta turunannya, melainkan sudah menjadi Pemain†di industri petrokimia sekian puluh tahun mendahului Malaysia (yang saat ini sedang giat-giatnya mengembangkan industri petrokimia di Kertih - Trengganu dan di Johor yang sedang dalam tahap penyelesaian dan akan memulai produksi di tahun 2020).
Berdasarkan beberapa pengalaman tersebut diatas, selaku inisiator eksportir LNG yang pernah menjadi Juara†pengekpor LNG di dunia dan berkaca dengan kondisi saat ini yang merupakan salah satu importir produk derivatif petrokimia terbesar dunia, maka Lebih baik terlambat - daripada tidak sama sekali untuk membangun industri petrokimia secara masif dengan memanfaatkan produksi gas bumi hasil penemuan lapangan - lapangan baru berskala besar.
Salah satu contoh Pemerintahan yang hanya memikirkan penerimaan negara dari produksi migas tanpa ada keinginan untuk menjadikan produksi gas buminya sebagai modal pengembangan ekonomi dan pembangunan wilayah adalah negara Equatorial Guinea†yang berpenduduk kira-kira 750 ribu jiwa dengan penghasilan negara dari migas sekitar US$ 11 milyar/tahun atau US$ 32 ribu/jiwa.
Pemasukan dari penjualan produksi migas sebagian besar diinvestasikan di bank-bank di luar negeri oleh para pemimpinnya, sehingga kekayaan cadangan migasnya tidak diberdayakan untuk menyerap tenaga kerja lokal, menyebabkan tingkat pengangguran yang tinggi mencapai 20 % dan tingkat buta huruf mencapai lebih dari 70 % dan negara ini masih dikategorikan sebagai negara miskin. Inilah salah satu contoh jika negara memikirkan sumberdaya alam hanya untuk penerimaan devisa saja, tidak banyak manfaat yang diperoleh oleh negara.
Penemuan lapangan migas terakhir dengan besaran cadangan sangat signifikan adalah di lapangan gas Abadi -Blok Masela yang terletak di Provinsi Maluku, tepatnya di perbatasan dengan Australia. Meskipun lapangan gas ini terletak di lepas pantai, namun dengan jumlah cadangan terbuktinya lebih dari 27 triliun kubik kaki (tcf), maka kita jangan sampai kehilangan kesempatan untuk mengelola sumberdaya alam ini secara komprehensif dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Karena saat ini hanya lapangan gas inilah yang menjadi harapan kita untuk memulai mengelola sumberdaya alam secara benarâ€, artinya kita harus menggeser (shifting) paradigma lama tebang, sedot, keluk dan ekspor†menjadi mengelola sumberdaya alam sebagai motor penggerak ekonomi dan pengembangan wilayah.
Seperti kita ketahui bahwa blok Masela dikelola oleh K3S INPEX dari Jepang bersama-sama dengan mitranya SHELL dari Belanda. INPEX sebagai perusahaan intenasional hanya memikirkan kebutuhan pemenuhan energy securiti negara Jepang dan SHELL hanya memikirkan untuk menjual dan mengujicobakannya teknologi Floating LNG-nya di Lapangan Abadi-Blok Masela, yang akan dibayar oleh negara melalui mekanisme Cost Recovery.
Memanfaatkan produksi gas Lapangan Abadi -Blok Masela untuk LNG dan pemenuhan industri petrokimia beserta turunannya serta mendistribusikan gas bumi ke pulau pulau sekitar di Wilayah Maluku, akan memicu perkembangan ekonomi dan pengembangan wilayah Maluku dan sekitarnya dengan tetap mengedepankan keekonomian, proyek hulu migas tetap feasible, yang artinya proyek masih menguntungkan operator INPEX beserta mintra nya SHELL.
Kelebihan lain, dengan memproduksikan gas bumi sebagian besar untuk untuk LNG dan industri petrokimia, akan menempatkan penerimaan negara dari kegiatan hulu migas menjadi tidak dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia. Khususnya ketika harga minyak dunia rendah seperti saat ini, yang menjadikan harga jual LNG-nya pun sangat murah, malah jauh lebih rendah daripada harga jual gas bumi di dalam negeri yang artinya kita tidak akan Menempatkan Telur di dalam satu keranjangâ€, seperti yang dilakukan oleh Petronas - Malayis di Kertih -Trengganu dan di negara bagian Johor, memicu terbangunnya kota-kota industri†baru yang modern dan mandiri serta menjadikan Malaysia sebagai penghasil produk - produk petrokimia beserta turunannya.
Dalam mendukung terbangunnya industri petrokimia beserta turunannya secara nasional, maka Pemerintah tidak hanya sekedar melihat penerimaan negara dari hasil penjualan gas bumi semata, namun, juga harus memperhitungkan nilai tambah, peluang tenaga kerja, pengembangan wilayah, pengurangan impor yang akan mengurangi pengeluaran devisa.
Seperti kita ketahui bahwa ketika operator menjual harga gas bumi dengan harga tinggi di dalam negeri, meskipun kelihatannya penerimaan negara juga tinggi. Namun yang paling diuntungkan dengan harga jual gas bumi tinggi adalah operator bloknya sendiri, sedangkan secara korporasi Indonesian Incorporation mengalami kerugian, karena harus membayar dengan harga tinggi dan untuk sektor industri menjadi tidak kompetitif karena biaya produksi tinggi akibat harga gas tinggi.
Terbangunnya industri petrokimia di wilayah Maluku akan menghasilkan produk-produk petrokimia beserta turunannya, seperti bahan baku plastik, bahan baku cat, bahan baku benang dan tekstil, bahan baku fibre glass, bahan baku ban atau karet sintetis dan lain - lain seribu satu macam lagi bahan baku yang selama ini kebutuhannya dipenuhi dari impor, sehingga adanya industri ini akan mengurangi pengeluaran devisa negara untuk mengimport bahan baku petrokimia.
Akibat lain dari ketersediaan gas bumi di daerah adalah terbangunnya industri - industri lokal yang dapat dimanfaatkan misalnya untuk pengembangan industri kaca dan keramik, yang bahan bakunya tersedia dan selama ini belum dapat dimonetisasikan karena belum tersedianya bahan bakar gas bumi sebagai sumber energi satu-satu penopang industri kaca dan industri keramik. Juga, produksi rumput laut masyarakat yang selama ini hanya dijual mentah-mentah†dengan harga hanya Rp 5 ribu/Kg, akan dapat dimanfaatkan menjadi produk-produk bernilai jual lebih tinggi, seperti: bahan dasar kosmetik, bahan dasar industri obat dll.
Tidak kalah pentingnya, ketersediaan gas bumi di daerah sebagai sumber utama energi akan menumbuhkan industri perikanan seperti misalnya industri pengalengan ikan dll, sehingga wilayah Maluku yang terkenal sebagai penghasil ikan laut utama di Indonesia, tidak lagi mengekspor ikannya mentah-mentah, namun mengekspor ikan beserta olahannya yang bernilai tinggi.
Demikianlah ulasan pemberdayaan sumber daya alam nasional, khususnya gas bumi yang selama ini dipandang dan diketahui oleh masyarakat hanya sebagai bahan bakar saja yang dipakai untuk menghidupkan kompor dan sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik dan kurang diketahui secara luas bahwa produk petrokimia adalah salahsatu pendukung utama kehidupan manusia modern saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari pemenuhan produk-produk petrokimia, seperti pupuk untuk pertanian yang menghasilkan produksi pertanian lebih tinggi, material komponen bangunan rumah, bahan baku tekstil sampai menyediakan komponen kendaraan dll.
Sehingga dengan menjadikan sumber daya alam gas sebagai motor penggerak ekonomi dan pengembangan wilayah, maka kita sebagai pemilik cadangan migas, menjadikan migas seperti "Menjual buah pisang dan membeli goreng pisang". Namun kita juga mampu meningkatkan nilai tambah buah pisang untuk dijual dengan menjadikannya tidak hanya sebagai Pisang Goreng, Keripik Pisang dan Selai Pisang, sebagaimana memonetisasi gas bumi dengan utamanya membangun industri petrokimia di dalam negeri.
Cita -cita ini hanya sekedar menjadi cita-cita saja jika tidak ada kebersamaan dalam melaksanakannya, sehingga dibutuhkan kebersamaan dukungan dari Kementerian dan Lembaga terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, pengelolaan perindustrian dan dukungan Pemerintah Daerah serta institusi-institusi lain.
[***]Penulis Adalah Praktisi Migas dan Mantan Deputi Perencanaan BP Migas
BERITA TERKAIT: