Sengkarut Kebijakan BBM Untuk Kendaraan Bermotor

Senin, 15 September 2014, 13:58 WIB
Sengkarut Kebijakan BBM Untuk Kendaraan Bermotor
BIAYA pengadaan  komponen bensin untuk kendaraan bermotor HOMC  (High Octane Motor gasoline Component) yang diimpor untuk memproduksi bensin ber oktan tinggi dianggap terlalu tinggi. Adanya kebijakan langit biru ( polusi udara ), tanggal 24  Mei 1990, Pertamina  hanya memproduksi dan memasarkan SATU macam bensin saja, yaitu bensin yang dinamai Premium dengan angka Oktan 88 .

Harga jual disubsidi oleh pemerintah. Dinamakan premium karena mutunya lebih tinggi dari bensin yang telah dipasarkan sebelumnya. Kebijakan sebelum 24 Mei 1990 untuk kendaraan bermotor Pertamina memproduksi dua macam bensin yaitu :

1. Bensin dengan angka oktan 83,  diproduksi dan dipasarkan bersubsidi pemerintah
2. Bensin  super 98 (dengan angka Oktan 98) dipasarkan tanpa subsidi

Keputusan tersebut didasarkan  atas pertimbangan keekonomian dalam operasi  pengolahan/pengadaan BBM.  Untuk memproduksi bensin Super 98 ON diperlukan HOMC yang cukup banyak dan mahal. Produksi Pertamina saat itu belum mencukupi dan juga masih diperlukan penambahan dengan aditive T.E.L (Tetra Ethyl Lead) yang sangat ber racun. Bahan sisa pembakaran yang keluar dari knalpot mobil pun dapat menyebabkan polusi udara.

Atas dasar keputusan pemerintah tersebut maka terhitung mulai tanggal 25 Mei 1990 produksi dan pemasaran bensin Super 98 oleh Pertamina dihentikan. Keputusan Presiden No. 20 tanggal 24/05/1990  tentang harga jual BBM sudah tidak mencantumkan harga bensin Super 98 ON.

Untuk mengantisipasi konsumen yang memerlukan bensin dengan Oktan yang lebih  tinggi (mobil dengan mesin yang perbandingan kompresinya tinggi / high compression ratio diatas 9), Dirjen Migas memberikan izin kepada perusahaan swasta nasional untuk  memproduksi dan memasarkan BENSIN dengan angka Oktan 92 yang diberi nama/merek dagang PREMIX/Premium Mixture (Keputusan Dirjen Migas No. 21K/72/DDJM/1990).

Perusahaan swasta nasional yang diberi izin oleh Mentri Pertambangan dan Energi untuk memasarkan PREMIX ada lima Perusahaan Penyalur Premix (P3P) yaitu: PT Panutan Selaras,PT Humpuss,  PT Sinar Pedoman Abadi, PT Giga Intrax, dan PT Elnusa anak perusahaan Pertamina.

Harga jual PREMIX ditentukan oleh mereka sendiri sesuai harga pasaran ( tidak ditentukan oleh pemerintah ). Pengusaha dapat mengambil keuntungan secara wajar. Untuk menjaga stabilitas harga jual Premix, Menteri Pertambangan dan Energi telah mengeluarkan surat No.4075/55/M.DJM/90 yang isinya menunjuk PT Elnusa sebagai price leader penjualan Premix.

Para pengusaha Premix diharuskan  memiliki atau menyediakan :
1. Fasilitas produksi atau Blending Plant /Pencampuran  sendiri  sendiri ,
2. Fasilitas Depot Penimbunan  BBM sendiri
3. Pompa bensin /SPBU masing masing
4. Para Pengusaha Premix diperbolehkan membeli Premium 88 dari Pertamina kemudian menambahkan HOMC yang dibeli dari Pertamina bilamana ada , atau mengimpor sendiri untuk memproduksi Premix 92 ON di Blending Plant miliknya sendiri. Baru setelah itu menjualnya di SPBU yang mereka bangun.

Tentu saja hal ini memerlukan modal yang sangat besar dan perencanaan yang matang untuk penyediaan keseluruhan. Waktu yang mendesak pun ternyata membuat perusahaan P3P  tak sanggup  melaksanakan kewajiban yang sudah ditentukan. Padahal produksi Super 98 sudah terlanjur dihentikan. Akhirnya diperintahkan agar Pertamina membantu para pengusaha PREMIX dan PREMIX diproduksi di berbagai depot Pertamina yang besar-besar.

Sesuai dengan peta kebutuhan masyarakat akan bensin ber-Oktan tinggi, dengan ekstra kerja keras saat itu produksi dan pemasaran Premix dapat dilaksanakan melalui depot dan SPBU Pertamina di lima daerah operasi pemasaran Pertamina; Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, dan Surabaya dengan merek mereka masing-masing. SPBU Pertamina  memakai logo KUDA LAUT, juga memuat merek PANUTAN SELARAS, HUMPUSS , SINAR PEDOMAN ABADI,GIGA INTRAKS dan  ELNUSA.

Karena dalam perkembangan selanjutnya para konsumen premix menganggap angka oktan 92 terlalu rendah, maka atas keputusan Dirjen Migas No. 26K/72/DDJM/1992, angka Oktan Premix dinaikkan lagi menjadi 94 ON. Penjualan berlanjut sampai masa reformasi. Akhirnya Direksi Pertamina tak mampu lagi meneruskan kebijakan Premix yang ruwet sehingga diputuskan  untuk menghentikan penjualannya dan dikembalikan seperti semula.

Pengusaha Premix dibubarkan dan Pertamina kembali memproduksi,  memasarkan bensin Premium dengan angka oktan 88, juga bensin dengan angka Oktan 93 dengan nama dagang Pertamax dan Pertamax plus dengan angka Oktan 95.

Ternyata ada yang terlupakan. Produksi dan pemasaran Preminum tidak dikembalikan seperti semula dengan  diproduksi dan dipasarkan bensin beroktan 83, hingga yang ada dipasaran sekarang adalah PREMIUM yang mutunya terlalu bagus. Bahkan terbukti cukup bagus untuk mobil-mobil  dengan perbandingan kompresi diatas 9 dan tetap disubsidi oleh pemerintah yang memberatkan APBN dan  menjadikan  ganjalan bagi  kegiatan atau usaha lain yang penting bagi pertumbuhan bangsa dan negara.

Usul yang diajukan dalam rangka mengatasi meningkatnya subsidi BBM kepada pemerintahan yang baru. Prinsip dasarnya seperti pemasaran beras raskin. Karena subsidi ditanggung oleh pemerintah dan yang menerima uang subsidi adalah Pertamina, maka Pertamina sebaiknya  memproduksi dan memasarkan bensin jenis baru yang diberi nama PREMIUM 83 ON atau nama lain, dengan spesifikasi yang sama dengan PREMIUM yang sekarang ada di pasaran. Kecuali, angka Oktannya Max 83 ON yang kemudian dipasarkan dengan harga lebih murah Rp 100 atau  Rp 200 dari Premium yang sekarang ini beredar di pasaran. Jadi pemerintah tidak menaikkan harga BBM tetapi justru menurunkan harga BBM. Pemasaran Premium 88  ditiadakan.

Bensin Premium 83 memerlukan HOMC lebih sedikit jadi pengadaannya, sehingga untuk tetap disubsidi jatuhnya lebih murah. Karena mutunya lebih rendah dari Premium 88 diharapkan masyarakat pemilik mobil bagus yang selama ini menggunakan Premium 88 tidak mau membelinya. Mereka diharapkan beralih dengan menggunakan Pertamax  92 ON atau Pertamax 95  ON, karena tak ingin mesin mobilnya terganggu. Konsekwensinya? Sebagian masyarakat akan beralih membeli produk Shell atau Total Indonesia. Tidak masalah !  Bahkan  impor HOMC oleh Pertamina /Pemerintah malah akan berkurang ( MAFIA BBM AKAN KEHILANGAN PASAR , AKIBATNYA PEMAKAIAN DEVISA UNTUK IMPOR BBM JUGA TURUN).

Ada kemungkinan pemasaran Pertamina akan sedikit menurun tetapi demi kepentingan yang lebih besar tidaklah menjadi masalah, karena subsidi BBM juga akan turun .Penyelundupan Premium ke luar negeri juga akan berkurang karena bensin Premium 83 tidak akan laku dijual di Singapura, Malaysia atau Papua. Untuk solar, prinsipnya sama dengan PREMIUM. Angka CETANnya solar dinaikkan , dan dijual dipinggiran kota atau di pelabuhan untuk para nelayan. Di kota dijual biosolar/bio diesel.

Indonesia adalah negara maritim. Mengapa Indonesia yang lautnya lebih luas dari daratan terlalu cemas tentang polusi udara?

Pengusaha taksi diwajibkan mempunyai SPBU sendiri di pool mereka dan di tempat khusus pelayanan bagi taksi,  dioperasikan hanya oleh Pertamina. Dipasok  sementara dengan bensin Premium 88 dengan harga tetap seperti sekarang (Rp 6.500) dinaikkan setapak demi setapak dalam tempo setahun harga kemudian tanpa subsidi.

Bagi mobil jenis angkot bensin Premium 83 tidak bermasalah.Pengusaha bengkel kecil mungkin akan tumbuh di daerah  pinggiran. Kalau  kemudian masyarakat tetap menghendaki PREMIUM 88 ya ok , harga tanpa subsidi dan tanpa untung (at cost).


Ir. R. I. J. Soetopo
Eks Direktur Pembekalan Dalam Negeri di Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA