Adagium ini setidaknya medeskripsikan kepada kita tentang betapa besarnya kekuatan rakyat dalam menentukan sebuah pemimpin, dalam beberapa teori kepemiluan khususnya di Indonesia, prinsip dukungan mayoritas mutlak menjadi dasar utama pemilu di Indonesia.
Jika mengacu pada landasan konstitusional maka dasar hukum pelaksanaan pilpres di Indonesia diatur dalam pasal 6A ayat (1) (2) (3) (4) (5) khusus untuk presiden terpilih diatur dalam pasal 6A (3) dan (4).
Kedua pasal ini menyatakan bahwa (3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. (4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pemilu di Indonesia menganut prinsip
absolute majority (dukungan suara mayoritas mutlak) dengan presentasi 50 persen+1 dan 20 persen disetiap wilayah provinsi atau sekitar 17 Provinsi dan menggunakan prinsip two round system (pemilu dua putaran) artinya pasal 6A ayat (3) dan (4) ini hanya berlaku apabila pasangan calon presiden lebih dari 2 pasangan calon.
Lebih lanjut Pelaksanaan pemilu presiden dan wakil Presiden ini kemudian diatur dalam pengaturan tersendiri yakni dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Permasalahan besarnya adalah baik Konstitusi maupun Undang-Undang 42 tahun 2008 ini tidak mengatur lebih detail berkenaan dengan jumlah pasangan calon dalam pemilu.
Kisruh yang muncul saat ini berkenaan dengan tafsir pasal 159 ayat 1 adalah mengenai total perolehan suara yang diperoleh setiap pasangan calon, yakni 50 persen+1 perolehan suara secara nasional dan 20 persen di 17 wilayah provinsi. Konsekuensinya Jika ternyata tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara sebagaimana diamanahkan Undang-Undang maka harus mengikuti putaran kedua.
Di sinilah kemduian muncul beberapa perdebatan. Sebagaian berpendapat bahwa pemilu sebaiknya dilakukan satu putarannya saja dengan alasan penghematan dari sisi anggaran. Kedua, pemilu presiden harus tetap mengikuti amanah Undang-Undang yakni jika tidak terpenuhi ketentuan perolehan suara tersebut maka pemilu harus dilaksanakan dua putaran. Secara sederhana pasal 159 ayat (1) ini beretentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (1), karena pasal ini dianggap tidak memenuhi unsur kepastian hukum sebagaimana amanah pasal 28 D.
Jika kita analisis satu persatu pendapat diatas pastinya akan menemukan beberapa hal baik positif maupun negative. Pendapat pertama jika dilakukan jelas inkonstitusional artinya tidak aturan yang mengatur. Pendapat kedua bias saja dilaksanakan tetapi konsekuensi realistisnya masyarakat akan kembali memilih pasangan yang sama, pemborosan dari sisi anggaran bahkan jika dilaksanakan besar kemungkinan pilpres akan terjadi politik transaksional.
Dua alternatif serupa disampaikan KPU sebagai penyelenggara pemilu yakni pertama jika tidak terpenuhi maka akan dilakukan putaran kedua dengan pasangan calon yang sama. Kedua jika syarat suara mayoritas mutlak tidak terpenuhi maka perolehan suara terbanyak pertama menjadi presiden dan wakil presiden tetapi apapun keputusan KPU jika tidak dilandasi dengan kesepakatan dan penetapan maka keputusan ini bias saja digugat dikemudian hari
MK Sebagai Lembaga Penengah?Secara teoritis Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk menafsirkan undang-undnag terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Jika pasal 159 ayat (1) Undang-Undang 42 Tahun 2008 bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 maka MK wajib untuk memutuskannya. Tetapi apakah tepat kemudian Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang atau norma baru karena sifatnya adalah negative legislator (penghapus norma bukan pembuat norma) mengingat sebelumnya memang tidak pernah diatur tentang mekanisme pilpres dengan dua pasangan calon.
Perpu sebagai Solusi
Jika melihat hak Presiden sebagai pembuat Undang-undang maka kita sampailah pada sebuah solusi terahkir jika memang Mahkamah Konstitusi tidak memberikan tafsirnya. Salah satu hak presiden adalah mengeluarkan (menetapkan) Perpu (peraturan penganti Undag-Undang).
Presiden dapat saja mengeluarkan Perpu yang mengatur pelaksanaan pilpres dengan dua pasangan calon ini. Sehingga nantinya Pelaksanaan pilres 2014 ini dapat terselenggara dengan baik dan menjamin prinsip
fairness and equity dengan Perpu sebagai dasar hukumnya.
[***]
Syafri Hariansah S.H.M.H
Akademisi, Ketua Gerakan Pemuda Islam (GPII) Bangka Belitung dan Tim Assistensi Bawaslu Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
BERITA TERKAIT: