Kualitas Pemimpin : Periode Sekarang dan Sebelumnya

Selasa, 06 Mei 2014, 17:31 WIB
MENAKAR calon pemimpin negara yang akan menjabat di negeri ini tampaknya akan disematkan kepada pemimpin yang lebih memiliki popularitas belaka. Rakyat akan lebih memilih casing ketimbang kapasitas. Jika melihat kenyataan seperti itu maka secara kualitas, pemimpin sekarang mutunya akan di bawah pemimpin-pemimpin sebelumnya yang pernah menjabat di negeri ini, sebab era sebelumnya tak memandang popularitas melainkan kapasitas. Idealnya, terlepas dari kekurangan periode sebelumnya, maka periode kepemimpinan yang akan datang lebih baik lagi.

Politik jaman sekarang melihat figur bukan dari kapasitas melainkan dari popularitas. Apakah popularitas selaras dengan kapasitas? Tidak, sebab popularitas dapat diraih dengan berbagai cara, tanpa perlu memandang baik atau tidak, perlu ditiru atau tidak. Ada ulama mengatakan “Jika kamu ingin terkenal itu mudah, kencingi saja air zam-zam, maka kamu akan populer.” Sedangkan “kapasitas” merupakan proses alamiah dan ilmiah dimana seseorang telah memperoleh tempaan ujian alam pembentukan kepribadian, kecerdasan, wawasan, dan penguasaan ilmu pengetahuan.

Sudah menjadi rahasia umum, jika untuk mendongkrak popularitas dapat ditempuh dengan berbagai cara, menghalalkan segala cara. Orang bisa populer dengan cara negatif, merekayasa, membodohi, anti-sosial, publikasi media, politik uang, dan banyak cara untuk mempopulerkan diri.

Tentunya, pemimpin yang memiliki konsep, wawasan yang lebih, keteladanan, dan potensi yang bersifat kepribadian sepatutnya menjadi perhatian, terlebih bagi seorang calon pemimpin negara.
Kepala negara dituntut memiliki ilmu adiluhung, sebab ia akan mengelola negara dengan populasi 250 juta jiwa, serta memiliki wawasan global dalam percaturan politik dan diplomasi internasional. Memang, tugas tersebut dapat ditangani para staf ahli, namun pimpinan negara harus memiliki konsep jelas untuk membawa negeri ini ke arah kemajuan. Jika tidak, maka kehadirannya tak ubahnya sebagai boneka, yang menjadi eksploitasi kelompok yang memiliki ambisi, demikian juga dalam percaturan global maka pemimpin seperti itu akan menjadi sapi perah dan menjadi ladang eksploitasi globalisasi.

Nasib bangsa sekarang seperti ajang mencari peruntungan, memilih kucing dalam karung, sebuah spekulasi yang sangat beresiko, mungkin pemimpin kelak memiliki konsep sebagaimana mestinya, atau kosong melompong tanpa tahu konsep apa yang perlu dilaksanakan dimana pada akhirnya para pembisik itulah yang menuntun menuju kehancuran bangsa.

Rakyat tidak sepenuhnya dapat disalahkan, sebab mereka hanya mengikuti sistem pemilu. Kembali kepada pembuat kebijakan sebelumnya yang telah membuka demokratisasi di luar ambang batas. Namun pembuat kebijakan pun tak dapat disalahkan secara sporadis sebab berkaca dari era sebelumnya yang menjebak rakyat dalan kungkungan rezim yang represif.

Jika sebelumnya, rakyat dipenjara dalam sebuah rezim orde baru, kini rakyat benar-benar bebas tanpa rambu-rambu. Kini, semua simbol negara dapat dilanggar, orang-orang bebas berbuat apapun.

Ada anekdot, mau pilih mana: rakyat terpenjara tapi ekonomi cukup, atau rakyat bebas berbuat apapun tanpa takut kepada rambu-rambu sehingga negara berantakan.
Kaum cerdik pandai, jangan bersedih apabila presiden yang terpilih sekarang hanya bermodalkan popularitas semata maka ibaratkan ia (presiden) sebagai simbol belaka. Biarkan bangsa ini belajar, mencoba, melihat, dan mengevaluasi. Nasib negara ini secara alamiah dan secara ilmiah, tetap terletak di kalangan cendikiawan. Kedepannya, perlu konsepsi-konsepsi dari para cerdik pandai atas berbagai masalah yang sedang mendera bangsa.

H. Chairil A. Ajis, SH, MSi.
Vila Gading Indah Blok A2 No 8
Jl. Boulevard Gading Raya, Kelapa Gading Jakarta
HP 085 222 777 xxx



Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA