Namun perlu dicatat, demikian besarnya tanggung jawab tersebut, maka pembuatan film sejarah, khususnya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh bangsa, bukanlah pekerjaan mudah. Sebab harus mampu merepresentasikan secara utuh karakter tokoh yang difilmkan.
FilmÂ
Soekarno karya sutradara Hanung Bramantyo yang telah beredar merupakan salah satu contoh film yang tidak mampu merepresentasikan karakter figur Soekarno seutuhnya. Hal tersebut dapat dilihat dari, pertama, film tersebut kurang mampu mengangkat sisi ideologisnya Soekarno. Mulai dari mencetuskan ideologi Marhaenisme sampai puncaknya pada pidato 1 Juni 1945 Hari Lahir Pancasila.
Â
Kedua, film tersebut juga tidak mampu mengangkat sisi perjuangan Soekarno seperti momentum perjuangan selama kuliah sekaligus terjun di dunia pergerakan, melakukan pengorganisasian massa serta mendirikan PNI tahun 1927 pada saat berusia 26 tahun. Bukan menampilkan Soekarno sebagai kolaborator Jepang.
Ketiga, film tersebut juga tidak menampilkan proses intelektual Soekarno sehingga menjadi seorang pejuang dan orator ulung. Padahal ketekunan dan banyaknya buku yang dibaca Sukarno merupakan fondasi Sukarno menjadi seorang orator ulung yang seyogyanya ditampilkan dalam film tersebut. Sehingga menjadi pendidikan politik bagi anak bangsa.Â
Keempat, film tersebut juga tidak mengangkat sisi kerakyatan Sukarno. Padahal kedekatan Soekarno dengan rakyat khususnya rakyat kecil merupakan salah satu ciri khas Soekarno.
Kelima, film tersebut lebih menonjolkan persoalan pribadi dan keluarga Soekarno dan mengesampingkan sisi perjuangan seorang Soekarno yang sebenarnya berguna bagi generasi muda.
Dengan demikian kami berpendapat bahwa film tersebut belum merepresentasikan sosok Soekarno dan merupakan pembodohan terhadap anak bangsa khususnya generasi muda.
Bahkan, Hanung Bramantyo lewat karyanya tersebut, telah melecehkan Presiden dan DPR yang beberapa waktu yang lalu menetapkan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional. Karena film tersebut menciptakan karakter baru Soekarno yang tidak sesuai dengan karakter Soekarno yang menjadi pertimbangan bagi Presiden SBY dalam mengeluarkan Keputusan Presiden 83/2012 tentang penetapan Bung Karno sebagai Pahlawan Nasional dan kriteria-kriteria pahlawan nasional yang ditetapkan oleh DPR bersama presiden lewat UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Seharusnya kedua aturan tersebut juga menjadi rujukan bagi Hanung Bramantyo dalam membuat film
Soekarno.
Film tersebut juga telah melanggar UU 33/2009 tentang Perfilman, khususnya Pasal 6 poin c yang melarang kegiatan perfilman dan usaha perfilman mengandung isi yang memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok. Sehingga film tersebut harus segera ditarik dan dilarang beredar.
[***]
Twedy Noviady Ginting
Ketua Presidium GMNI
BERITA TERKAIT: