Saya dan Partai saya, Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) pada tahun 2001, adalah satu satunya Partai dan Fraksi (Fraksi PDKB) di DPR RI, yang menolak ditetapkannya RUU Migas menjadi UU Migas.
Saya dan fraksi saya , Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa berkeyakinan, pada RUU Migas itu banyak Pasal-Pasal yang bertententangan dengan UUD 1945 karenanya kami mengambil sikap menolak ditetapkannya RUU tersebut menjadi UU.
Dan karena hanya PDKB sebagai satu satunya partai yang menolak penetapan RUU Migas menjadi UU Migas dan kami kalah suara. Maka penolakan partai kami hanya ditampung dan dinyatakan dalam meinderheit nota.
Partai di DPR RI waktu itu antara lain adalah PDIP, Golkar, Partai Keadilan, PBB, PAN, PKB.
Pada tahun 2001 itu, saya sudah meyakini bahwa Pasal tentang keberadaan BP Migas , bertentangan dengan UUD. Saya juga meyakini keberadaan BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Migas), sebaiknya dihapus dari RUU Migas dan dikembalikan saja ke Departemen ESDM (sebelum menjadi kementerian).
Yang juga menjadi sangat aneh bagi kami, ketika itu Tahun 2001, draft RUU Migas disampaikan ke DPR RI oleh Pemerintah, tidak ada kajian akademis. Padahal setiap draft RUU selalu disertai kajian akademis. Jadi ini merupakan hal yang teramat janggal buat kami waktu itu.
Pasca dibuabarkannya BP Migas dan dibentuknya Satuan Kerja Migas oleh Pemerintah sebagai pengganti peran sementara BP Migas, itu sudah tepat dan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat jelas mengetahui bahwa Putusan MK hanya membatalkan atau menghapus Pasal pasal pada UU Migas terkait dengan keberadaan Badan Pengatur Migas saja, tetapi tidak tentang Pasal pasal yang berkaitan dengan tatacara dan atau pasal pasal yang mengatur tentang keberadaan KKKS dan tata cara pelaksanaan eksploitasi eksplorasi migas.
Jadi sepanjang SK Migas melakukan fungsinya dengan juga mengacu kepada pasal pasal yang ada dalam UU Migas yang pada dasarnya masih berlaku, maka keberadaan SK Migas tidak perlu dipermasalahkan atau dikhawatirkan.
Saya meyakini investor atau para KKKS sudah memahami hal ini dan bisa menerima kehadiran SK Migas sampai ditetapkannya Badan yang mengatur Hulu migas ini yang dilahirkan dengan UU Migas yang mengatur khusus tentang itu.
Terkait adanya pendapat elit masyarakat dan elit politik agar segera dibentuk Badan Pengganti BP Migas yang tidak langsung di ketuai oleh Pemerintah atau Menteri ESDM, saya berpendapat, Badan yang mengatur tentang Hulu Migas tidak bisa lepas dari kendali dan kontrol Pemerintah dan ini sudah diamanatkan dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 khususnya pada Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) bahwa Migas merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara dan Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan.
Pasal tentang ini masih berlaku karena tidak dihapus oleh MK nah Pasal ini jelas menjadi dasar hukum bahwa Pemerintah harus berada didepan dan harus berperan besar dalam kegiatan Hulu Migas.
Adanya kecurigaan beberapa pihak akan adanya kepentingan pihak tertentu terhadap keberadaan SK Migas, saya berpendapat, sepanjang sistem dan pengawasan terhadap badan apapun dibuat yang terbaik dan komprenhensif, maka semua kecurigaan bisa dihilangkan.
Jika perlu minta petugas KPK atau BPK aktif duduk mengawasi kerja SK Migas atau Badan pengganti ini nantinya.
Saya menyarankan agar SK Migas dan kementerian ESDM memperkuat tim hukum nya ketika membuat perjanjian dengan KKKS sehingga SK Migas dan atau Pemerintah dapat terhindar maksimal dari masalah hukum yang
Mengingat Pemilu dan Pilpres 2014, pelaksanaannya tinggal kurang lebih 1,5 tahun lagi, maka sebaiknya revisi UU Migas dilakukan setelah Pemilu dan Pilpres saja agar revisi UU Migas bisa dibuat secara tenang, jernih dan lepas dari "kepentingan" pihak manapun juga jelang pemilu dan pilpres 2014. Ini kan lebih baik dan diterima oleh Rakyat banyak.
Jakarta, 10 Desember 2012
Prof. DR. Ing. Tunggul K. Sirait
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: