Kebijakan Prabowo Bukan Sekadar Tambang, tapi Soal Kedaulatan Ekonomi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-kiflan-wakik-1'>AHMAD KIFLAN WAKIK</a>
LAPORAN: AHMAD KIFLAN WAKIK
  • Senin, 06 Oktober 2025, 18:06 WIB
Kebijakan Prabowo Bukan Sekadar Tambang, tapi Soal Kedaulatan Ekonomi
Presiden Prabowo Subianto di Smelter PT Tinindo Internusa, Kota Pangkal Pinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. (Foto: Sekretariat Presiden)
rmol news logo Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam menertibkan enam smelter ilegal di Bangka Belitung bukan sekadar penegakan hukum, tetapi koreksi arah kebijakan ekonomi sumber daya nasional menuju kedaulatan yang berkeadilan

Bahkan, kata Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, langkah tersebut adalah momentum untuk mengakhiri era kebocoran nilai dari sumber daya alam.

"Ini bukan semata urusan tambang, tapi soal kedaulatan ekonomi," ujar Fakhrul kepada wartawan di Jakarta, Senin 6 Oktober 2025.

Menurut Fakhrul, lebih dari 90 persen cadangan timah dan logam tanah jarang (LTJ) Indonesia berada di Bangka Belitung, dan selama bertahun-tahun negara kehilangan potensi penerimaan triliunan rupiah akibat praktik tambang ilegal dan tata kelola yang lemah.

"Kerugian ini bukan hanya soal uang, tapi cermin dari institusi ekonomi yang kehilangan daya kontrol. Dengan penertiban ini, pemerintah sedang mengembalikan trust premium terhadap negara," jelasnya.

Namun, Fakhrul mengingatkan bahwa kedaulatan tanpa efisiensi dapat berubah menjadi nasionalisme yang mahal, jika pengelolaan nantinya tidak dilaksanakan secara tepat guna dan efisien. 

Ia menekankan pentingnya pemerintah memastikan agar aset yang disita dapat dikelola secara produktif dan transparan, bukan sekadar dipindahkan dari tangan swasta ke tangan negara tanpa perubahan tata kelola.

Ketika smelter ilegal disita dan dikelola oleh BUMN, kata dia, tantangannya bukan hanya soal legalitas, tapi soal kemampuan menciptakan value chain yang produktif.

Oleh karena itu, sambungnya, langkah pemerintah harus disertai dengan kebijakan industrial berbasis produktivitas atau bukan hanya proteksi.

Berikutnya, konsolidasi antara PT Timah, lembaga riset, dan universitas, agar hilirisasi logam tanah jarang tidak hanya berbentuk lelehan logam, tapi juga knowledge capital.

Serta kemitraan publik-swasta (PPP) yang disiplin dan akuntabel, dengan governance metrics yang dapat diaudit publik.

“Tanah jarang adalah industri teknologi tinggi. Kalau tidak disertai riset, inovasi, dan tata kelola yang transparan, kita berisiko hanya mengganti pelaku tanpa memperbaiki sistem,” demikian Fakhrul.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA