AKSI: Jangan Ciptakan Tafsir Tunggal Terhadap Sejarah Indonesia!

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Senin, 19 Mei 2025, 21:45 WIB
AKSI: Jangan Ciptakan Tafsir Tunggal Terhadap Sejarah Indonesia<i>!</i>
Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) Marzuki Darusman di di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin, 19 Mei 2025/RMOL
rmol news logo Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) secara resmi menyampaikan penolakan terhadap proyek penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia yang saat ini dikerjakan oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).

Aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, tokoh masyarakat, dan akademisi dari berbagai disiplin ilmu. Mereka menilai program yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon berpotensi menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan menutup peluang diskusi tentang masa lalu bangsa secara demokratis.

“Ini mendapat dukungan cukup luas masyarakat tentang kecemasan mengenai proyek penulisan ulang sejarah yang diumumkan oleh pemerintah beberapa waktu yang lalu karena itu mempunyai implikasi untuk menciptakan tafsir tunggal terhadap sejarah,” kata Ketua AKSI, Marzuki Darusman, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin, 19 Mei 2025. 

“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba dimana pelanggaran HAM berat masif terjadi,” sambungnya.

Sementara itu, sejarawan Asvi Warman Adam menuturkan, Proyek ambisius penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan ini juga tidak memenuhi kaidah sebagai suatu produksi ilmu pengetahuan sejarah. Proyek ini hanya menghasilkan penggelapan sejarah bangsa. 

Penyebarluasannya akan berdampak luas bagi kesalahan berpikir generasi muda dan akan merugikan kelanjutan kehidupan berbangsa dan bernegara  ke depan.

“Sejarah bukanlah monumen tunggal yang bisa dipahat oleh satu kekuasaan, dihasilkan dari suatu proyek politik, yang diragukan akuntabilitas dan kredibilitas metodenya,” kata Asvi.

Asvi menilai kerangka konsep yang disusun oleh tiga editor umum dalam proyek ini sudah memenuhi kriteria yang diungkapkan oleh Anton Debaets dalam bukunya "Responsible History", yang membahas tentang rekayasa dan penyalahgunaan sejarah.

“Kami menilai apa yang dilakukan Kementerian Kebudayaan ini sebagai bagian dari manipulasi sejarah. Kami melihat bahwa dalam kerangka konsep tersebut sudah ada unsur-unsur penyalahgunaan sejarah yang menurut Anton Debaets disebutkan sebagai rekayasa sejarah,” ujar Asvi.

Menurut Asvi, penggunaan istilah "sejarah resmi" dalam proyek ini sangat tidak tepat. Ia mengingatkan bahwa pada era Orde Baru, pemerintah juga pernah mengeluarkan "sejarah resmi" untuk menggambarkan pandangan positif terhadap rezim, sementara menghilangkan sisi-sisi yang dianggap merugikan. 

“Di masa Orde Baru, sejarah resmi pernah diterbitkan, seperti buku tentang Pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1995 dan risalah sidang BPUPK dan PPKI. Sejarah resmi itu bertujuan untuk mengagungkan rezim dan menghapus hal-hal yang tidak menguntungkan bagi mereka,” jelasnya.

Asvi juga menyoroti beberapa contoh dalam proyek penulisan sejarah yang dianggap berbahaya, khususnya dalam cara rezim Orde Baru digambarkan secara berlebihan sebagai pencapaian besar. 

Ia pun mengkritik penghilangan banyak peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, seperti Konferensi Asia Afrika 1955 yang memberi dampak internasional, serta penyelenggaraan Asian Games 1962 yang diabaikan.

“Sejarah mengenai Konferensi Asia Afrika yang membawa nama baik Indonesia, serta Asian Games 1962 yang berhasil kita selenggarakan, itu tidak disebutkan dalam proyek ini. Padahal, konferensi tersebut memberi inspirasi bagi banyak negara di Asia dan Afrika,” ungkap Asvi.

Lebih lanjut, Asvi menilai bahwa proyek ini juga mengabaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru dan Reformasi. 

“Ke-12 pelanggaran HAM berat yang sudah diakui negara dan disesalkan oleh Presiden Joko Widodo, itu juga tidak dibahas secara tuntas dalam buku ini. Ini sebuah penghindaran terhadap kenyataan sejarah yang harusnya dijelaskan dengan jelas,” tegasnya.

Asvi kembali menegaskan bahwa proyek ini merupakan bagian dari manipulasi sejarah, yang dapat merugikan pemahaman masyarakat terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. 

“Kami menolak proyek ini karena ini adalah upaya manipulasi sejarah. Sejarah harus disajikan secara objektif dan tidak dipengaruhi kepentingan politik,” ujar Asvi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang juga merupakan anggota AKSI mengatakan, sejarah adalah milik publik termasuk para korban pelanggaran HAM. Mereka berhak untuk mencari, menafsirkan dan memaknainya secara merdeka tanpa campur tangan negara.

Label ‘sejarah resmi’ hanya akan melahirkan  ideologi dogmatisme dan menutup pintu bagi interpretasi yang beragam dan dinamis di masyarakat.

Penulisan ulang sejarah oleh negara merupakan upaya rekonstruksi dengan tujuan kultus individu dan glorifikasi masa lalu yang berlebihan. Kebijakan semacam ini berpotensi menghilangkan peristiwa dan ketokohan yang tidak cocok dengan kepentingan kekuasaan.

“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” kata Usman.

Dalam RDPU dipimpin oleh Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian (F-Golkar), hadir sejumlah anggota Komisi X DPR antara lain: Bonny Tryana (F-PDIP), Nilam Sari (F-NasDem), My Esti Wijayanti, Mercy Chriesty (F-PDIP) dan anggota Komisi X lainnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA