Demikian dikatakan praktisi hukum Fajar Santoso dalam Seminar Nasional bertajuk "Urgensi RUU Kejaksaan dan RKUHAP: Menata Ulang Kewenangan atau Memperkuat Arogansi Penegak Hukum?" di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Jumat 14 Februari 2025.
"Bukannya membenahi substansi yang bermasalah dalam UU Kejaksaan, pemerintah malah melanggengkan
abuse of power Kejaksaan dalam RKUHAP," kata Fajar dikutip Sabtu 15 Februari 2025.
Fajar menjelaskan, RUU KUHAP ini juga mengatur tentang kekebalan hukum bagi jaksa dalam melaksanakan tugasnya dan dianggap berpotensi melindungi jaksa yang melakukan pelanggaran hukum.
"Ini dapat membuat jaksa merasa kebal terhadap hukum dan tidak bertanggung jawab atas tindakan yang mereka lakukan," kata Fajar.
Meski begitu, Fajar menekankan perlunya pembaruan hukum acara pidana setelah 44 tahun berlakunya KUHAP lama, mengingat sistem hukum saat ini sudah tidak efektif.
Aktivis mahasiswa Muammar Shidiq mengatakan, perubahan kebijakan hukum harus tetap berpihak pada masyarakat serta menjamin
due process of law dalam setiap tahapan peradilan pidana.
Menurutnya, bukan hanya rancangan undang-undang saja yang direvisi, melainkan juga pada penegak hukumnya perlu dan harus sesuai dengan moralitas budaya ketimuran.
Ia juga mempertanyakan RKUHAP asas
dominus litis yang memberikan kewenangan penuh kepada jaksa untuk menentukan kelanjutan suatu perkara pidana.
"Hal ini dikhawatirkan dapat menghilangkan peran penyidik dan membuka peluang terjadinya intervensi dalam proses hukum," kata Muamar.
Dekan Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, Prof Sudirman mengatakan, diskusi kritis mengenai RUU Kejaksaan dan RKUHAP sangat penting karena menyangkut sistem perundang-undangan yang berpotensi merugikan banyak pihak.
"Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran strategis dalam mengawal kebijakan hukum agar tetap berpihak pada keadilan dan kepentingan rakyat," kata Sudirman.
BERITA TERKAIT: