Anggota Presidium Indonesia, Ubedillah Badrun, menuturkan, dengan adanya kasus kekerasan di tahun politik, menandakan Indonesia dalam keadaan darurat demokrasi dan brutalitas politik.
“Bangsa Indonesia memasuki periode darurat brutalitas politik, ditandai peristiwa di Klaten dan Boyolali, tindak kekerasan yang sangat tidak bisa diterima siapapun. Dari peristiwa itu, satu orang meninggal dunia dan empat luka berat,” kata Ubedillah Badrun, saat jumpa pers di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (31/12).
Sebab itu Presidium Indonesia menyatakan sikap dan mendesak pemerintah agar tidak melakukan tindakan represif kepada masyarakat sipil.
“Kami mengutuk, tindakan kekerasan dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan di negara hukum dan demokrasi,” bunyi pernyataan sikap Presidium Indonesia.
Aparat penegak hukum didesak segera mengusut tuntas peristiwa itu.
“Dalam rangka konsolidasi demokrasi dan semangat reformasi, kasus itu harus ditindaklanjuti oleh pengadilan militer, karena pelakunya aparat TNI berpakaian sipil. Begitu juga Komnas HAM, karena ada dugaan pelanggaran HAM pada peristiwa kekerasan itu,” bunyi poin lainnya.
Presidium Indonesia juga mengingatkan agar aparat TNI/Polri bersikap netral pada seluruh proses pemilihan umum, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jika kasus itu tidak dituntaskan, kami mendesak Panglima TNI, KSAD, Pangdam IV Diponegoro, Danrem serta Dandim, agar memegang teguh kode etik TNI, dengan cara mengundurkan diri dari jabatan, sebagai tanda kesungguhan TNI membenahi institusi, dan menjadi peringatan keras untuk seluruh jajaran TNI,” demikian poin lainnya.
Presidium Indonesia terdiri dari sejumlah akademisi, seperti Ubedillah Badrun, Ari FKPPI, Beni Rhamdani, Firman Tendry Masengi, Joshua Napitupulu, dan Buya Azwar Furgudyama.
BERITA TERKAIT: