Pengesahan itu diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-10 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2023-2024, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, pada hari ini Selasa (5/12).
Awalnya, Wakil Ketua Komisi I DPR RI dari Fraksi PKS Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan laporan mengenai proses pembahasan RUU ITE.
Kharis mengatakan, Komisi I DPR tetap mengutamakan unsur masyarakat dalam proses pembahasan yang ditandai dengan rapat dengar pendapat (RDP) bersama para ahli terkait ITE.
Dia menyebut Panja perubahan RUU kedua atas UU ITE, telah menyelenggarakan rapat sebanyak 14 kali guna membahas seluruh substansi dan usulan baru atas pasal pasal RUU ITE serta penjelasan umum.
Selain itu, lanjut legislator Fraksi PKS ini, rapat pengambilan keputusan tingkat 1 juga menyepakati 24 perubahan substansi dalam revisi UU ITE. Perubahan itu kemudian diatur dalam sejumlah pasal yang turut mengatur ancaman sanksi dan pidana bagi pelanggar UU ITE.
"Terhadap seluruh substansi yang dimaksud dan ditambah dengan penjelasan pasal per pasal telah dilakukan penyempurnaan teknis penulisan perundang-undangan dan kaidah bahasa Indonesia yang baik," kata Kharis.
Seusai Kharis memberikan laporan, Wakil Ketua DPR Lodewijk F. Paulus yang memimpin rapat paripurna menanyakan kepada seluruh anggota DPR yang hadir untuk mengerahkan revisi UU ITE tersebut.
"Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?" ucap Lodewijk.
"Setujuuu," jawab anggota DPR yang hadir di Rapat Paripurna DPR, dan diikuti ketukan palu sidang oleh Lodewijk tanda UU ITE disahkan.
Sebelumnya, tuntutan untuk merevisi UU ITE mengalir di tengah masyarakat. UU ini dianggap membatasi kebebasan berekspresi dalam konteks negara demokrasi.
UU ITE juga kerap dipakai penguasa untuk menjerat pihak yang mengkritik pemerintah. Beberapa aktivis pernah dijerat dengan UU ini saat mengkritik rezim.
Oleh karena itu, salah satu pasal yang mendapat perubahan adalah pasal 27 yang dianggap sebagian orang sebagai pasal "karet", karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan dipakai untuk menjerat dengan alasan pencemaran nama baik.
Pasal 27 pada UU ITE mengatur tentang distribusi atau produksi informasi atau dokumen di ruang digital. Pasal itu melarang muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan pencemaran nama baik, serta pengancaman.
Berikut bunyi pasal 27 UU ITE yang telah direvisi:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
Berikut bunyi Pasal 27 ayat 3 dan 4 sebelum direvisi:
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Revisi kedua UU ITE mengubah kedua ayat tersebut, dan digantikan dengan pasal 27A dan pasal 27B.
Berikut bunyi pasal 27A:
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
BERITA TERKAIT: