Di Indonesia, baik TNI, Polri, maupun lembaga terkait perlu memikirkan penyusunan model baru strategi keamanan negara mengingat dimensi keamanan global mengalami perluasan yang signifikan.
Hal tersebut dipaparkan Prof R Widya Setiabudi Sumadinata dalam orasi ilmiah penerimaan jabatan Guru Besar bidang Keamanan Global pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Padjadjaran di Graha Sanusi Hardjadinata, Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Selasa (24/10).
Orasi ilmiah Prof Widya mengangkat judul “
Perluasan Dimensi Keamanan Global: Keharusan Revisi Strategi Pertahanan Negara.”
Dalam orasinya, Prof Widya memaparkan, keamanan internasional atau
international security yang mengandaikan potensi ancaman setiap negara berasal dari negara lain telah berkembang menjadi
global security atau keamanan global.
Perkembangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa potensi ancaman tidak hanya berasal dari aktor negara (
state-actors), melainkan juga dari aktor non negara (
non state-actors).
Salah satu contohnya adalah serangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001 silam. Dalam peristiwa itu, kelompok teroris yang merupakan aktor non-negara menjadi ancaman nyata. Begitu juga dengan aksi kelompok
hacker yang belakangan kerap menjadi tema utama pemberitaan media.
Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran yang sangat signifikan dari pemahaman keamanan tradisional menjadi pemahaman keamanan non-tradisional.
Dalam kaitannya dengan perkembangan baru ini, Dekan FISIP Unpad ini mengutip pakar studi keamanan dari kelompok pemikiran Copenhagen School, Barry Buzan, yang mengatakan bahwa ada lima hal yang mempengaruhi perkembangan studi keamanan itu.
Kelimanya adalah
great power politics, technology, event, institutionalization, dan
academic debate.
Beberapa waktu belakangan ini, dunia tengah menyaksikan dan mengalami perkembangan teknologi siber luar biasa yang pada gilirannya ikut andil dalam ketegangan di arena politik global.
“Teknologi siber sangat menentukan dalam strategi peperangan masa kini,” ujarnya menyinggung keterlibatan
hacker Rusia dalam perang antara Israel dengan kelompok militer Palestina, Hamas.
Kelompok
hacker Rusia disebutkan membantu Hamas memantau warga sipil dan petinggi militer Israel. Sementara sebaliknya, Israel juga melancarkan serangan terhadap Hamas dan institusi lain yang memiliki afiliasi dengannya.
Prof Widya juga mengutip laporan Amnesty International yang melaporkan penggunaan teknologi oleh Israel yang diberi nama Red Wolf berkemampuan memindai dan menandai warga Palestina yang melintasi perbatasan.
Perkembangan teknologi siber lainnya juga telah diaplikasikan pada apa yang disebut sebagai
deep fake, di mana suara dan gambar dapat direkayasa sehingga tampak seperti sungguhan.
“Bisa dibayangkan bagaimana jika teknologi ini disalahgunakan untuk menyebarkan berita bohong, fitnah, mengadu domba? Dalam kultur masyarakat kita yang haus berita, sementara literasi informasi kurang, teknologi
deep fake akan sangat mudah dianggap sebagai sebuah realita objektif atau sebuah kebenaran,” jelasnya.
Prof Widya lantas menggarisbawahi gagasan Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto baru-baru ini tentang pembentukan matra keempat dalam tubuh TNI yang disebut sebagai “angkatan siber”.
Melihat perkembangan teknologi siber yang sudah sedemikian rupa, dirinya sependapat dengan gagasan yang sudah diterapkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapura, dan China.
Namun sebelum diwujudkan, ia memberi catatan dalam pembentukan lembaga tersebut. Misalnya, apakah di bawah TNI atau di bawah institusi sipil.
Juga perlu dipikirkan dengan matang mengenai keterkaitan lembaga yang diusulkan itu dengan lembaga lain yang memiliki ide agak serupa, seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
BERITA TERKAIT: