Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bisa Kembali ke Rezim Otoriter, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Revisi UU TNI Ditinjau Ulang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/idham-anhari-1'>IDHAM ANHARI</a>
LAPORAN: IDHAM ANHARI
  • Rabu, 10 Mei 2023, 16:17 WIB
Bisa Kembali ke Rezim Otoriter, Koalisi Masyarakat Sipil Minta Revisi UU TNI Ditinjau Ulang
Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Net
rmol news logo Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta agar Pemerintah meninjau ulang revisi terhadap UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan itu sendiri tergabung dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta.

"Kami menandang pemerintah sebaiknya meninjau ulang agenda revisi UU TNI, mengingat hal ini bukan merupakan agenda yang urgen untuk dilakukan saat ini," kata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (10/5).

Centra Initiative, Al Araf menyebut bahwa, berdasarkan draft yang ada, pihaknya menilai terdapat beberapa usulan perubahan UU TNI yang membahayakan kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM.

Al Araf menyebut, perluasan fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan negara. Revisi UU TNI yang memasukan fungsi TNI bukan hanya sebagai alat pertahanan negara tetapi juga keamanan negara adalah hal yang keliru.

"Di negara demokrasi fungsi Militer adalah sebagai alat pertahanan negara yang dipersiapkan, dididik dan dilatih untuk perang. Oleh karena itu meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai mereka sebagai ancaman keamanan negara," ucapnya.

"Penambahan fungsi militer sebagai alat keamanan negara sama saja memberikan cek kosong untuk militer dapat masuk dalam menjaga keamanan dalam negeri. Hal ini akan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM dan mengembalikan format dan fungsi militer seperti di masa rezim otoriter orde baru," tambahnya.

Lalu, menurut Al Araf, pencabutan kewenangan Presiden untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI. Ketentuan tentang kewenangan Presiden tersebut seharusnya tetap dipertahankan dan tidak boleh dicabut di dalam UU TNI sebagai regulasi organik yang mengatur tentang TNI.

Pasal 10 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Hasil Amandemen menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Dalam kedududkannya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi angkatan bersenjata, Pasal 14 UU No 3/2022 tentang Pertahanan Negara menegaskan Presiden berwenang dan bertanggungjawab atas pengerahan kekuatan TNI

"Dengan dihapusnya kewenangan pengerahan dan penggunaan TNI oleh Presiden di dalam UU TNI, hal ini menjadi berbahaya karena akan menempatkan pengerahan dan penggunaan TNI di luar persetujuan dan kontrol Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan,” beber Al Araf.

Dan yang akan timbul nantinya, fungsi TNI kembali seperti di masa lalu dimana TNI dapat bergerak dalam menghadapai masalah keamanan dalam negeri dengan dalih operasi militer selain perang tanpa melalui keputusan presiden.

“Hal ini tentu melanggar prinsip supremasi sipil sebagai prinsip dasar dalam negara demokrasi dalam menata hubungan sipil-militer yang demokratis," sambungnya. rmol news logo article


EDITOR: IDHAM ANHARI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA