Ekonom senior Rizal Ramli mengatakan bahwa, apa yang disampaikan Firli Bahuri benar. Menuru Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ini, dengan ambang batas pencalonan yang tinggi membuat demokrasi Indonesia menjadi kriminal.
Istilah ini digunakan Rizal lantaran siapa pun yang ingin memimpin negeri ini harus membayar "upeti" lebih dulu kepada parpol agar bisa dicalonkan.
“Wow tulisan Ketua KPK Firli top markotop. Mari kita ubah demokrasi kriminal menjadi demokrasi bersih dan amanah. Baru demokrasi akan bekerja untuk rakyat dan bangsa, bukan untuk bandar,†kata Rizal melalui akun Twitternya, Selasa malam (14/12).
Firli sebelumnya menuangkan pokok pikirannya dalam sebuah tulisan. Dalam tulisannya yang diberi judul “Pemberantasan Korupsi Harus dari Huluâ€, komandan pemberantasan korupsi itu menyampaikan, banyak kepala daerah akhirnya melakukan korupsi karena tersandera dengan donatur atau “bohir politikâ€.
Hal ini karena biaya politik mahal akibat diterapkannya Presidential Threshold 20 persen.
“Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang akan ada misi “balik modal†kata Firli dalam tulisannya yang diterima
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (14/12).
Fakta data KPK terakhir, 82,3 persen calon kepala daerah menyatakan adanya donator dalam pendanaan pilkada mereka. Data KPK menemukan banyak bentuk balas budi pada donator pilkada.
Salah satunya, 95,4 persen balas budi pada donatur akan berbentuk meminta kemudahan perijinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa).
Lebih menariknya, kesadaran dan informasi ini didapat KPK dari mereka sendiri para gubernur, kepala daerah dan legislatif. Mereka semua menyadari, dorongan korupsi akan sangat tinggi jika biaya politik sangat mahal.
“Prinsip balik modal dan balas budi pada donator membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi yang korup, karena dari mana lagi mereka mencari pengganti itu kalau bukan dari kas negara,†pungkas Firli.
BERITA TERKAIT: