Merespons pernyataan politik AHY, Direktur Eksekutif Romeo Strategic Research & Consulting (RSRC) menyatakan, hal itu mengindikasikan adanya penggunaan strategi klasik yang mencoba melemahkan rival dengan memecah belah soliditas kekuatan lawan.
“Jika benar apa yang dialami Demokrat itu dilakukan oleh oknum di lingkaran kekuasaan, sejatinya hal itu hanyalah pengulangan strategi klasik untuk melemahkan rival," kata Umam kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Senin (1/2).
Umam menganalisa, mayoritas partai pro pemerintah tergolong solid dan tidak ada yang mengalami faksionalisme yang cukup serius.
Sementara itu, hampir semua kekuatan partai non-pemerintah saat ini mengalami faksionalisme internal. Apalagi, PAN telah pecah, dimana sempalannya sudah menjadi Partai Ummat.
PKS yang konsisten menjadi oposisi sejak awal pemerintahan Jokowi juga sudah pecah menjadi Partai Gelora. Sementara Partai Demokrat hingga saat inimasih solid.
“Kalau melihat tren kenaikan elektabilitas Demokrat yang terus menggeliat, bisa dipahami kalau ada the invisible hand yang berusaha mengacak-acak kekuatannyaâ€, kata alumni University of Queensland, Australia tersebut.
Umam melanjutkan, secara teori, faksionalisme itu bisa disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Jika benar apa yang disampaikan AHY itu benar, maka langkah itu sejatinya merendahkan demokrasi.
“Banyak kalangan civil society menilai bahwa kekuatan oposisi dan masyarakat sipil yang kritis, telah digembosi dan akhirnya terfragmentasi," demikian analisa Umam.
Karena itu, Umam menyarankan agar Presiden Joko Widodo mampu mendorong agar demokrasi di Indonesia tetap sehat.
“Presiden harus bersikap tegas kepada oknum di sekitarnya yang bermain-main dan mengacak-acak lawan politiknyaâ€, katanya.
Umam melanjutkan, langkah semacam itu adalah strategi lama para diktator yang tidak tahan menghadapi krisisme lawannya.
“Presiden (Jokowi) perlu tertibkan orang-orang di sekitarnya yang melemahkan kualitas demokrasi," katanya.
BERITA TERKAIT: