Hal itu disampaikan oleh peneliti sejarah Batara Richard Hutagalung bertepatan dengan hari berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949.
"Ya Pemerintah Belanda sampai detik ini tidak mau mengakui
de jure kemerdekaan RI 17 Agustus 1945," ujar Batara kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (27/12).
Ia menceritakan, Menteri Luar Negeri (Menlu) Belanda saat itu, Ben Bot pernah datang ke Indonesia pada 16 Agustus 2005 dan hanya menyampaikan secara lisan bahwa pemerintah Belanda menerima proklamasi 17 Agustus 1945 secara moral dan politis.
"Tetapi tidak secara yuridis atau hukum internasional. Ini perlu diluruskan, karena justru pihak-pihak yang harusnya berkompeten menyosialisasikan hal ini justru memberikan informasi yang salah," terang Batara.
Misalnya, kata Batara, adanya acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 28 Februari 2019 berjudul "70 Tahun Pengakuan Kedaulatan Indonesia".
"Saya katakan judulnya sudah salah. Saya jelaskan, yang terjadi pada 27 Desember 1949 bukan pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia, tetapi pemindahan kedaulatan atau kewenangan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS), bukan kepada RI," jelas Batara.
Batara pun turut mengomentari terkait buku "Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI" yang menggunakan anggaran sebesar Rp 1 triliun per tahun. Dalam buku tersebut, terdapat banyak kesalahan pada penulisan sejarah, khususnya mengenai pengakuan kedaulatan Indonesia.
"Di halaman 163, perjanjian Linggarjati pada 25 Maret, Perjanjian Renville 8 Desember, Konferensi Meja Bundar 23 Agustus dan puncaknya pada 27 Desember 1949. Akhirnya, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia dengan syarat harus berbentuk negara serikat. Ini ngarang darimana? Ini halaman 164 yang paling ngawur," tegas Batara.
Hal itu menjadi salah satu contoh yang perlu diluruskan terkait pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia. Sebab hingga kini, Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 secara
de jure.
Batara menyebut bahwa peristiwa 16 Agustus 2005, yaitu kedatangan Menlu Belanda ke Indonesia juga bukan sebagai pengakuan kedaulatan RI 17 Agustus 1945 secara
de jure.
Saat itu, Menlu Belanda datang ke Indonesia hanya menyampaikan secara lisan menerima aspek Proklamasi Kemerdekaan secara politis dan moral, namun tidak secara yuridis. Sehari sebelumnya, tanggal 15 Agustus 2005 di Den Haag, Menlu Belanda menyatakan bahwa pemerintah Belanda akan menerima
de facto.
"Jadi sangat aneh, bahwa setelah 60 tahun Republik Indonesia, Belanda baru menerima secara
de facto, itu pun lisan," ungkap Batara.
"Katanya akan diberikan tertulis, tapi sudah 15 tahun tetap tidak ada diturunkan atau disampaikan pernyataan tertulis, walaupun itu sangat janggal," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: