Media asing menyoroti keputusan Indonesia untuk melanjutkan pemungutan suara regional yang dinilai memicu penyebaran virus
Straitstimes menulis, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berada dalam dilema ketika dia harus memutuskan apakah akan mengadakan pilkada di tengah pandemi virus corona.
Selama berbulan-bulan, para kritikus menekannya untuk menunda pemilihan yang dalam rencana seharusnya berlangsung pada 23 September. Setelah penundaan selama tiga bulan, Jokowi kemudian menyetujui Pilkada dilakukan pada Rabu 9 Desember.
Sementara angka kasus virus corona di Indonesia semakin tinggi. Indonesia menjadi negara terparah di Asia Tenggara dengan lebih dari 575.000 kasus dan 17.740 kematian, per Minggu (6/12), menurut data otoritas kesehatan.
Pemerintahan Jokowi memandang Pilkada tidak mungkin ditunda lagi, sebab penundaan yang berlarut-larut akan mengingkari hak konstitusional rakyat untuk memilih pemimpinnya dan akan menciptakan kekosongan kekuasaan di daerah, seperti yang dilaporkan Straitstimes.
Pemilihan ini dianggap penting melihat dampak pandemi Covid-19 yang signifikan, pemerintah berharap 270 kepala daerah terpilih dapat melaksanakan inisiatif strategis di daerahnya masing-masing untuk merespon wabah ini agar segera pulih dari pandemi.
Ini merupakan Pilkada gelombang terakhir pilkada serentak sebelum Pemilu 2024, sehingga Pemilu kali ini dipandang sebagai investasi untuk menggalang dukungan bagi parpol di daerah menjelang Pemilu mendatang.
Lalu, kerangka hukum baru apa yang diperkenalkan untuk mengadakan pemilihan selama pandemi Covid-19?
International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam laman resminya mengatakan, bahwa Pemerintah Indonesia sebelumnya telah mengumumkan darurat kesehatan, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan keputusan penghentian semua kegiatan pemilu yang sedang berlangsung mulai 29 Februari 2020.
Kemudin dalam rapat pada 30 Maret, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan badan penyelenggara pemilu (EMB) juga memutuskan untuk menunda tahapan persiapan pemilu.
sebagai Hari Pemilihan, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu tersebut ditandatangani Presiden pada 4 Mei 2020, menyusul kesepakatan antara Kemendagri, KPU, dan DPR untuk menunda pemilihan umum hingga 9 Desember 2020. Pada Juli, Perppu tersebut disahkan menjadi UU No. 6/2020.
Dengan berpedoman pada Perppu tersebut, KPU menerbitkan Peraturan No. 6/2020 tentang “Penyelenggaraan Pemilu Serentak yang Dimulai Kembali Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan / atau Walikota dan Wakil Walikota Pada Saat Penyakit Virus Corona 2019 (COVID) -19) Bukan Bencana Alam.
Ini berarti memungkinkan penyelenggara pemilu di Indonesia mulai melakukan berbagai tahapan pemilu. Peraturan ini telah beberapa kali direvisi untuk menyesuaikan dengan pandemi di Indonesia dan untuk menampung masukan dari para pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, tentang pelaksanaan pemilu saat pandemi Covid-19.
Meski demikian, Komisi II yang membidangi urusan dalam negeri meminta pihak-pihak terkait untuk menerapkan protokol kesehatan secara ketat dan memberikan sanksi kepada pelanggar.
“Komisi II DPR bersama Menteri Dalam Negeri, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Ketua Dewan Etik Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyepakati tahun 2020 Pilkada akan dilaksanakan pada 9 Desember dengan menegakkan ketertiban dan sanksi hukum bagi pelanggaran protokol kesehatan,†kata Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia beberapa waktu lalu.
BERITA TERKAIT: